I N D I G O
Dia tertidur sekarang. Lelap dan Lembut. Serupa rumput jepang yang diselimuti angin di antara hangat malam pekarangan depan yang dipenuhi sinar lampu taman. Rambutnya yang terpotong pendek membuatnya terkesan semakin mungil. Putri kecilku...
Jangan tatap aku demikian.
Adakah itu yang melintas di kepalanya saat ini?
Aku tak memiliki kecanggihan telepati seperti itu, Papa.
Mungkinkah itu yang akan dikatakannya andai dia tahu apa yang kupikirkan saat aku menatapnya sekarang?
Apakah yang terjadi di dunia tidurmu? Bisakah aku tahu?
Dengkurnya halus, nafasnya teratur naik turun. Wajah kekanakan itu kini tampak tenang. Adakah jerit ketakutan itu kini bersembunyi di kulit wajahnya yang halus segar lembut masih alpa dari lubang pori kulit jeruk? Adakah semua hal kasat mata yang dua jam lalu dilihatnya telah benar-benar pergi dari pelupuk mata ketiga miliknya yang belum mampu dia kuasai?
Anastasia Lucy...
Anak itu tumbuh dengan cepat. Tahun berganti, berlarian seperti kenangan yang tak kunjung tertinggal namun terus melaju menyertai waktu yang dengan gigih terus saja mengingatkan akan banyak hal. Peristiwa berlalu, namun makna tetap tinggal.
Aku tak di sana saat Reana melahirkannya.
Kemeriahan merayap dari segenap penjuru London dan memuncak di kawasan Trafalgar Square, Parliement Building hingga Westminster Bridge. Orang-orang tumpah di sana. Aneka ras. Berlainan bangsa. Membentuk kerumunannya sendiri-sendiri. Sekerumunan turis Spanyol membawa gitar dan memainkan musik Flamenco. Segerombolan lelaki dan perempuan bercakap dengan bahasa Itali sambil sesekali merokok bergantian. Pemuda-pemudi Inggris berjalan ke sana kemari dengan teman atau pasangannya sambil membawa minuman anggur, wiski atau sampanye. Aku bersama tiga rekan kerja dari Indonesia dan seorang mitra bisnis perempuan dari Inggris, berada tepat di Kaki Big Ben. Mengunyah coklat diselingi bir kalengan yang sebelumnya kami beli di pertokoan sekitar Brompton Road. Udara dingin London tetap mencucuk, sebagian jalan-jalan ditutup. Polisi dengan rompi kuning bertebaran di setiap sudut. Wajah mereka ramah namun tetap tegas menghalau orang yang mendekat ke Downing Street Nomor 10, rumah dinas Perdana Menteri Ingris saat itu, John Major, yang terletak dua ratus meter dari Big Ben.
Lucy lahir tepat ketika jam raksasa di puncak menara gedung parlemen Inggris itu pertama kali berdentang menyambut tahun baru 1996, delapan tahun yang lalu. Pukul tujuh pagi waktu Jakarta, berarti pukul Nol-nol waktu London saat Winter.
Dini hari seusai pesta tahun baru, sebuah pesan tertinggal di kotak telepon apartemen sementaraku yang sempit di kawasan Knightsbridge.
"Anak kita perempuan. Matanya seperti milikmu, hitam gelap. Kulitnya lebih mirip seperti punyaku, agak pucat tapi tetap kok masih bisalah menjadi seorang Jawa. Seluruh anggota tubuhnya lengkap. Kekhawatiran kita dulu sungguh suatu hal yang tak perlu. You?re not an alien, aren?t you? Tak mungkin lah anak kita berkepala sangat besar dan aneh." Sebuah tawa menutup pesan di telpon itu. Dan tentu saja sebuah permintaan untuk sesegara mungkin menelpon rumah atau rumah sakit, terdengar dari suara perempuan yang masih berbicara dalam logat orang bule yang kental tersebut.
"Who is she? What she said" Sarah, perempuan mitra bisnisku dari Inggris menghentikan ciumannya pada leherku.
"My wife. She just have deliver our daughter." Ucapku sambil menatap kosong butiran salju putih yang turun di luar jendela. Udara di luar pasti sangat dingin. Salju dan hujan saling berganti menaburi kota london dengan kerajaan dinginnya yang membekukan. Tapi hatiku justru berbadai. Rasa bersalah yang tebal, rasa senang yang hampir membuatku berjingkrak kesetanan (andai tak sadar di sampingku sarah sedang menatap penuh rasa ingin tahu), dan tentu saja perasaan rindu yang mendera tiba-tiba serta sedih tak terkira karena tak berada di samping Reana saat dia melahirkan, bercampur menjelma adonan taifun yang kandas di perut. Menimbulkan sedikit perasaan mual dan tak enak di ulu hati.. Semacam perasaan ingin muntah namun tak jadi.
"O, Congratulations" Ucap Sarah datar.
"Terima kasih," Jawabku.
Dan aku segera pergi ke dapur. Meraih gagang telpon yang terletak dekat kulkas dan memutar nomor kode Indonesia. Lewat ujung mata, aku melihat Sarah duduk di kursi depan meja kerjaku sambil menekuri jendela yang mulai berbingkai putih diwarnai salju nakal yang menempeli kisi-kisinya. Meski dia tak mengerti apa yang kubicarakan, tentu saja aku tak akan menelpon dari pesawat terlpon yang ada di kamar. Sarah adalah perempuan yang baik dan sensitif. Akulah Bastardo nya.
* * *
Sore itu tak pernah kulupa. Dan pasti akan terus kuingat seumur hidupku. Pasti pernah pula ?kan, kalian punya sebuah hari yang seperti itu? Hari yang penuh firasat tapi tak teraba kemana alurnya akan membawa. Belum diketahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.
"Masih saja nangis. Bagaimana tuh?" Cecil menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tahu. Padahal penerbangan lima belas menuju Singapura akan berangkat satu jam setengah lagi. Reana akan pergi ke Amerika sebenarnya, tapi ia ada urusan di Singapura terlebih dahulu.
Lucy menangis hebat di pelukan Reana. Entah kenapa belakangan ia begitu manja pada Ibunya. Dia bahkan tidak mau berangkat sekolah kecuali diantar Ibunya. Tak mau makan kecuali disuapi Ibunya. Kemana-mana tak ingin berpisah dan maunya berdua saja, padahal Reana memiliki tugas yang cukup banyak di kantornya.
"Mommy pergi cuma empat hari, honey," Istriku mengusap-usap punggung gadis kecil berusia hampir enam tahun itu. Kolokannya minta ampun. Padahal biasanya juga Lucy cuek pada Ibunya. Biasanya ia sangat mandiri dan tidak manja.
"Please jangan nangis, nanti dibelikan boneka ya," Reana memberi kode padaku untuk mulai menyalakan mesin mobil sambil menunjuk jam tangannya. Gawat, bisa ketinggalan pesawat kalau begitu terus. Pikirku. Dan dengan tega akhirnya Cecil, adikku, menarik paksa Lucy dari pelukan Reana.
Seperti anak kecil yang dirampas mainan kesayangannya, Lucy ngamuk. Entah apa yang membuat gadis kecil kami yang berambut lurus manis itu memiliki tenaga yang demikian besar. Sore hari sabtu pada minggu pertama bulan September tiga tahun yang lalu itu, Lucy memperlihatkan dirinya yang lain; Lucy si gadis pemarah. Sambil menangis ia terus meronta, menjerit dan melawan sekuat tenaga. Cecil dan Bu Jati, pembantu kami, tampak kewalahan. Namun akhirnya Reana berhasil juga terlepas dari Lucy.
Dengan terburu Istriku segera memasuki mobil. Tangis Lucy dengan jelas masih terdengar bahkan saat kaca mobil telah ditutup. Dan aku tahu, setidaknya tangis itu terus memukul-mukul dinding hati istriku.
"Matamu basah, Dear" Aku menatap Reana saat ia telah duduk di sampingku.
"Lucy aneh, aku jadi sedih. Tidak biasanya ia begitu" Ucapnya sambil dengan tangkas menjumput tissue di dashboard.
"Aku juga jadi sedih," Dan memang perasaan sedih tiba-tiba menyelam perlahan ke dalam hatiku. Menancapkan jangkarnya di sumur rasa dan dengan mudah menimba airmata dari sana hingga mengalir di pipi tanpa kusadari.
"Kamu aktingnya boleh juga!" Reana tiba-tiba tertawa untuk kemudian mengusapkan tissue bekas airmatanya pada dua belah pipiku.
"I'll be oke, kok. Simpan airmata itu untuk pernikahan Lucy kelak," Reana meremas tanganku. Aku membalasnya sambil tersenyum. Ini yang ku sukai dari Re. Tegar.
"Yuk jalan. Ntar aku telat, lagi" Ucapnya setelah mendaratkan sebuah ciuman pendek mesra di bibirku. Mobilpun melaju.
Dan pasti Reana tak akan pernah tahu, setidaknya saat itu aku berniat akan memberitahunya saat dia telah kembali pulang dari luar negeri.
Re, Lucy membuat lukisan yang sangat mengerikan!
Awalnya aku tak percaya apa yang dikatakan Cecil. Tapi saat melihatnya sendiri, aku jadi terbebalak. Dalam hitungan jam (selama aku pergi mengantar Istriku), Lucy telah menghabiskan satu buah buku tulis dan tiga buah buku gambar. Semua diisinya dengan corat coret gambar pesawat yang jatuh dan terbakar!
Jangan lagi! jangan lagi! Aku berteriak dalam hati. Apalagi kini yang akan kamu sampaikan, Lucy? Kamu ingin memberi tahu kalau pesawat Ibumu akan jatuh, begitu? Kalau pesawat Ibumu akan mengalami kecelakaan? Mengapa tak kau bilang dari tadi? Mengapa tak kau katakan saja?
Waktu Lucy berumur empat tahun, dia pernah melakukan hal itu. Sama! Dia marah karena dilarang terlalu sering bermain dan memeluk Bozo. Anjing jenis Sheltie yang dihadiahkan Ibunya Reana. Oma Inggrid, begitu Lucy memanggilnya. Anjing itu mulai nakal dan sering kabur dari rumah. Tentu saja Reana khawatir putri kecil semata wayangnya akan kena kuman atau virus. Dia pun memisahkan Lucy dari Bozo. Lucy kesal dan marah, tapi ia diam saja. Sampai keesokan harinya aku dan Reana dikejutkan oleh ketukan pintu dari tetangga yang membawa tubuh Bozo yang telah terbujur kaku. Anjing keturunan jenis Rough Collie itu ditabrak di jalan. Kepalanya pecah. Dan saat kami hendak memberitahu kematin Bozo pada Lucy, dengan suara kanaknya yang khas, Lucy menunjuk bantalnya, ?Ini Bozo,? Ucapnya. Saat aku membalik bantal yang ditunjuknya, di atas sarungnya yang berwarna biru polos, gambar seekor anjing dengan kepala pecah terpampang dengan jelas. Ia menggambarnya dengan memakai lipstik milik Ibunya. Aku dan Reana hanya bisa melongo. Tentu saja coretan gambarnya saat itu tidak sejelas dan serapi pesawat jatuh dan terbakar yang ada di hadapanku.
Reana akan bertemu beberapa arsitek di Amerika. Ia diundang untuk terlibat dalam proyek pembuatan taman kota dengan konsep modern yang memadukan gaya Asia-Amerika dengan penekanan fungsi taman sebagai paru-paru kota. Detailnya aku tak begitu mengerti, namun yang jelas kepergiannya ke negeri Paman Sam itu memang berurusan dengan Arsitektur.
Re, begitu aku biasa memanggilnya, adalah seorang arsitek muda Belanda yang ingin mengenal lebih banyak arsitektur bangunan kuno Jawa. Begitulah awalnya. Kebetulan Ihwan temanku yang menjadi kontaknya di Indonesia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Maka aku lah yang kemudian dimintai bantuan untuk menjadi translator sekaligus pemandu untuk Noni Belanda tersebut. Dan akupun jatuh cinta pada gadis muda berkulit putih dan memiliki mata seperti kelereng itu. Dia mengingatkanku pada Sarah. Mitra bisnis perusahaan kami di Inggris. Sarah telah menikah, namun diam-diam aku mengaguminya.
Usiaku lebih tua enam tahun. Tapi Re bisa mengimbangiku dalam banyak hal. Dia juga mencintaiku. Kamipun menikah dan dua setengah tahun kemudian Lucy datang ke bumi.
Dan Lucy kini telah menggambar pesawat itu Re. Aku belum tahu maksudnya apa. Semoga kamu baik-baik saja.
* * *
Namun semuanya tidak baik-baik saja. Tiga hari setelah kepergianmu, malam itu telpon terus berdering. Dari Belanda, dari Yogyakarta. Semuanya menanyakan hal yang sama. Sudah ada kabar dari Reana? Bagaimana dia?
Mengapa aku yang harus ditanya? Aku juga ingin bertanya hal yang sama. Dan alarm di hatiku terus-terusan berbunyi. Menggemakan kekhawatiran bersuara nyaring seperti yang dirasakan keluargamu dan keluargaku.
Re, kamu di mana? Please telpon kami aku sekarang juga! Meetingmu bukan di sekitar gedung World Trade Center kan?
Tapi semua itu hanya harapanku saja. Aku mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sekonyong-konyong aku melihat corat-coret pesawat terbang yang digambar Lucy tiga hari lalu bergerak dalam kotak televisi yang menayangkan serangan terhadap menara kembar. Pesawat yang patah dan jatuh terbakar. Reruntuhan bagunan yang rontok dengan dahsyat dalam sekejap. Orang-orang yang berlarian. Korban ribuan orang. Orang-orang yang menangis. Orang-orang yang marah. Tangisan dan kemarahan yang meski berbeda, tapi kurang lebih sama dengan tangisan dan kemarahan Lucy.
Lucy tahu hal mengerikan akan terjadi jauh sebelum orang lain mengetahuinya. Ia ingin menahan Ibunya. Dan ia marah karena tak berdaya dan tak mampu melakukan itu. Ia marah karena tak bisa memberitahu orang lain apa yang diketahuinya. Ia sangat ingin menyelamatkan Ibunya. Tapi siapa yang mampu menghentikan kematian?
Lucy tidak mau makan selama dua minggu. Setiap saat ia selalu menyebut nama Reana. Aku shock berat! Tapi yang paling kukhawatirkan memang adalah Lucy. Gadis kecilku itu terus-terusan diganggu hal buruk.
Sejak kematian Ibunya ia kerap melihat hal-hal ganjil yang ingin dihindarinya. Badannya bisa tiba-tiba gemetar padahal kami tengah berada di Mall. Lucy bisa tiba-tiba memegangi tanganku dan berbisik kalau sebaiknya aku tidak berurusan dengan orang tertentu. Atau tiba-tiba ia diantarkan ke rumah oleh guru sekolahnya dengan wajah yang sepenuhnya pucat. Tapi yang paling parah adalah kalau ia menjerit-jerit tengah malam. Terbangun dari tidurnya dengan keringat menguyupi dahi dan badannya. Ada yang marah karena Lucy tak mau berteman dengannya, begitu bisik Lucy di telingaku.
Lucyku.
Lucyku sayang... kematian Reana pasti sangat berat baginya.
* * *
Semua orang memiliki aura. Serupa bau yang khas pada tiap kulit. Seumpama semerbak yang berbeda pada tiap bunga. Hanya saja aura tak tercium, tak terindera juga tak nampak. Semacam bawaan yang akan terus ada dan berubah pada tiap manusia tergantung dari apa yang dilakukannya.
Indigo.
Kalimat itu berasal dari bahasa Spanyol. Artinya nila; kombinasi warna biru dengan ungu. Warna yang menempati urutan keenam dalam spektrum warna pelangi. Namun tentu saja di sini aku tak mau memberi kuliah tentang aura dan jenis warna. Hanya saja aku baru mengerti, kalau ternyata selama ini Lucy adalah seorang anak Indigo.
Pernah suatu hari aku mengambil photo Lucy dan aku terheran-heran saat melihat hasil jadinya. Ada semacam warna biru keunguan yang terpancar mengitari seluruh badannya. Dan si tukang cuci cetak memberitahu kalau itu bukan karena kesalahan teknis sewaktu memotret atau mencuci cetak. Dia memperlihatkan beberapa photo yang juga memiliki hal yang sama. Seorang anak remaja putri dan seorang bapak separuh baya.
Tentu saja sebelumnya aku telah membawa Lucy ke psikiater. Namun terlihat Lucy tidak menyukainya. Mungkin ia merasa sebal karena jelas-jelas ia bukanlah seorang pengidap penyakit jiwa. Aku tidak gila Papa, ucapnya.
Dan dengan keterangan dari si teknisi photo tersebut, aku kembali memiliki harapan. Mempertemukan Lucy dengan orang-orang yang semacamnya pasti akan banyak membantu dirinya mengetahui dan mempelajari kondisinya.
Dua tahun berlalu dan keadaan Lucy semakin membaik. Tapi Lucy mengangsurkan kertas folia putih itu padaku kemarin malam.
"Jangan pernah menyuruhnya ke sini," Begitu ucapnya sambil menatap mataku tajam. Aku terbelalak saat melihat tulisan di atas kertas tersebut. Sarah.
Apa maksud anak indogo itu kali ini? Apa lagi? Adakah anak itu bisa melihat masa lalu juga? Apakah ia tahu kalau aku berada dalam pelukan perempuan itu, tepat pada saat Reana melahirkannya? Ataukah akan terjadi sesuatu pada Sarah saat ia tiba di Jakarta lusa?
Kuraba tulisan tangan Lucy pada kertas itu, dan tiba-tiba begitu saja, sebuah penglihatan merobek mataku! Hal itu belum pernah terjadi sebelumnya! Kedua pelipisku seperti ada yang menekan.
Aku melihat hujan. Lelaki dan perempuan berlari menuju tempat berteduh. Mereka tertawa. Sebuah taksi melaju di atas jalan berlubang yang digenangi air hujan. Laki-laki dan perempuan itu menjerit saat terciprat air kotor. Seorang lelaki berbadan pendek tiba-tiba muncul di belakang mereka. Dan tiba-tiba saja sebuah benda berkilau dikeluarkan lelaki bertubuh pendek itu. Pisau!
* * *
Harusnya kamu tak perlu takut padaku, Lucy. Aku Ayahmu dan kita memiliki kepandaian yang sama. Sayangnya aku hanya mampu melihat yang terjadi padaku saja.
Aku berhasil menyelamatkan Sarah dari penodong berpisau Itu. Namun andaipun usus di perutku terburai dan kepalaku pecah seperti kepala Bozo, harusnya dua jam lalu saat aku mendekatimu, kau tak perlu menjerit demikian ngeri, Lucy.
Hilangkan saja perasaan bersalah itu. Tak ada yang bisa menjegal kematian. Bukankah sejak dulu telah kukatakan hal itu padamu? Ah, kamu pasti belum mengerti.
Andai Sarah tak datang ke Jakarta, memang belum tentu pencoleng itu akan mendekat dan pisaunya akan tertusuk di jantungku. Tapi itu bukan salah Sarah. Kematian itu memang takdirku, Lucy.
Di ruang tengah kulihat Sarah masih menangis. Perempuan berrambut pirang itu tampak sangat menyesal. Matanya yang biru tak henti mengeluarkan air. Hidung putihnya telah memerah. Tapi aku hanya khawatir padamu, Lucy.
Siapa yang akan menemanimu bila aku pergi? Atau haruskah aku tinggal di dekatmu padahal tempatku tak lagi di sini? ****
0 Comments:
Post a Comment
<< Home