Saturday, May 21, 2005

Cerpen: Sepucuk Surat Buat Rudolf

Teruntuk Rudolf
Cerpen Ucu Agustin





Rudolf...,
Belakangan di sini setiap hari adalah pagi. Mendung selalu saja menggelayuti langit kotaku meski semai hujannya terjadi jarang-jarang. Aku di sini sekarang Rudolf, jauh darimu jauh dari tempat di mana kita pernah bersama kemarin dulu. Namun meski kadang harus terhambat sebentar untuk memikirkanmu, tapi sungguh, kau jarang sekali bisa lepas dari benakku.


Rudolf..., apa kabarmu?
Pagi ini aku kembali teringat padamu


Tadi aku naik bus kota. Kau tahu aku selalu menyukai jenis kendaraan umum yang menurutmu merunyamkan itu. Angin pagi ini cukup ramah dan aku menyengajakan diri berdiri di pinggir jalan agak berlama-lama. Ketika bus yang harusnya kutumpangi lewat, aku melewatkannya. Entah dari mana datangnya, pikiran itu kudapat begitu saja.

Mungkin, ya siapa tahu! Siapa tahu kamu lewat di depanku. Dengan Opelmu, membukakan pintu dan langsung menculikku. Kita akan pergi ke Ancol mungkin, atau kita akan nongkrong di Taman Ismail Marzuki. Atau kita akan mencari jajanan di sekitar Senayan. Atau bisa saja kau membawaku ke rumahmu lantas kau membuatkanku sarapan pagi yang telat. Atau bisa saja kita hanya berdialog di teras, seperti yang kita lakukan kemarin dulu. Bicara tentang tuhan dan bunga-bunga di bawah pohonan yang berjajar memanjang di sepanjang bungalow. Pepohonan besar dengan daun-daun lebar yang sekujur tubuhnya dipenuhi aliran semut hitam.


Dua kali bus yang harusnya aku naiki kulewatkan. Dan Rudolf... Seperti yang kuduga, kau pastinya tidak akan pernah tiba. Di pinggir jalan, di antara kepungan suara klakson di bawah lampu merah perempatan, diam-diam aku tersenyum sendirian. Sudah gila apa aku?! Mengharapkanmu turun dari antara rintik debu jalanan, di tengah udara penuh knalpot yang hitam.


Rudolf..., apakabarmu?
Masihkah kau ingat aku?


Andai saja kemarin kita punya waktu lebih lama, aku yakin kita bisa jatuh cinta. Aku tahu, awalnya kau tercecer dari perhatianku, tapi kutemukan juga dirimu. Usiamu pastinya lebih muda tujuh tahun dari Bapakku. Katamu kamu beristri, tapi tak berputra.

"Lebih senang begitu, toh anak tak membawa kami kemana-mana",€� Ucapmu pasti.

Tapi kutahu memang kau orang yang yakin. Mengucapkan segala sesuatu setelah terlebih dahulu disaring. Aku senang mendengarnya. Jarang sekali orang setua mu berpendapat demikian. Yang kutahu, biasanya orang berpasangan seusiamu bila tidak memiliki anak, mereka akan berusaha mencari "€œanak"€� lewat adopsi, hanya untuk mencari "€œsesuatu"€� untuk diurusi. Bila tidak melakukan hal itu, biasanya pasangan yang laki-laki akan mengambil perempuan lain. Tidak untuk dihamili, lantas anaknya diculik untuk dipelihara bersama dengan sang istri pertama, tapi murni yang dia butuhkan hanya seorang perempuan untuk dipiaranya sendiri. Agar sang lelaki punya "€˜hal"€™ yang bisa diurusi...

Tapi kutahu kau memang hebat.


Rudolf..., kamu adalah seorang lelaki penyendiri yang kesepian. Lelaki sunyi yang setia dan bisa diandalkan. Persis! Tipe lelaki yang mudah dicintai dan tanpa penghalang bisa dengan mudah disayang perempuan.



Rudolf..., mengapa kau masih saja di sini, padahal kau sudah pergi sejak jauh hari?
Adakah kau merasakan hal yang sama? Seolah aku masih di dekatmu padahal jarak menghambat kita?



Semoga kau masih mengenangnya juga!

Kau berdiri di depan seluruh undangan. Ketika acara formal usai dan deretan keresmian pecah, ku tahu kau hanya menatapku saja. Oh, tentu tidak Rudolf! Bukan hanya pada kesempatan itu saja....

Ku tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan. Kau pikir karena usiaku masih muda dan kau seorang ahli jiwa lantas kau bisa dengan mudah melakukan manipulasi psikis terhadapku? Tidak Rudolf. Apapun yang kau katakan sebagai pengingkaran, aku tahu kau diam-diam sering mencuri pandang padaku. Dan kau pun tahu, aku secara pasti kadang berusaha menjauh dan mendekat padamu. Mengatur strategi agar kau semakin gemas pada tingkahku, membuatmu tak bisa menduga apa yang akan kulakukan dan lantas kau jadi kelabakan.


Ingatkah kau Rudolf?
Diantara diskusi dan lagu Tory Amoss yang bergema di ruangan itu, kita sempat berdansa sebentar. Tidak dengan gerakan, tapi lewat pandangan. Saat kepalaku yang sakit kembali kumat, kutahu kaulah yang akan pertamakali menolongku. Bukankah dengan begitu kau punya kesempatan untuk menyentuhku? Kutahu dari matamu, kau sangat ingin menempelkan bagian tubuhmu pada tubuhku.


Rudolf, bila saja kau tahu, saat itu aku juga tak perduli pada istrimu. Sejak saat itu...,
Ya! Sejak kau dengan penuh perhatian menolong meringankan nyeri di kepalaku, mencoba menggunakan kemampuan pijat refleksimu, otakku langsung berpikir yang tidak-tidak. Kau tahu apa yang aku pikirkan? Rudolf, saat itu aku berpikir tentang tiada salahnya menyelingkuhimu



Rudolf, tidakkah ide itu menarik?
Bagaimana pendapatmu?

Kutahu kau tidak akan benar-benar jatuh cinta padaku. Kamu lelaki manis yang bertanggung jawab. Kau tidak akan meninggalkan istrimu. Dan keputusan itu memang tak pernah kuharapkan akan tercetus darimu. Kutahu kau juga tahu bahwa aku tak ingin menuntut apa-apa darimu. Kau tahu aku cuma gadis kecil yang butuh perhatian, butuh sebuah bahu saat ingin menyandarkan kepala, ingin dipeluk dengan hangat saat menelungkupkan dada sambil bercerita tentang masalah yang menimpa. Kau tahu aku tak ingin melakukan hubungan kelamin denganmu. Dan kau tahu pasti, kamu tak yakin akan kemampuanmu bila hanya menyediakan diri untuk melakukan itu saja padaku; hanya menjadi tempat curahan hatiku. Seperti layaknya lelaki yang sudah menikah, sambil menggoda kau ucapkan bahwa kau ingin juga pergi tidur denganku. Aha, kita pernah sambil tertawa-tawa membahasnya, dan kau tidak kecewa saat jawabanku tetap membentur kalimat itu; "œtidak"€�.


Rudolf...,
Lantas waktu terpenggal, kebersamaan kita harus hilang. Seminar itu tidak bisa lagi diperpanjang. Saatnya tiba, Rudolf. Kau harus pergi ke spanyol, kembali menjadi pembicara, seminggu kemudian baru sampai lagi di Indonesia, lantas kembali pada istrimu. Dan aku akan pergi juga, datang lagi pada pelukan pacarku. Dua bulan rasanya tidak cukup panjang.


Rudolf, apakah kau pikir juga demikian?


Hey, mari kita berandai-andai!
Bila waktu bisa kita atur semena-mena, apa yang akan kau lakukan?


Rudolf, bila kau tanyakan hal tentang mengatur waktu itu padaku. Jawabku pasti begini: Akan ku buat waktu melebar hanya supaya kita bisa terus berjalan kaki bersama tiap pagi. Melihat cendawan-cendawan tumbuh di pohonan dan burung-burung riuh saat kita dengan sengaja melempar remah sisa bekas roti sarapan yang sengaja kita sisakan.


Tapi kita kejam!
Aku telah menduga hal itu sejak pertama kita bersua. Aku tak akan merendah untuk meminta kau memelukku lebih dulu, dan kau pun tak mungkin melakukan itu. Profesor sekharismatik kamu pastinya akan berpikir dua kali untuk meminta tubuhnya dipeluk olehku. Lantas yang ada hanyalah senyap, saat waktu mengharuskan kita berpisah, kau hanya memandangku dari kejauhan saja. Dalam diam kutahu kau mencium pipiku, membisikkan salam perpisahan padaku. Dan aku tahu kau juga mengerti arti senyumku.


Rudolf,
Bila saja aku bisa jujur, sebenarnya aku masih ingin memboroskan waktu dengamu. Tapi ku tahu, bila kau mengiyakan pinta tak terkatakan itu, aku tak akan lagi kagum padamu. Maka tindakanmu tepat! Kita berpisah, tanpa pernah saling ucap lagi. Tidak ada tolehan ke belakang, tidak ada percakapan lanjutan baik lewat e-mail ataupun melalui telpon interlokal. Semuanya bagai tak pernah kejadian. Padahal begitu dekat dan masih hangat dalam ingatan. Kita memang punya sedikit kesamaan rupanya; selalu ingin mengakhiri setiap kejadian tanpa mengucapkan salam perpisahan.


Rudolf... Tak terasa waktu kini mulai beranjak siang.
Di kotaku saat ini orang-orang kantoran pasti sedang berkeliaran cari makan. Aku sendiri belum lapar. Sudah pukul 12.35 siang. Bagaimana denganmu? Masihkah terus kau makan semua kudapan yang dibungkuskan istrimu untuk kau lahap di tempat kerja?


Ah Rudolf, kau sangat beruntung. Sebab di satu negara di mana invasi Amerika kini tengah terfokus ke sana, kudengar kelaparan mulai menjalar. Ah bukan, mungkin persisnya tidak demikian. Itu negara kaya, tak mungkin mereka tak punya uang, hanya saja katanya, makanan belakangan sulit didapat di sana. Apa gunanya uang bila sesuatu yang kita butuhkan tidak kita dapatkan?



Rudolf,
Tapi aku disini, masih di Jakarta dan kau masih di sana; kota berhujan yang namanya Bogor. Dekat, tapi kita tetap ingin berjarak.


Kau ingin tahu bagaimana keadaanku?
Aku di sini baik-baik saja. Migrainku masih sering kambuh, sinusitisku selalu tak bisa lenyap. Memang ada Dewey yang menemaniku. Seperti katamu, meski tampaknya ia tak peduli, sesungguhnya ia sayang padaku. Oh ya, semoga asmamu tidak sering muncul. Sebab punya penyakit itu tidak enak, sama tidak enaknya seperti punya anjing penjaga tapi ia galak pada kita.


Semoga tak ada waktu lagi untuk kita, Rudolf!
Sebab bila hanya sebatas ingatan dan rekayasa alam khayal, aku masih bisa bersenang-senang. Tapi apa yang akan kulakukan bila setelah minggu-minggu berlalu lantas kita bertemu di alam kenyataan? Aku sedang makan siang dan Dewey menyuapiku lantas kau sedang berbelanja bahan makanan dengan Nancy di sebelahmu? Ah, aku tak mau merusak apa yang telah kubikin sendiri di alam kenangan, apa yang telah kita tumbuhkan, meski dengan sengaja kita racuni agar segera mati.

Karenanya Rudolf,
Hanya inilah satu-satunya surat buatmu, surat yang tak akan pernah bisa kau baca dan tak mungkin bisa kau balas. Karena begitu kau mengetahui bahwa ini adalah suratku untukmu, aku sudah tidak di sini lagi. Seperti juga hatiku yang saat ini memang telah tak ku miliki sepenuhnya lagi.

Rudolf,
Selamat tinggal. Dewey mendapat beasiswa ke Jerman. Di Koln kami nanti akan tinggal.***


___________________
# PS: Ada kuburan di atas bukit. Ketika kugali, isinya kekosongan, tiada mayat yang dikuburkan. Kisah kita telah usai, tapi selalu..., aku tak henti mengagumimu (oh ya, aku melihatmu di televisi beberapa waktu lalu)#




@Desember 2002.
Bunga Lili merah itu kutanam di pot plastik, Rudolf.
Kuletakkan di belakang rumah kontrakan, dekat jemuran. Tiap daunnya mengingatkanku padamu. Selalu.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home