Tuesday, July 20, 2004

Cerpen: Yang Membatu


Abigailâl,
Mengapa kau masih saja kembali mendatangiku setelah abad berlalu dan menjauh meninggalkan kita? Aku kini hanyalah seonggok batu yang kebetulan terpajang di salah satu etalase museum kotamu.

Abigail,
Percayakah Kau bahwa selama ini aku selalu menjumpaimu di seluruh dunia di mana aku dipindahkan dari tangan ke tangan untuk dipamerkan? Aku menjumpaimu dalam tawa seorang gadis kecil yang iseng dan berusaha merobohkan berdiriku. Aku menemui dirimu dalam tubuh seorang wanita Yerussalem yang dibebat kerudung hitam yang panjang. Aku menemui dirimu dalam kekaguman seorang nenek tua yang begitu bahagia bisa melihatku. Dan bukan hanya itu, masih banyak lagi manusia serta benda yang padanya ku jumpai dirimu. Di dalamnya hinggap dan menetas jiwamu. Hanya kenapa kau masih juga belum mau memaafkanku?

Aku tahu Abigail, aku tak bisa lagi berharap padamu. Karena kini aku hanya seonggok batu yang selalu diam membisu. Sementara kau dengan taburan auramu yang ku saksikan memancarkan pesona cupu manik astagina, akan mampu, bahkan mengumpulkan seribu ksatria gagah perkasa yang memohon kasih di kakimu.

O Abigail, kita kini berada pada dunia yang jauh dari dunia yang dulu pernah kita lewati bersama-sama. Kini kita juga berada pada alur hidup yang menempatkanku pada suatu posisi yang tak berdaya, dimana gerak dan nyawa tak melekat padaku, di mana nafas dan udara bukan penyebab abadi dari keberadaanku di dunia.

Sudahlah Abigail,
Hentikan saja usapan-usapanmu pada bangunan tubuh dan kepalaku. Ruapan bau badanmu, hanya akan mengingatkanku pada resah dan derita kita dulu. Pada tangis sedih serta penyesalanku kini.
Hentikan Abigail! Aku tak ingin menangis di sini, didepanmu, saat ini.

.............

Herlita mundur beberapa langkah ke belakang. Dirinya tersekat oleh kekagetan luar biasa. Dengan mata kepalanya sendiri, Herlita menyaksikan patung itu mengucurkan airmata. Buliran-buliran airnya satu persatu jatuh dan mengalir di pipi, lantas menghilang diserap oleh lubang-lubang keropos yang aus. Lubang yang muncul karena gerusan waktu yang memahat patung batu.

"Mitos itu benar! Mitos itu bukan sekedar bualan!" Dengan gembira Herlita meraih kameranya. Entah berapa kali ia membidik patung itu.

Sebagai seorang wartawan budaya, Herlita memang ditugaskan untuk meliput pameran patung-patung dari Ganje, sebuah kota di Iran Barat Laut yang letaknya tidak jauh dari kota Bacau, bekas wilayah Azerbeijan, Soviet.

Herlita telah lama mendengar bahwa patung-patung dari Ganje tidak dibuat oleh tangan manusia tapi oleh angin yang mengabulkan permintaan batu-batu untuk membuatnya lebih berbentuk. Konon batu-batu di Ganje bisa menangis, tangis itu adalah rayuan agar para dewa mau menitipkan roh pada mereka. Siapa yang tangisnya telah melebihi sepenuh laut dan semusim hujan yang menjatuhi bumi dengan buliranya yang besar-besar, maka roh pun dilayangkan dari langit dan dilekatkan ke batuan-batuan itu. Hingga di Ganje sendiri, muncul legenda manusia batu yang datang pada musim-musim penghujan. Begitulah sedikit yang Herlita tahu tentang latar belakang patung-patung Ganje.

Tapi benarkah kini dia yang mengalami dan membuktikan kebenaran mitos itu?

Berita besar!
Hatinya bersorak girang.

* * *


"Kau melihatnya juga?" Deka bertanya pada Warsa. Warsa mengangukkan kepala.

"Kamu melihanya juga?"Iriana bertanya pada Naomi. Naomi menganggukkan kepala.

"Benarkah?"

Ada sekitar sembilan orang yang memberikan kesaksian bahwa mereka melihat patung-patung Ganje yang dipamerkan di museum kota itu menangis. Malah ada satu orang yang menyebutkan bahwa airmata yang dikeluarkannya adalah darah, warnanya merah. Tapi Herlita tak percaya. Ia yakin cerita itu dibesar-besarkan, terlalu dibuat-buat.

"Tapi setelah airmatanya menghilang, aku seperti mendengar patung itu menyebutkan sebuah nama,"ucap salah seorang perempuan.

"Ya, betul!"kata yang lainnya.

"kalau tak salah, ia menyebut nama Abigail!" dan perempuan-perempuan yang lainnya membenarkannya. Hanya saja laki-laki yang juga kebetulan mengaku melihat patung-patung itu menangis mengatakan bahwa perempuan-perempuan itu terlalu emosional, terlalu mengada-ada, terlalu mudah berhalusinasi.

"Dasar perempuan!"lalu lelaki-lelaki itu pergi. Tak lama kemudian perempuan-perempuan itu pun pergi.

"Dasar laki-laki!" para perempuan itu ngedumel.

Dan lihat, kini hanya Herlita sendiri yang masih berada di ruang panitia pameran. Hatinya diliputi tanda tanya besar. Benarkah dia hanya berhalusinasi seperti perempuan-perempuan lain yang dikatakan lelaki-lelaki tadi? Ataukah dia sungguh-sungguh mengalami peristiwa itu?

Siang itu ada sekitar empat ratus orang yang datang untuk melihat acara pembukaan pameran patung-patung Ganje di museum kota.

Tiga puluh lima patung diterbangkan langsung dari kota asalnya di Iran sana. Lima negara secara berurutan mengikuti acara lima pekan pameran patung dunia yang diadakan oleh dewan kerja museum kota. Inggris, Perancis, Mesir, Belanda, dan pekan terakhir, Iran. Semuanya berjalan lancar, pengunjung membludak. Televisi menayangkan secara live. Melalui jaringannya di Indonesia, CNN juga menayangkan acara gelar patung ketiga terbesar dunia itu. Radio menyiarkan. Koran-koran memberitakan.

Tapi pada pekan kelima ini panitia dibuat terkesima. Ada sembilan orang menyatakan melihat patung-patung itu mengalirkan airmata. Sebuah cerita mustahil yang hampir dapat dikatakan bohong kalau saja yang memberi kesaksian hanya sekitar tiga orang.

Tapi ini, sembilan orang menyatakan hal yang sama pada hari yang sama. Panitia memendam cerita ini hanya di kalangan mereka. Bagaimana dengan Herlita?

* * *


"Jangan pergi lagi," Seorang lelaki, berperawakan tegap, berambut dan bermata sehitam malam, telah berdiri begitu Herlita membuka pintu rumahnya.

Wajah itu semakin membuat detakan jantung Herlita yang sedari tadi sudah cepat jadi memburu. Tak ada yang berbeda. Matanya, hidungnya, lengkung alisnya, semua yang tercetak di wajah lelaki yang kini berdiri di hadapannya adalah wajah yang muncul saat negatif film kameranya tercetak.

Perasaan kaget luar biasa meruyak di hati Herlita saat gambar patung Ganje yang tadi siang dibidiknya memunculkan gambar yang jauh berlainan dari objek semula. Dia memotret patung, yang muncul gambar manusia. Gambar seorang lelaki yang di pipinya terurai airmata. Lelaki berwajah Arab yang kelihatannya begitu merana. Mata besarnya memandang sendu ke arahnya, dan mata besar yang berada dalam foto itu pulalah yang kini memandangnya tepat di hadapannya.

"Abigail, setelah angin menerbangkan dirimu ke bukit Bistun tak sedikitpun aku menduga bahwa tangan takdir masih ingin mempertemukan kita" Lelaki itu menatap mata Herlita lekat-lekat, Herlita diam saja, ia masih tercekat.

"katakanlah Abigail, bahwa cerita orang-orang desa kita tentangmu adalah bohong belaka. Kau tentunya tidak mengkhianatiku bukan? Dan andaipun kau akhirnya menjadi batu, tentunya bukan karena kutukan itu 'kan?" Lelaki berwajah Arab itu melangkah mendekati Herlita.

"Kau tahu mengapa aku menjadi batu?" Lelaki itu seolah bertanya pada Herlita.

"Setelah angin yang menerbangkanmu pergi, aku berdiri di tempatmu membatu. Suatu hari, aku yakin kamu pasti kembali. Bertahun lamanya aku tetap disana, tanpa gerak, penuh harap. Berpuluh-puluh tahun aku masih tetap menunggumu disana, hingga akhirnya abad dan milenium mengekalkanku dalam bentuk batu. Namun kau tetap tak hadir menemuiku. Tapi aku tak perduli, sebab seperti dulu terucap sewaktu kita sering berjalan di sepanjang pasar di kota Ramalan, bila tanpa sengaja kita terpisah di jalan kita akan selalu berusaha untuk bertemu dan saling mencari di tempat di mana kita terpisah dan hilang. Maka aku tetap mencari dan menunggumu di sana, berharap kita akan bertemu kembali, kemudian saling memaafkan dan kita akan mendapatkan kembali seluruh kebahagiaan dan menganggap peritiwa yang pernah menimpa kita sebagai musibah saja; kita tak perlu tak kehilangan apa-apa. Tapi kau betul-betul menghilang rupanya." Bibir lelaki itu bergetar, dan Herlita tahu, lelaki itu sepertinya sangat kedinginan. Namun bukannya berhenti, lelaki itu malah terus saja berbicara, sepertinya sudah lama sekali ia tidak berkata-kata.

"Ketika pertama kali debu-debu gurun itu menyentuh kulitku, yang terbayang adalah prosesmu dalam membatu. O, Abigail, aku merasakan sendiri bagaimana debu-debu di gurun yang lembut menjadi begitu kasar dan menyakitkan saat badai melemparkannya terus-terusan padaku seperti hujan. Lembab dan panas yang datang silih berganti menjadikan debu gurun itu lekat dan lengket di badan, tak mau pergi dan tak dapat disingkirkan, meresap dan terus menggerogoti paru dan jantung, memaksa darahku berhenti mengalir dan sel-selnya mati lantas tak bisa lagi berproduksi. Wujudku sebagai manusia semakin tampak tak nyata dan kian hari alam membuatku menfosil semakin yakin. Tapi jiwaku tidak, ia masih ada namun terperangkap pada batuan sebagai tawanan dari kekuatan alam." Lelaki itu menatap Herlita semakin lekat, tatapan itu jelas benar mengandung kerinduan yang sarat.

"Pada saat-saat seperti itu aku merasa lebih dekat denganmu karena aku juga mampu merasakan apa yang pernah kau rasakan. Aku mencoba menghayati penderitaan dan susah yang kau alami pada waktu kau mematung seperti yang dikisahkan orang-orang saat mereka bilang kau dikutuk menjadi batuan. Hanya saja aku selalu meringis, membayangkan bagaimana seorang yang halus sepertimu harus menerima perlakuan kasar dan begitu menyakitkan dari alam." Kini raut muka lelaki berwajah Arab itu berubah sendu, ia tengah memeram kesedihan yang Herlita tetap belum tahu.

"Ah, tapi sudahlah! Saat ini aku cukup berbahagia bisa kembali bersama denganmu. Dan biarlah apa yang kini menimpaku, ku anggap sebagai ganjaran bagiku yang telah bersalah-duga padamu. Yang pernah tak mempercayaimu. Yang pernah yakin bahwa kau mengkhianatiku. Abigail, maafkan aku!" tangan lelaki berwajah Arab itu kini menyentuh pipi Herlita. Herlita diam saja.

"Mengapa kau masih tak mau berbicara, Abigail? Katakanlah sesuatu, apapun itu! Atau kau masih marah padaku? Sudahlah lupakan segala cerita orang tentang pengkhianatanmu, bergegaslah tinggalkan masa lalu dan kembalilah cepat-cepat padaku . Aku telah memaafkanmu." Kepada Herlita lelaki itu mengangsurkan kedua tangannya, namun begitu melihat Herlita diam saja, wajah yang berada tepat di depan Herlita itu meredup seketika. Kekecewaan terukir jelas pada raut mukanya.

Herlita memang masih terdiam, tapi kini dia sudah bisa mengendalikan diri. Malah kini Herlita sadar dan tahu dia tengah mengalami peristiwa besar yang bisa dikatakan hampir menyerupai mukjizat. Ya, Herlita tahu kini ia tengah mengalami suatu peristiwa dari suatu waktu yang terhenti. Suatu peristiwa besar yang terjadi jarang-jarang.
Kapan lagi manusia bisa bercakap-cakap dengan jiwa manusia batu yang keluar dari bentuk ragawinya sekarang karena beban belenggu rindu yang menggebu? kisah kerinduan yang belum sempat tertuntaskan di masa yang pernah dialaminya pada ratusun tahun silam. Tampak benar, Herlita kini telah sepenuhnya tenang.

"Abigail, maafkanlah aku" Lelaki itu meluruhkan pandangannya ke lantai.

"Tapi aku bukan Abigail." Mulut Herlita terbuka begitu saja. Lelaki berwajah Arab itu mendongak dan kini menatap Herlita tajam. Ada banyak ekspresi yang dapat Herlita saksikan di wajahnya.

"Kau Abigail" lelaki itu berkata pelan tapo penuh kepastian.

"Aku Herlita, bukan Abigail!" ucap Herlita mantap.

"Tidak! Kau Abigail! Hanya saja kau masih tak mau memaafkanku, lalu berpura-pura bahwa dalam tubuh itu adalah bukan dirimu. Ya! Kau tak pernah bisa melupakan kesalahanku rupanya!" Lelaki itu kini tampak agak marah, tapi secepat mungkin ia kembali terlihat menguasai dirinya.

"Percayalah, aku bukan Abigail. Aku bukan perempuan yang kau cari! Di dalam tubuhku ini aku tak tahu siapa sebenarnya. Tapi kunyatakan padamu kau baru saja bertemu orang yang salah. Aku Herlita, seorang wartawan!" Herlita berusaha meyakinkan, bahkan tangannya kini terulur mengajak bersalaman. Namun lelaki itu mengabaikan.

"Entah berapa kali lagi kau akan berkeras seperti ini, Abigail. Entah berapa ratus orang lagi harus ku temui agar kau mau benar-benar memaafkanku dan mengaku bahwa jiwa dalam tubuh itu adalah dirimu. O Abigail, kau telah membuka mataku dengan cinta namun dengan cinta pula engkau membutakanku!" Herlita mendengar ucapan itu seperti sebuah keluhan putus asa yang panjang, tapi masih tetap mau berusaha untuk dipertahankan.

"Baiklah, bila sekarang kau masih tidak mau mengakui siapa dirimu yang sesungguhnya, masih tak ingin mendengar kata hatimu yang setiap malam menyenandungkan kidung cinta untukku, masih mau menghukumku atas kesalahan yang pernah ku lakukan, lakukanlah! Tapi kau harus tahu, bahwa Farhad menyesal dan ia masih akan selalu mencari jalan bagi terbukanya pintu hatimu." Mata lelaki itu tampak terluka.

"Aku mencintaimu" Begitu ucapnya dengan bibir yang gemetar. Dan laki-laki itu menangis, airmata berserabutan keluar dari matanya, mengalir di pipinya. Dan saat tetes demi tetes airmatanya menyentuh lantai, seperti kabut, tubuhnya pun pelan-pelan menghilang, wujudnya seperti termakan kegelapan. Lelaki itu semakin lama semakin meniada sampai akhirnya memang betul-betul raib dan seolah ia tak pernah ada. Ruangan itu kini kosong dan hanya tinggal Herlita saja yang tampak seperti orang dungu yang tengah bengong.

Herlita tercenung. Farhad? Ya, tadi laki-laki itu menyebut sebuah nama. Itukah namanya? Apa yang terjadi dengan Abigail? Siapa perempuan itu?

* * *


Hujan berjatuhan tak henti-henti. Pohon meliuk-liuk diterpa angin. Badai ini memang menggetarkan. Tak ada seorangpun yang berani keluar. Tapi ada yang terjadi di belakang rumah Herlita.

Batu yang berserakan di taman belakang rumahnya sedikit demi sedikit terlihat seolah berkumpul dan membuat suatu gundukan yang memusat. Sekilas orang akan mengira bahwa batu-batu itu terhimpun karena disatukan kekuatan angin. Tapi kalau dilihat benar-benar sekali lagi, tidak! Bukan angin yang menyatukan mereka, batu-batu itu bergerak sendiri. Bongkahan-bongkahannya yang kecil terlihat seperti memilki jiwa dan berhasrat besar untuk menyatukan diri mereka yang kerikil menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari sesuatu yang lebih besar, entah apa.

Guntur menggelegar. Hujan semakin meraja. Di dalam rumahnya, Herlita tengah berbaring sambil menghirup susu coklat yang hangat. Dia sendirian, nyaman dan terlentang. Di taman belakang rumahnya, sesuatu bergerak!

Seiring hujan yang menyiram bumi dengan kencang, sesuatu itu tampak seolah berjalan, menjauh taman belakang dan lantas menghilang dalam hujan.***



Ciputat, Juli 1999
Dimuat di Media Indonesia Desember 2000

___________________________
Catatan Kaki:

1. Banyak kisah, salah satunya yang beredar di kawasan wisata Situ Gunung, Cisaat-Sukabumi. Sering pengunjung yang berpotret disana, saat negatif filmnya tercetak kertas, ada hal aneh terikut. Misalnya dia berfoto dibawah sebuah pohon besar, dalam gambar, ternyata dia berfoto dekat sebuah kaki yang sangat besar, berwarna hitam. Entah kaki apa.

2. Bukit ini letaknya tidak jauh dari kota kirmansyah di daerah Iran Barat laut. Konon di sana ada sebuah monumen sejarah, yaitu pahatan yang berupa patung seorang pria dan seorang wanita. Pahatan itu telah dipugar sekarang, hanya saja banyak orang Iran yang mengaitkan pahatan tersebut dengan kisah percintaan khusrau dan Sirin karya sufi besar Hakim Nizami (wafat 1223 M) yang juga menciptakan kisah klasik Laila-Majnun.

3. Dalam kepercayaan orang islam, perempuan yang berkhianat pada suaminya mendapat kutuk dan laknat Tuhan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home