Wednesday, July 21, 2004

Cerpen: Saudara Kembarku

I


Kalau ada daham-daham terdengar di malam hari, aku tahu itu saudara kembarku. Ia menanti di pekarangan, karena aku melarangnya masuk.

Pernah dia begitu rindu kepadaku dan tiba-tiba hadir di tengah keluarga dan tamu-tamu yang sedang berpesta merayakan hari lahirku. Mereka semua berteriak ketakutan melihat ia duduk di dalam. Muka saudara kembarku sangat buruk. Aku malu dan minta dia menunggu di luar kalau ia mau bertemu denganku.

Maka setiap bulan purnama ia menanti di pekarangan dan berdaham-daham menandakan ia hadir lagi. Dan aku lekas keluar untuk berhadapan dengan dia. Mukanya seperti kera, berbulu lebat dan di sinar bulan makin kentara kulit tubuhnya yang hitam legam. Kami hanya diam dan melepaskan rindu bertatapan muka. Dalam diam itu ia mengingatkan; “Aku bayanganmu sendiri, Saudaraku. Kalau aku lenyap selama-lamanya, engkau tak akan ada lagi di dunia.�

Maka setiap kali terdengar daham-daham, aku tahu itu saudara kembarku, dan aku lekas menemuinya.1)

Malam ini daham-daham itu terdengar lagi. Seperti biasa suaranya sedang-sedang saja. Tidak tinggi tidak juga rendah.

Yang pertama selalu aku ingin ketahui pada daham-daham awal adalah cahaya bulan. Maka serta merta lampu kamar aku matikan. Seolah merayap, sinar bulan menampakkan dirinya lambat-lambat. Setelah itu tirai kamar aku singkap. Dan lengkaplah pemandangan itu. Seonggok bayang hitam mematung di pekarangan di tengah pantulan gemerlap sinar bulan yang bulat.

Entah senang atau benci aku melihatnya. Entah duka cita atau bahagia aku menyongsongnya. Bukan apa, pernah beberapakali aku ingin membunuhnya, tapi semuanya selalu gagal.

Pernah aku taburi pekarangan dengan genangan minyak tanah dan aku nyalakan pemantik otomatis yang bisa dinyalakan dari jauh. Pemantik api yang aku pinjam dari salah seorang teman ITB-ku yang tengah membuat prakarya untuk teknologi tepat guna. Namun begitu saudara kembarku telah berdaham dan sosoknya ku lihat mematung di pekarangan yang telah penuh genangan minyak, pemantik tak berfungsi. Berkali-kali dinyalakan dari kamar namun tetap pemantik itu mati dan tak menyebabkan pekarangan terbakar.

Akhirnya kutemui juga saudaraku. Seperti biasa, kami hanya cukup diam dan saling bertatap muka, melepas rindu dan saling melempar kelebat dendam. Beberapa hari setelah itu aku baru sadar. Bukankah dia Iblis? Kenapa aku harus menghunusnya dengan api? Bukankah mereka dicipta dari unsur yang sama? Sejak hari itu aku tahu, aku harus membuat kayu dengan ujung yang runcing.

Maka mulailah aku mencari pisau tertajam, dibuat dari besi yang telah dimandikan tujuh rupa kembang. Setelah pembuatan pisau itu selesai, kuraut kayu-kayu jati berukuran panjang tiga puluh lima centimeter dengan tebal diameter delapan centi-an. Aku mengutip semua itu dari kisah film seri "buffy The Vampire Slayer" yang ditayangkan tiap minggu di salah satu stasiun TV. Mampukah aku membasmi saudara kembarku? Aku akan mencobanya!

Tapi begitu waktunya tiba. Di awal pertemuan, di antara diam yang biasa kami lakukan, di bawah sinar terang rembulan, dia mengingatkan, “Aku bayanganmu sendiri, Saudaraku. Kalau aku lenyap selama-lamanya, engkau tiada akan ada lagi di dunia.�

Begitulah. Dan tumpukan kayu runcing itu pun tak jadi aku patokkan di jantungnya. Dia benar, betapapun aku membenci dan malu mengakuinya, toh dia tetap bagian dari diriku. Meski malu kadang aku juga rindu.

Aku sering menemukan saudara kembarku tengah berbohong dan berbual habis-habisan di depan banyak orang. Saat sedang sendirian, aku beberapa kali memergokinya tengah onani padahal beberapa waktu sebelumnya baru saja dia mematahkan hati seorang perempuan. Perempuan itu bersumpah membunuhnya! Aku tahu, saudara kembarku itu telah menghamili perempuan tersebut dan tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya.

Saudara kembarku juga adalah seorang provokator. Beberapa kali dia menghasut orang untuk berbuat kerusakan dan mengacaukan keadaan. Kepada Ibu-Bapak dia selalu melawan. Dengan kakak-adik dia selalu membuat keributan. Sering dari hari ke hari kerjanya hanya mabuk-mabukkan. Aku malu! Sebab itulah aku ingin membunuhnya. Tapi bagaimana caranya? Dan lagi, pertanyaan terpentingnya; haruskah?

* * *


Malam ini bulan purnama telah kembali muncul. Daham-dahamnya telah terdengar. Aku sendiri sedang berjalan menuju tempatnya berdiri. Saudara kembarku yang bermuka seperti kera, kini kulit tubuhnya agak memucat tidak sekelam ketika aku bertemu terakhir kali pada bulan purnama silam.

Mata kami mulai bertatapan. Sedikit aku lihat perubahan. Ada apa gerangan?

“Mengapa kau selalu ingin mengusirku dan berusaha mati-matian untuk mengenyahkanku? Kebencianmu padaku tak akan ada gunanya,� mata itu mulai berbicara. Aku menatapnya.

“Percayalah, aku tidak akan bisa hilang. Meskipun sekarang kau mati-matian tak melakukan kejahatan. Tapi ingat, kapanpun aku akan selalu bisa datang.�

“Menghindari kejahatan memang perbuatan baik. Namun hanya berusaha terus menghindarinya tanpa berusaha berbuat baik, adalah juga kejahatan. Untuk apa kau menghancurkan sesuatu bila kau tak mampu membangun sesuatu? Dengan membunuhku dan memberantas aku sampai benar-benar mampus, kau telah melakukan kejahatan kepada kemanusiaan.� Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Dan ingat, aku bayanganmu sendiri, Saudara kembarku! Kalau aku lenyap selama-lamanya, engkau tidak akan ada lagi di dunia.�

Aku hanya menatap terus matanya yang berbicara. Kata-kata tak sedikit pun keluar. Namun sekejap, di mata itu, kulihat sesuatu berkilat-kilat.

* * *


II

Kalau ada tangisan sayup-sayup terdengar di sore hari, aku tahu itu saudara kembarku. Itu tandanya ia mengharap kedatanganku di pekarangan rumah kami pada malam harinya.

Pernah ia begitu rindu padaku dan tiba-tiba mengajakku masuk pada dirinya. Rupanya ia tengah berpesta merayakan hari lahir kami. Tentu saja aku marah karena dia tak memberitahuku terlebih dahulu. Keluargaku dan para tamu ketakutan melihat kemarahanku.

Oh ya, tentu saja saat itu aku telah masuk pada diri saudara kembarku, tapi tak begitu lama. Saudara kembarku sadar bahwa tamu-tamu ketakutan karena amarah dan kekacauan yang aku timbulkan. Rupanya dia malu. Dia memaksaku keluar dan memintaku menunggunya kalau masih ingin bertemu dengannya.

Maka setiap bulan purnama, ia memintaku datang di pekarangan rumah kami dan menyuruhku berdaham-daham sebagai tanda bahwa aku tela hadir di sana. Dia akan lekas keluar untuk bertemu denganku.

Mukanya seperti Malaikat, senyumnya selalu menggantung dan di sinar bulan, makin kentara kulit tubuhnya yang putih bagaikan bercahaya. Aku selalu rindu padanya. Setelah bertemu, biasanya kami hanya diam dan saling melepaskan rindu bertatapan muka, berbicara lewat mata.

Aku sangat ingin seperti dia. Dia juga berhasrat besar mengubah diriku sepenuhnya menjadi seperti dirinya. Setiap berdekatan dan berbicara dengannya, aku merasa bahwa dia selalu ingin mencuci otakku dan mengisinya dengan pikiran-pikiran yang berasal dari tempurung kepalanya. Katanya, dia ingin melihatku menjalankan hidup yang baik-baik. “Agar kita bisa selalu seiring sejalan,� begitu ucapnya. “Terlebih karena aku tak ingin keluarga kita mengucilkanmu karena perbuatan-perbuatan yang kau lakukan, Saudaraku! Dan kamu pastinya tahu, betapa inginnya aku menyatu sepenuhnya denganmu. Mengakuimu sebagai bagian dari diriku. Namun bila kau terus-terusan begini, akupun akan terus-terusan malu mengakuimu sebagai diriku. Bahkan mungkin, aku akan berusaha mati-matian untuk terus menolakmu.�

Beberapa kali aku merasa, pernah saudara kembarku ingin membunuhku. Tapi praduga itu aku tepis, mana mungkin saudara kembarku yang berhati Brahmana itu tega membunuhku. Bukankah dia Malaikat? Tak mungkin benak malaikat terisi keinginan jahat. Bukankah kegiatannya dari hari ke hari berisi kebaikan?

Aku sering menyaksikannya tengah berceramah di atas mimbar pada kesempatan khotbah sholat Jum’at. Saat sedang sendirian, aku berkali-kali mendapatinya tengah mengaji. Atau kadang di tengah malam, dia bertahajjud lalu berdoa khusyuk sekali. Namun aneh, doa yang paling sering kudengar keluar dari mulutnya adalah permintaan yang itu-itu saja.
“Oh Tuhan, maafkanlah hamba-Mu.�
“Ya Allah, hapuskanlah dosa-dosaku.�
Aku kerap jadi keheranan, gerangan apa yang telah dia lakukan? Kejahatan yang mana yang harus dimaafkan Tuhan? Bukankah kehidupannya adalah serentetan kebenaran, ucapan sopan, kerja sosial dan belajar?

Ah saudaraku memang kadang membingungkan! Dan begitulah ia adanya.

Sesunguhnya, aku sangat bangga pada saudara kembarku. Pernah, suatu malam aku sangat ingin seperti dirinya. Maka kututup pintu kamarku dan kumatikan lampunya. Aku membakar dupa, sengaja. Aku ingin mengundang malaikat serta roh-roh para Nabi dan Wali ke rumahku. Agar semua kebaikan dan kebenaran mereka yang diyakini banyak orang melayang ke kamarku. Terhimpun dan membundar di dekatku. Agar aku bisa masuk dalam himpunan itu dan dirasuki kebaikan serta kesucian mereka yang putih, sehingga aku tidak lagi berbuat salah dan dikenakan teguran serta hukuman-hukuman. Agar aku bisa seperti saudara kembarku. Agar aku mampu menyatu dengannya. Tapi apa yang terjadi? Orangtuaku marah, mereka menyangka aku akan membakar rumah. Dan lebih sial lagi, di saat aku belum mengeluarkan seluruh marahku karena tuduhan mereka yang tak beralasan, saudara kembarku mengambil-alih suasana dan aku disuruhnya enyah begitu saja.

Kerap aku terlalu sering membenci orang. Aku benci melihat tatapan sebagian orang yang kadang seperti curiga dan seolah ingin menerkam, saat aku berlalu di depan mereka. Aku juga benci pada saudara kembarku yang selalu saja mengkritik dan selalu ingin menyembunyikan identitasku serta berkali-kali seolah berusaha ingin melenyapkanku. Apa salahku? Toh aku adalah dirinya yang terbelah. Mengapa dia malu mengakuiku sebagai belahan dirinya? Bukankah berkali-kali aku saksikan betapa dia menikmati apa-apa yang aku lakukan?

Aku ingat! Di antara sekian eranganku saat aku berhubungan badan dengan Nina, dia juga ikut mengerang dengan begitu nikmat. Saat aku mabuk, dia juga mencicipi hangatnya anggur dan fantastisnya lupa daratan, hilangnya semua beban.

Meski aku bangga padanya, tapi aku juga membencinya. Dia munafik!

* * *

Purnama telah bersinar. Aku telah sampai di pekarangan. Aku juga telah berkali-kali berdaham-daham. Dan aku pun melihat saudara kembarku tengah berjalan menuju arahku.

Pada akhirnya kami memang harus berpisah. Aku sadar bahwa aku tak bisa menjadi diriku dan sekaligus saudara kembarku pada saat yang bersamaan, pada tempat yang tak terpisah. Begitu juga dengan saudara kembarku, pastinya! Maka kami memutuskan untuk berpisah. Ya, kami pisah setelah peristiwa menghebohkan pada perayaan ulang tahun kami setahun silam.

Lantas kami membuat kesepakatan. Setiap bulan purnama kami akan bertemu. Tempat pertemuan; pekarangan. Di sana, seperti yang telah diceritakan sebelumnya, biasanya kami hanya bertatapan muka dalam diam. Di antara diam itu, saudara kembarku selalu mengingatkan, “Mari kita merefleksikan apa yang telah kita lalui dan lalu kita ambil sebagai pelajaran.�

Aku tak suka kata-kata itu. Dalam kalimat yang disusunya tersebut aku merasa bahwa dia selalu berusaha menuntutku untuk lebih menyerupainya. Padahal menurutku sia-sia saja. Sekeras apapun ia berusaha menyerupai Tuhan, dia tak akan berhasil. Dia tetap manusia, tak bisa lepas dari keburukan. Bahkan menurutku, keburukan adalah saat manusia mencoba untuk menjadi Tuhan. Kedengarannya terlalu memaksakan dan tidak manusiawi. Dan lagi, memangnya Tuhan mau, diserupai?

Meski aku telah mengatakannya berkali-kali, saudara kembarku tetap tak mau mengerti. Hingga akhirnya pertemuan kami memang selalu lebih banyak diisi diam yang berkepanjangan.

Bila aku mau pergi, aku juga berdaham-daham agar saudaraku mengerti bahwa waktuku telah habis dan aku harus segera pergi. Dia melepasku dengan tatapan. Lalu kami saling berjanji untuk bertemu pada bulan purnama depan.

Oh ya, saudara kembarku dan aku, sebenarnya menyatu dalam diri seseorang: namanya Amar.***

Ciputat, 6 Maret 2000
(Pernah dimuat di Harian Sinar Pagi…….. 2000)

_______________________________
1) Dua paragraph ini dikutip dari puisi Subagyo Sastrowardoyo yang bejudul “Saudara Kembarku�. Subagyo adalah penyair, kritikus dan esais kelahiran Madiun yang wafat pada 18 Juli 1995 di Jakarta.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home