Thursday, June 09, 2005

K A N A K A R

K A N A K A R
Cerpen Ucu Agustin




Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar.

Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib. Mulanya tidur dalam kerahasiaan tanah, lalu salah satu dari mereka tiba-tiba memutuskan untuk bangun. Menggeliat dan malu-malu menjulurkan tunas kecil indahnya ke arah matahari lantas mereka menjadi begitu bergairah untuk tumbuh, memasak khorofil dengan sibuk dan memekarkan bunga-bunga indah sebelum akhirnya menggelembungkan buah yang beraroma manis di tiap sela batang di antara daun-daunnya.

Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar, bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu bohlam.

Pada dini hari pembuka di bulan pertama setiap pergantian tahun itulah, saat orang-orang di kota ramai merayakan berlalunya waktu dan menyambut datangnya satu fase putaran baru dengan kemeriahan kerlip kembang api dan keriaan sumbat-sumbat minuman yang dibuka dengan paksa, lelaki itu cukup mengenang saat yang seperti itu sebagai saat Kanakar saja.

Kanakar...

Dmitri melihat mereka dari sela-sela antara akar-akar. Tujuh puteri bersaudara... Seven sisters, begitu orang-orang berkulit putih menyebut mereka dalam bahasanya.

Bagai lulaby panjang yang menyobek malam hening di suatu kampung. Seperti kisah dalam cerita kanak-kanak tentang seseorang yang dikejar mahluk raksasa hijau dan cukup menjadikan aneka bumbu seperti garam, terasi dan merica sebagai senjata yang ketika dilemparkan ke tanah akan berubah menjadi aneka mahluk yang menyeramkan dan siap melawan si buta ijo yang mengejar. Seperti fabel-fabel yang dituturkan lewat lisan tapi kini menjelma dengan nyata di depan mata. Itulah yang terjadi pada saat itu. Waktu kanakar.



* * *


Gelap menggelayuti hutan. Pohon-pohon seperti raksasa berbulu kaki lebat yang siap membuat tersasar kapan saja di antara bulu kakinya. Angin seperti meniupkan nafas salju yang bisa menyumbat laju peredaran darah. Dmitri memeluk tubuhnya. Hanya sebuah jaket kain biasa yang melapisi baju denimnya. Ia sendirian. Dua orang temannya akan segera kembali begitu mendapatkan sigaret dan minuman hangat dari kampung terdekat. Begitu kata mereka. Padahal itu alasan pembungkusnya saja. Dmitri tahu hal itu. Alasan sebenarnya, mereka ingin menyapa kekasih-kekasihnya meski sebentar saja.

Tak ada sinyal yang bisa diterima telepon selular di dalam hutan lebat tersebut. Salah seorang dari mereka pernah bercanda, hutan ini pasti banyak perinya, bahkan sinyal saja tak diizinkan untuk menyentuh daerah kekuasannya. Dan Dmitri tertawa. Dari buku cerita anak yang pernah dibacanya, ia masih ingat salah satu keterangan yang tertera di salah satu halaman dalamnya. Begitulah biasanya cara kerja para peri hutan atau mahluk apapun yang sifatnya supranatural. Begitu seorang manusia memasuki kawasannya maka manusia tersebut tidak akan bisa melakukan komunikasi dengan sesuatu atau seseorangpun dalam jarak jangkau yang jauh. Mereka akan mengurung daerahnya dengan kekuatan, memisahkan semakin jauh manusia-manusia yang tersesat dari lingkungan yang ditinggali manusia kebanyakan. Menggiring orang tersebut untuk sampai di jantung kerajaannya dan tanpa disadari membuat orang itu putus asa dan saat putus asa, para mahluk itu akan menampakkan diri mereka. Entah sebagai gadis jelita yang muncul begitu saja dari balik semak-semak seperti dalam film-film klasik silat mandarin saat sang jagoan tersesat di daerah tak dikenal, atau seperti cerita tentang seorang anak yang bertemu kakek berjanggut pada malam di saat ia mencuri kubis dan berputar-putar terus di sebuah kebun tepi hutan tanpa menemukan jalan pulang.

Adalah sebuah kebiasaan yang belakangan seolah menjadi hal ritual. Tiga orang lelaki. Dmitri, Elias dan Firdaus. Bersahabat sejak pertama kali bertemu di kantin SMP mereka yang berdebu.

Sejak saat itu mereka tak pernah berpisah. Melakukan perjalanan merambah kaki-kaki hutan yang belum di jamah. Menyusur pinggir-pinggir pantai yang sepi dan tak biasa disinggahi para peselancar pecandu gulungan ombak. Mengenali aneka tumbuhan dan berpisah saat mereka mulai memasuki bangku kuliahan. Tapi ada satu janji: Saat waktu berada pada pertengahan antara yang lalu dan yang akan datang. Pada setiap pergantian tahun, mereka akan selalu pergi bersama untuk mengenang masa remaja dan mempersiapkan banyak rencana di tahun-tahun mendatang. Mencoret beberapa daftar rencana yang telah dibuat tahun lalu bila rencana itu berhasil. Menulis ulang yang harus dilakukan bila ada beberapa target yang belum tercapai. Tapi itu lima tahun yang lampau. Saat mereka masih mahasiswa dan tertawa-tawa membicarakan perempuan yang mereka kejar di sela merah api unggun kecil yang dibakar dari kumpulan kayu-kayuan yang ditemukan bergeletakan di tanah hutan. Dua temannya kini telah punya kekasih tetap. Dari catatan tahun depan yang sempat diintip Dmitri sebelum mereka berangkat ke Gunung Salak, Elias bahkan menuliskan pernikahan sebagai salah satu target yang akan dilakukannya di tahun depan.

Begitulah.
Jadi andai pada saat tahun baru kali itu, dua temannya lebih serius mengurusi perempuan-perempuannya daripada berembuk tentang rencana-rencana masa depannya, Dmitri bisa maklum.

Dan pada malam pergantian tahun ketika kedua temannya pergi ke kampung terdekat itulah, dia menemukan waktu yang hilang. Saat yang kemudian dikenangnya sebagai saat Kanakar.

* * *

Dua tahun yang lalu, di tengah kelebatan hutan, saat gigil mulai menggigitnya benar-benar, ketika satu persatu dahan-dahan pohon tua ia cari untuk tambahan kayu bakar. Ia melihat mereka dari antara gelantungan akar-akar yang bersuluran dari badan pepohonan. Mereka melayang, terbang. Mengambang dan berkeliaran dengan udara sebagai pijakan, mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan cara berjalan tujuh perempuan yang dilihatnya dari antara akar-akar. Tubuh mereka bersinar seperti kunang-kunang. Rambut mereka tergerai berwarna emas dan api. Mereka tak bersuara tapi tampak mereka tertawa-tawa. Roman muka bahagia terpancar dari wajah mereka yang seterang siang.

Dmitri membeku. Dia hanya bisa menatapi gadis-gadis cahaya itu dari jauh tanpa bisa melakukan apa-apa. Gigil dingin tak lagi dirasakannya. Ia begitu terpesona. Dari antara akar-akar ia melihat perempuan-perempuan seumpama peri itu mengambil tanah dan lantas meniupinya dengan nafasnya. Saat tanah-tanah itu ditabur kembali dari tempat mereka berdiri mengambang, tanah-tanah itu tampak seperti debu yang berpijar. Itukah debu sihir yang ditaburkan Peter Pan dan membuat teman-temannya manusia biasa jadi pada bisa terbang? Lelaki itu ingin berlari menuju hujan debu yang berpijar, tapi keadaan saat itu terasa begitu misterius dan menakjubkan. Dan saat suatu peristiwa berjalan begitu misterius dan menakjubkan, seseorang biasanya tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya terjadi saja. Dan Dmitri, lelaki itu, hanya bisa berdiri mematung saat ketujuh perempuan tersebut melayang kembali ke langit setelah menjumput setumpuk kecil tanah yang berpijar. Tanah yang sebelumnya mereka hembusi dengan nafas mereka sendiri.

Sejak kejadian yang dilihatnya di tengah hutan dua tahun lalu itu, lelaki tersebut mengalami imsomnia. Serangan bayangan ketujuh puteri yang mengambang itu terus menari di matanya. Membuatnya selalu kembali ke hutan itu setiap tahun baru datang, saat waktu yang lama dan yang baru hendak berpagut mengalami pertukaran yang saling bertaut.

Di kepalanya, bayangan itu terus mengambang. Bayang tubuh ketujuh perempuan berambut emas dan api yang semakin jauh membumbung ke angkasa, membuatnya tak bisa menutup mata. Ia ingat benar, saat rambut para puteri yang berkilauan seterang fajar menembus angkasa malam dan bersentuhan dengan cahaya bintang, sesuatu terjadi. Mereka tampak berubah menjadi merpati. Terbang berpencar membumbung ke langit dan saat jejaknya hilang, di atas masing-masing tempat dimana ketujuh burung dara itu lenyap, tampak dengan sangat terang tujuh bintang yang tertawan di awan-awan.

* * *

Hanya hujan yang bisa menidurkanku. Ketik lelaki itu pada keypad Handphone-nya. Ia membaca sekilas pesan yang telah dibuatnya. Jam digital di atas meja kerjanya menunjukkan angka nol dua tiga dua. Suara riuh jalanan yang tadi pecah dengan bunyi terompet dan aneka bunyi petasan kini tak lagi ia dengar. Para pemakai jalan itu pasti sedang bermimpi sekarang. Ia mengirimkan sms-nya.

Tentu saja, karena mungkin seperti yang kerap kau ceritakan, saat purnama bintang-bintang selalu memanggilimu. Pasti itu yang membuat kau tak bisa menutup matamu. Maia.

Lelaki itu baru mengenalnya satu bulan yang lalu. Kejadian tak sengaja; berebut sebuah buku yang sama di sebuah toko buku. Sebuah sore di akhir November. Entah kenapa Dmitri merasa seolah perempuan itu bisa memahaminya. Balasan sms itu adalah jawaban paling masuk akal yang pernah diterimanya sejak ia mengalami masalah sulit tidur. Sejak ia menemukan saat Kanakar.

Dmitri memang merasa selalu dikerdipi bintang-bintang. Mungkin benar, itulah kenapa ia jarang sekali menutup matanya bila datang waktu malam. Ia hapal dengan pasti letak rasi-rasi; Lira, Lepus, Taurus. Juga bintang-bintang besar Casiopea, Al Nath, Borea, dan yang paling sering membuatnya gemetar adalah Pleiades... Posisi bintang itu dan cara mereka mengerdipinya.

Adalah seorang putri cantik yang sangat suka berlayar, Pleione. Menikah dengan Atlas dan dikarunia tujuh puteri cantik yang rupawan. Dan tersebutlah seorang dewa, Orion sang pemburu. Jatuh hati kepada pleione dan ketujuh puterinya. Waktu berlalu dan sang pemburu semakin marah karena penolakan Isteri dan puteri-puteri Atlas. Dan ketika mereka tak bisa lagi menghindar, Penguasa Olympus turut campur. Zeus mengubah ketujuh bersaudari itu menjadi burung merpati dan mereka pun bisa lari dari kejaran Orion yang tak kenal henti. Pleione menjadi sebuah kluster bintang, kini dikenal dengan Pleiades. Tempat sekumpulan bintang di mana ribuan galaksi bertahta. Di Pleiades itulah ketujuh puteri Pleione bermukim. Menjadi tujuh bintang paling terang yang pernah ada di semsta. Di kluster itulah pula, terdapat sebuah sungai cahaya yang mengalir abadi tiada berujung pun tak berpangkal. Yang bila manusia beruntung bisa menatapnya, akan bisa menatap salah satu puteri tercantik dari tujuh puteri Atlas.

Dmitri selalu tersenyum bila kebetulan membaca cerita tentang asal-mula munculnya kluster itu di angkasa. Mitos! Siapa juga yang sudi percaya? Terlebih mitologi Yunani untuk pengantar tidur bocah-bocah yang perlu terus digiring para orangtua untuk terus berimajinasi, supaya daya kreatif mereka tidak mati. Tapi entah kenapa, semua itu begitu tepatnya. Ketujuh puteri di dalam hutan, meniupi tanah hingga menjadi debu pijar. Melayang ke awan-awan, berubah menjadi merpati dan saat semuanya hilang yang tinggal adalah pleaides yang maha terang?

Dmitri menarik nafas panjang. Tahun telah berganti lagi dini hari tadi. Tapi sayang, saat waktu bertautan, saat tahun baru datang dan tahun lama undur pergi bergantian, saat seharusnya ia berada lagi di tengah hutan melihat ketujuh puteri itu lagi dari antara akar-akar, ia tak bisa berada di sana. Radang usus menghambat kepergiannya. Lagi pula kali ini tak ada lagi yang bisa menemaninya untuk membuat daftar rencana di tahun depan, menjelajah hutan itu lagi dan menemui ketujuh puteri yang selalu menghilang tepat jam dua malam. Elias dan Firdaus telah menikah. Elias tengah menunggu kelahiran anak pertamanya, Firdaus sedang di Lombok menikmati bulan madunya. Dan Dmitri hanya sendiri, menahan sakit di perutnya, teronggok di kamarnya dengan hanya ditemani Maia melalui Sms-smsnya.

Jam digital menampakkan angka dua empat lima. Hipnos dewa tidur mulai melemparkan jaring kantuknya. Lelaki itu terperangkap, ia menguap, perlahan kedua pelupuk matanya mulai mengatup.

"Tapi kau telah melihat sungai itu? Dan di sanalah kau akan menikmati segarnya, bersamaku."

Sebuah suara muncul dari antara ambang tidurnya. Sangat dekat dan begitu dikenalnya.

Maia berdiri tepat di hadapannya. Di antara pijar bohlam lima watt warna hijau pekat, Maia tampak seperti salah satu dari mereka. Ini pasti mimpi. Ucap Dmitri dalam hati.

"Tapi semuanya begitu nyata, dan kita telah sangat terlambat, Dmitri. Bersegeralah!" Maia menggapai tangan lelaki itu. Dan keadaan menjadi demikian menakjubkan. Ketika sesuatu berjalan begitu menakjubkan, biasanya orang hanya bisa membiarkannya terjadi begitu saja, tanpa mempertanyakan. Pun ketika perempuan serupa salah satu dari puteri yang dilihatnya pada saat kanakar di tengah hutan itu menggapai tangannya. Mengusapkan debu pijar pada setiap garis tangan yang bertebar di telapak sebelah dalam.

"Maia," Dmitri memanggil nama perempuan itu.

"Ya aku Maia," Perempuan itu menjawab. Dan Maia?

Lelaki itu teringat cerita kanak-kanak itu. Bukankah ia memang salah seorang dari tujuh puteri yang tak henti di kejar Sang Pemburu? Electra, Taygete, Alkyone, Asterope, Merope, Celeone, Maia?.

Malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu bohlam. Bila saja ada yang tidak terlelap setelah pesta tahun baru itu usai, pasti mereka akan menganggap yang di lihatnya sebagai ilusi pada sebuah dini hari.

Dua manusia, lelaki dan perempuan. Bercahaya dan penuh keanggunan, melayang menorobos langit dini hari yang hangat dan rimbun dengan kerdip bintang yang lembut. Saat keduanya menghilang, sebuah sungai tampak terbentang di langit. Sekejap mengalir mengeriap, menabur cahaya perak yang mengkilap untuk kemudian menghilang dan lenyap. Yah, lenyap untuk muncul kembali suatu saat. Saat yang dinamai Seseorang bernama Dmitri sebagai saat Kanakar***









0 Comments:

Post a Comment

<< Home