Monday, July 19, 2004

Cerpen: Wanita Yang Bersayap...

Memang, aku adalah wanita. Tapi aku bersayap. Sayap-sayapku kugunakan untuk berbagai kebutuhan. Ada yang dapat memanjakanku dengan kasih sayang, ada juga yang melindungiku dengan rasa aman.

Bulu di sayapku begitu halus, hingga siapa saja yang tersentuh olehnya akan merasa begitu berbahagia. Siapa saja yang terserap padanya, akan merasa begitu nyaman dan terberkati.

Bertahun aku mempelajari cara-cara untuk menghaluskannya dan membuatnya menawan, putih disukai banyak orang. Dan kini telah bertahun pula aku menikmati hasilnya. Dengan sayap-sayap itu aku bisa terbang ke manapun. Dengan sayap-sayap itu aku bisa mewujudkan mimpi apapun. Karena sayap itu juga adalah seluruh tubuhku. Tanganku bersayap, kakiku bersayap, mulutku bersayap. Dan bahkan telinga, leher, mata, payudara, tubuh serta otakku kesemuanya juga bersayap. Dan ingat, semuanya halus dan lembut.

Tapi semalam seorang peri mendatangiku dan mengabarkan bahwa sayapku akan berguguran bila aku tidak dapat memberikan seorang anak malaikat padanya.

“Untuk apa?� Ketika kutanya, peri itu menangis. Tangisannya membuat batu-batu pecah dan langit yang tenang menjadi marah.

“Tak bisakah hanya lakukan saja tanpa harus tahu sebabnya?� Peri itu berkata lirih.

“Bila kau memang menginginkan demikian, baiklah! Tapi aku hanya ingin tahu, mengapa kau memilih aku?� sergahku ingin tahu.

“Karena memang hanya kaulah yang mampu berdekatan dengan malaikat itu. Selain mu, semuanya hina. Karena hanya kaulah satu-satunya pemilik sayap itu. Dalam dekapmu, apapun bahkan kemarahan, akan berubah menjadi sesal.�

“Bagaimana aku dapat menemukan malaikat itu untuk kemudian kuambil anaknya agar bisa kuberikan padamu?�

“Tak usah kau cari! Dalam garis tanganmu kau ditakdirkan akan ditemui olehnya. Engkau seorang utusan, Malaikat juga demikian. Engkau utusan bumi, malaikat itu utusan kehidupan. Kenalilah dari nyanyiannya! Jangan keliru, dia hanya bernyanyi pada tengah malam yang disemai gerimis dan bintang-bintang.�

“Bila aku tak berhasil mendapatkan anaknya?�

“Semua bulu disayapmu akan berguguran. Kau tak akan lagi disukai banyak orang. yang telah memberimu, pasti akan datang berbondong-bondong meminta kembali apa yang telah mereka berikan. Yang telah menyayangimu, akan meminta kau memberikan imbalan untuk rasa sayang yang secara cuma-cuma dahulu mereka berikan. Dan kau hanya akan menjadi semak belukar kembali.� Aku terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa peri itu tahu tentang siapa aku yang sebenarnya, diriku yang sebetulnya.

“Siapakah Kau sesungguhnya?� Tanyaku.

“Aku adalah kamu� Peri itu menatap langsung ke mataku. Saat aku balik menatap pada matanya, peri itu tiba-tiba lenyap. Yang tinggal hanya kelengangan yang memukul-mukul seluruh bayang malam.

******

Sebelum menjadi wanita, aku memang hanya rumput biasa. Belukar! Begitulah, seperti yang disebut oleh peri itu. Sampai aku bertemu dengan seorang perempuan tua yang kupikir pastilah baik, karena biasanya begitulah manusia kalau sudah tua. Sedikitpun aku tak mengira kalau perempuan tua itu adalah germo!

Banyak perempuan muda yang cantik-cantik, yang lumayan-lumayan, yang biasa-biasa, menjadi penghuni rumahnya. Dan katanya, “Kau pun akan menjadi seperti mereka, akan menjadi cantik! Akan menjadi milikku! Sampai suatu ketika kau mampu membayar harga dari jasa-jasaku�

Begitulah, lalu tiba-tiba aku menjelma menjadi seorang wanita. Aku terheran-heran! Ketika perempuan itu selesai mendandaniku dan mempersilahkanku bercermin untuk pertamakalinya, aku tak mengenali bayangan dalam cermin itu. Tetapi, “Itulah kamu sekarang, Salima!� Dan aku terbengong-bengong dibuatnya.

“Bayarlah harga dari jasaku, dan lalu kau bebas memiliki dirimu. Tapi jangan lupa! Kau harus terus memelihara tubuhmu. Sebab dari sana akan muncul sebuah sayap yang bisa menjaring semua lelaki yang kau inginkan serta semua apa yang kau maui dari kaum Adam� Begitulah katanya.

Maka sejak itu, jadilah aku seorang penghibur berharga mahal. Meski aku adalah pelacur dan status pekerjaanku dianggap banyak orang sebagai hina, namun tiada seorangpun yang berani menghinaku. Aku terlalu mewah untuk dijadikan barang hinaan.

Aku kemudian masuk dalam kehidupan orang-orang terpelajar, para dekan dan aneka rektor. Aku hinggap dan terbang dalam pergaulan bangsawan. Aku juga berhenti dan berlari dari satu pelukan menteri ke pelukan menteri lainnya. Dan yang lebih penting, aku adalah wanita terhormat! Dan hanya dalam empat kali kencan dengan para duta besar aku dianggap telah mampu membayar utang jasa pada perempuan tua yang menemukanku.

“Carilah sarang yang indah dan menetaplah disana! Dan selalu, aku turut berbahagia untukmu.�

Kurasa perempuan tua itu telah jatuh cinta pada ciptaannya sendiri; aku! Perlakuannya padaku berbeda dengan perlakuan pada kebanyakan perempuan yang tinggal di rumah itu.

“Aku menyayangimu. Aku ingin melihat keberhasilanmu� Katanya. Dia melepasku begitu mudah.

Kemudian Aku banyak membaca buku-buku ilmiah. Aku hanya mau menerima laki-laki yang aku inginkan dan menolak yang kurang ajar. Aku juga mulai belajar berdagang dan memanfaatkan setiap hubungan untuk lebih memperbesar dagangku. Ku ambil banyak uang dari lelaki yang kurang ajar pada isteri dan tak minta bayaran pada lelaki yang kesepian dan sopan. Kulakukan itu semua sampai peri itu menyapa, sampai keinginan itu tiba, teramat menggebu, teramat membara.

Aku menginginkan seorang lelaki yang tetap! Tetap mencintaiku, tetap mampu melindungiku, tetap berkenan memberikan rasa aman. Dari kesemuanya, yang paling aku inginkan adalah seorang lelaki yang mampu memberiku keturunan, yang mempercayaiku untuk menjadi Ibu dari anak-anaknya.

Dan aku tak harus menunggu lama, bulu di sayapku yang halus mulus telah berhasil memberikan apa yang aku inginkan. Aku telah mampu menjaring seorang lelaki tetap! Lelaki dengan nama tengah kebaikan itu benar-benar terjerat dan tidak bisa lepas dariku.

“Aku ingin menikahimu,� katanya setelah kami melakukan suatu hubungan badan. Dan kemudian dia benar-benar mewujudkan kata-katanya dalam kenyataan. Oh alah, akhirnya aku menikah!

“Dan tak lama lagi nyonya akan mempunyai seorang anak,� Begitu ucap dokter pada suatu senja, suatu saat ketika pernikahanku telah berjalan tiga bulan lewat. Kabar gembira yang membuncahkan!

Tetapi malam ini aku betul-betul terkejut! Nyanyian itu!

Ya, lamat-lamat aku mendengar sebuah nyanyian sepi yang dimelodikan sinar rembulan dan ditarikan oleh binar bintang-bintang. Tapi anehnya, meskipun di langit bintang berkerlip, tapi lihat! Gerimis tetap terserak berjatuhan ke pangkuan alam. Namun bukan itu bagian yang paling mendebarkan. Bagiku, yang membuat aku sangat bergetar adalah saat aku sadar dan tahu dengan pasti bahwa waktu saat itu tepat berada di tengah malam.

Ku cari sumber nyanyi itu, dan ternyata asalnya dari kamar mandi dalam rumah. Dan bukankah yang di kamar mandi itu adalah suamiku? Lelaki dengan nama tengah kebaikan?

Tidak, ku harap bukan!

Suamiku pastilah bukan malaikat yang dimaksud oleh peri yang mendatangiku tiga bulan yang lalu. Tetapi sungguh, sesuatu terngiang dengan jelas di telingaku.

“Kenalilah dari nyanyiannya! Jangan keliru! Dia hanya bernyanyi pada tengah malam yang disemai gerimis dan bintang-bintang.� Dan suamiku… Ia tak pernah menyanyi selama ini! Satu noktah nada pun tak pernah keluar dari bibirnya sebelumnya.

******

Tujuh bulan kemudian peri itu benar-benar datang. Hanya sehari setelah aku melahirkan.

“Aku ingin kau memberikan anak malaikat itu padaku, sesuai janjimu dulu!� ucapnya.

“Aku tak akan memberikannya. Dia anakku!� Ucapku tegas.

“Sudahlah! Segeralah berikan padaku! Karena bila tidak, aku akan mati! Lagi pula, bukankah kau tak ingin menjadi belukar kembali?� Peri itu mengangsurkan tangannya pada bayi yang tergolek di sampingku.

“Jangan pernah bermimpi! Bayi ini tidak akan ku berikan!!� Aku mendekatkan bayi ku pada dekapan dan lantas memeluk bayi perempuanku erat-erat, namun peri itu juga menariknya kuat-kuat.

“Jangan berikan perlawanan.� Ku dengar peri itu berbisik tegas tapi pelan seolah sedang berusaha menekanku, namun aku tidak memperdulikan. Dengan kedua tangan kutarik bayiku, mencoba menghentakkan kedua sayap dan tangan peri tersebut dari pelukan. Tapi tiba-tiba tanganku tersulur begitu saja di kasur. Warna kulitku yang putih berubah menjadi coklat. Dan pergelanganku! Ya Tuhan! Telah berubah menjadi batang!

Aku menjerit. Tapi suaraku tak ku dengar. Badanku terasa ringan. Saat ku lihat, tubuhku telah rimbun dengan dedaunan. Rambutku yang dulu selalu tergerai menawan, sepertinya juga telah berubah menjadi pokok-pokok belukar.

Dan peri itu?

Ia telah pergi! Terbang ke suatu arah tanpa bayang pagi, entah kapan akan kembali.***




Pernah dimuat di sinar pagi, Maret 1999

0 Comments:

Post a Comment

<< Home