Monday, July 26, 2004

Cerber : Malaikat Sakit Hati (bag.1)

Link http;//ucuagustin.blogspot.com




Hujan yang tipis mengantar seorang malaikat yang terluka hatinya mendarat di sebuah kota. Bangunan-bangunan yang catnya mengusam menyambut kehadiran malaikat sakit hati yang berkemeja kusut tersebut. Angin yang menerbangkan kertas-kertas dan aneka kotoran yang ringan mengucapkan salam selamat datang yang kecut, membuat malaikat itu cepat bersegera menuju suatu tempat.

Bergegas ia masuk ke sebuah diskotik, mendobrak pintu mengambang yang berengsel fleksibel dan mendorongnya keras-keras. Suara musik langsung menyergapnya, malaikat itu sempat agak kebingungan. Di telinganya nada itu terasa terlalu hingar bingar.

Malaikat itu memandang ke sekitar, menyapukan matanya pada segala benda yang ada di dalam diskotik. Gelas-gelas kaca yang ditaruh terbalik di atas kepala para pelayan pria, warna-warna berkilauan dari lampu disko yang berpantulan menyerbu ruang lantas bergemebyar, orang-orang yang meliukkan tubuhnya dengan cara yang aneh, lukisan-lukisan besar yang abai diperhatikan orang.

Saat mata sang malaikat melihat sebuah rongga berlubang besar seperti kubah yang terletak tepat di bagian tengah atap ruangan, ia berpikir agak panjang, Kubah itu mengingatkannya pada konstalasi bintang tempat dahulu ia pernah tinggal. Bersama teman-temannya sesama anak malaikat, dahulu mereka sering main petak umpat di lubang-lubang bintang yang mirip kubah, bernyanyi sambil memejamkan mata mereka. Setiap syair yang keluar dari bibir mungil malaikat kecil akan menguatkan sayap yang tumbuh mencuat di atas punggung dekat ketiak malaikat dewasa dan setiap gelak yang muncul dari ketawa milik putra surga yang dewasa akan menguatkan bulu-bulu halus bercahaya yang tumbuh tak terlihat di pundak anak malaikat. Tak seperti di tempat itu, tak ada nada riuh di sana, meski para mahluk cahaya itu kadang bercanda juga tergelak-gelak.

Namun segala ingatan itu segera ia enyahkan, bukankah teman-teman kecilnya juga yang kemarin mengkhiantinya? Bukankah karena perbuatan mereka juga maka ia kini jatuh ke dunia? Dan malaikat itu segera menggerak-gerakkan badannya mengikuti gerakan tubuh manusia-manusia di depannya, berusaha menghapus kekecewaan mendalam yang bersemayam di hatinya.

Ia tak paham musik yang didengarnya tapi ia mengikuti saja semua yang dilakukan manusia-manusia yang dahulu selalu didampinginya.

Malaikat itupun menganggukkan kepala, menggerakkan kaki, meliukkan tangan ke udara dan menggoyangkan seluruh tubuhnya yang sudah sejak lama tak pernah berolahraga. Tuhan menganugerahi ras malaikat aneka kemudahan, tapi bayarannya adalah seluruh kepatuhan tanpa ada pembangkangan. Tanpa makan mereka tetap dihidupkan, tanpa menggerakkan badan mereka tetap disehatkan, tanpa menghirup udara mereka tetap dihidupkan. Malaikat itu lantas tersenyum lebar. Ia sadar, Tuhan memang memiliki lebih banyak akal; segala sesuatu ada harganya, bahkan sependek-pendek kebahagiaan.

Malaikat sakit hati kini menggunakan lagi matanya, ia menatap jalang pada perempuan-perempuan seronok yang sedang berdansa sambil terpingkal. Tapi perasaan yang tak pernah menghinggapinya kini datang. Sesuatu terasa membuat saluran tenggoroknya kering, ia merasa membutuhkan air. Kepada bartender yang menawarinya minuman ia memesan segelas air tawar, ?Yang paling memabukkan!? begitu ucapnya sambil berteriak, matanya nyalang, masih jelalatan ke arah berlawanan.

Sang bartender hanya tersenyum, ?orang gila itu sudah melayang sebelum waktunya menjamah kemabukan,? begitu ia berucap pada temannya sesama bartender. Yang diajaknya berbicara hanya mengangguk saja sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya mengikuti irama musik yang keras menghentak ruangan.

Sudah tiada yang aneh bagi mereka, pelanggannya memang kebanyakan adalah para pencari kenikmatan dengan perantara minuman. Di antara mereka juga sangat banyak yang mengaku setelah meneguknya seringkali menemukan kedamaian. Si bartender tanpa blazer dengan fasih mencampur minuman, mengocoknya, dan dengan kesegesitan yang terlatih lantas menuangkannya hanya setengah pada gelas kristal yang ada di hadapannya.

Pada sekali teguk, minuman itu langsung menghilang. Mengalir melewati tenggorok, lantas masuk ke saluran pencernaan, berlabuh pada ginjal lantas mengendap tertahan di gelembung kantung kemih. Aha, alat reproduksi malaikat itu ternyata kini telah sama persis seperti manusia. Pertanyaannya, apakah dia juga memiliki sperma?

Malaikat sakit hati menggerenyitkan kedua matanya sebentar, sebuah perasaan terbakar menghinggapi saluran percernaan, kini sebuah rasa pahit telah ia kecap. Tapi ia masih butuh obat. Sakit hatinya tidak juga lenyap.

Malaikat yang baru jatuh dari langit merasa minuman yang tadi direguknya membuat hatinya tambah panas, rasa marahnya tak juga menghilang. Debur api yang terpercik sejak ia menjatuhkan diri dari kerajaan terang menekan gelora yang selama ini tak pernah muncul di permukaan, sesuatu yang kini membahana tanpa bisa diduga. Ia marah! Malaikat yang baru jatuh dari langit itu ingin melakukan pembalasan. Sebuah perlakuan yang menghinanya tidak bisa ia terima begitu saja. Ia memang marah.

Segala api yang selama ribuan tahun hanya menjelma cahaya pada dirinya, kini berkobar lagi. Ia merasa panas, jubah sucinya yang putih bahkan meleleh tak mempan meredam kobarnya. Badannya yang dulu membilur putih keemasan kini mulai hitam melegam.

* * *

Bersambung....

0 Comments:

Post a Comment

<< Home