Saturday, July 16, 2005

Anak Yang Ber-Rahasia

Anak Yang Ber-Rahasia
Cerpen Ucu Agustin
Tahukah kau apa yang dilakukan orang-orang zaman dulu saat memiliki rahasia tapi enggan membaginya dengan orang lain, sementara ia sangat butuh untuk bercerita?

Ia akan pergi ke hutan. Mencari batang pepohonan tertua dan lantas memilih salah satu di antaranya. Melubangi batang pohon itu dan membisikkan rahasia terdalamnya pada lubang di tubuh sang pohon. Dan ia akan menutup lubang di pohon tersebut dengan lumpur atau sebangsa tanah basah lainnya. Menunggu hingga tanah itu kering, menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembus nafasnya.

Rahasianya telah aman bersama sang pohon
...
[1]

Dan pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Massimo kecil saat mendengar hal tersebut dari kakeknya.

Akan dibutuhkan berapa banyak pohonkah untuk mampu menampung seluruh rahasia manusia bila mereka semuanya begitu ber-rahasia dan tak mau membaginya dengan orang lain? Apa yang akan terjadi bila suatu hari pohon itu mati, tumbang karena badai atau terpaksa ditebas karena pohonnya menghalangi jalan atau akan dijadikan papan untuk rumah, dibuat boneka kayu, dijadikan kursi atau perkakas rumah tangga lainnya? Akankah rahasia itu mati bersama sang pohon? Ataukah rahasia itu tetap menempel di pohon tersebut dan bersemayam di situ selamanya? Bersemayam dalam daging pohon itu selama ia masih memiliki wujud, tak perduli apapun bentuknya?

Pertanyaan itu tak pernah dilontarkan Massimo kepada kakeknya. Pertanyaan itu juga tak pernah dikeluarkan Massimo dari benaknya. Pertanyaan itu hanya disimpan Massino dalam kepalanya. Seperti ribuan bahkan jutaan pertanyaan lain yang terus bertambah dan menjadi iring-iringan yang semakin panjang di kepala Massimo. Pertanyaan-pertanyaan yang terus membuat barisan dan berpawai mengitari seluruh membran sel otak di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang ia coba cari sendiri jawabannya. Pertanyaan yang kelak ketika Massimo benar-benar tahu arti jatuh cinta, membuatnya bisa menulis pesan ini untuk Juliana.

Aku pergi, Mom.
Tapi aku tetap tinggal bersamamu.
Janganlah heran, bila suatu saat kau mendengar suara seumpama bisik yang datang dari rak bukumu atau dari lantai kayu di rumah kita. Siapa tahu itu adalah suara dari rahasia seseorang yang sama sekali tak kau kenal. Dan janganlah pula kau terkejut bila suatu hari kau mendengar isak seumpama tangisku atau gumam lirih seumpama gumamku, datang dari salah satu sudut meja atau kursi di rumah kita. Bukan pendengaranmu yang salah Mom, tapi mungkin saja itu sebuah kebetulan yang sempurna.

Aku tidak pernah menceritakan ini padamu, Mom. Juga tidak cerita-cerita yang lainnya. Sejak kanak kau menyebutku anak yang ber-rahasia. Dan sebutanmu itu menempel di kepalaku. Mengoperasikan kerja perilakuku, menjadikanku benar-benar diam dan yakin kalau aku adalah seorang anak yang ditakdirkan untuk selalu menyimpan segala cerita dan rahasia, seorang diri.

Aku memang memiliki banyak rahasia. Dan aku tak membaginya dengan mahluk yang bisa bicara. Mereka tak bisa dipercaya. Aku membaginya dengan tumbuhan. Karena mereka hanya berteman angina. Angin tak memiliki kota tempat menetap. Mereka hanya memiliki tempat lahir tapi tidak tempat tinggal. Semua cerita yang dikisahkan tumbuhan hanya akan didengar sekilas oleh mereka. Dan mereka, para angin itu, akan mendengar begitu banyak cerita, tapi semua hanya sekilas semata. Aku tak keberatan, bila rahasiaku terbagi sekilas dengan angin melalui perantaraan tumbuhan dan pohonan...

Maka Mom, inilah pengakuanku.

Pada suatu hari yang tak kau tahu. Suatu hari di masa kecilku, aku telah berbagi rahasia dengan cara yang diceritakan kakek. Cara yang telah dilupakan orang. Cara-cara lama seperti yang dilakukan orang-orang jaman dahulu. Membisikkan rahasia milikku pada lubang pohon di sebuah hutan yang kemudian kayunya, mungkin saja menjadi salah satu keping di lantai kayu rumah kita atau menjadi salah satu perkakas di sana. Maka setidaknya bila suatu hari kau mendengar sebuah suara yang semirip suaraku, pilihlah alasan yang kau suka. Katakanlah kau berhalusinasi. Sebutlah kau terhantui atau bahkan merasa mendengar bisik suara hantu yang menyerupai suaraku. Tapi aku hanya berharap, masukkanlah kisah yang tadi kuceritakan sebagai salah satu sebab kenapa suaraku bisa muncul di telingamu. Anggaplah kayu itu memantulkan suara rahasia-rahasiaku?

Aku tak bisa bercerita lebih banyak lagi Mom. Kau tahu aku akan selalu menjadi anakmu yang ber-rahasia. Bukan aku tak ingin membaginya dengan mu, tapi tak bisa. Tak bisa.

Aku telah menyimpan rahasia ini sejak berumur delapan tahun. Dan sepanjang sisa usiaku setelahnya, aku selalu ingin menceritakan rahasia ini padamu. Tapi tak mungkin. Tak bisa. Maka kuputuskan untuk pergi.

Ya, aku pergi Mom.
Tapi percayalah aku tetap tinggal bersamamu.

* * *

Rumah itu kini sepi. Tak ada lagi lelaki di sana. Robert memutuskan pergi saat perkawinannya dengan Juliana telah berjalan sebelas tahun. Massimo pergi dua bulan setelah ulang tahunnya yang ke dua puluh. Hanya dua perempuan itu yang kini menghuni rumah bertingkat tersebut. Juliana dan Euis. Juliana, perempuan campuran Palembang-Denmark berusia empat puluh dua tahun. Euis, Perempuan asal Cianjur yang menemani Juliana sejak Massimo pergi dua bulan yang lalu. Usianya baru enam belas.

Apakah kau memiliki rahasia? Seperti angin yang berhenti berhembus tanpa bilang kenapa atau seperti lebah yang merahasiakan pada putik bunga tentang makna dengungnya. Apakah yang kau rahasiakan? Sesuatu yang memalukankah? Atau sebuah tindakan yang bila orang lain mengetahuinya maka kau akan menjadi orang yang berbeda dalam pandangan mereka? Kenapa Massimo pergi? Apakah yang dirahasiakannya?

Perempuan berrambut coklat itu menatap photo di hadapannya. Massimo kecil memakai sweater tebal di tengah lapangan salju. Bersama sepupunya Peter dan Larissa, mereka tengah sibuk membuat boneka salju. Di belakangnya, Robert dan Juliana tengah berpelukan sambil tertawa. Liburan menjelang natal, Melbourne, tiga belas tahun silam.

?Massimo?,? Juliana menyebut nama anaknya, lirih. Jemari tangannya mengusap wajah lelaki kecil yang berada dalam bingkai photo.

Juliana bisa mengendus itu sebenarnya. Gadis-gadis yang tak pernah dibawa Massimo. Cara Massimo menatap teman-teman lelakinya. Cara berpakaian putranya. Kecenderungannya yang halus dalam berperilaku.

Ah, kenapa Massimo harus menutupi itu semua dariku? Kenapa Massimo menduga aku tak bisa menerima keberadannya? Dunia sudah terbuka Massimo, mengapa kau berpikir dunia ibumu begitu sempit?

* * *

Simpanlah rahasia tepat di bawah kulit arimu saja. Itu kalau kamu tak cukup kuat. Cara kerja rahasia yang tak mampu kadaluarsa, lebih dahsyat dari cara kerja hulu ledak rudal dalam menghentikan dan meledakkan hatimu. Maka jangan pernah sekalipun meletakkan atau menyimpan rahasia di dalam hati. Jangan! Hatimu akan koyak dan kau akan menjalani hidup seperti seorang yang hanya memiliki setengah hati saja.

Sore itu tak akan pernah bisa dilupakan Massimo. Ibunya sedang tidak di rumah. Kakek harus Check up. Kadar gula darahnya naik drastis. Massimo sedang memberi makan ikan molly di akurium kecil dalam kamarnya saat Ayahnya tiba-tiba muncul dan menariknya dari belakang. Massimo tertawa-tawa kesenangan. Robert memanggulnya di atas kepala dan melempar-lemparkan badan Massimo kecil di udara. Massimo berteriak girang. Kedua ayah beranak itu tertawa-tawa. Tapi saat jemari Ayahnya menggelitik tubuh kecil Massimo di atas kasur, ada tatapan aneh terlihat di mata Robert. Tatapan asing yang tak pernah Massimo kenal sebelumnya. Tatapan yang membuat Massimo yang waktu itu baru berusia delapan tahun dipaksa menyimpan ratusan rahasia di balik kulit arinya dan membuatnya membiasakan diri untuk memelihara jutaan pertanyaan di kepalanya. Pertanyaan yang tak pernah ia lontarkan keluar. Rahasia yang ia coba tahan supaya tak bisa menjebol hatinya. Rahasia yang sangat ingin ia ceritakan pada Juliana, Ibunya. Rahasia yang terus mengganggu tidur malamnya. Rahasia yang tak kunjung kadaluarsa tapi juga tidak bisa membusuk dalam ingatannya. Rahasia tentang Berpuluh-puluh adegan yang di dalamnya hanya ada ia dan ayahnya saja. Di atas kasur di kamar Massimo. Di dekat kamar mandi saat Massimo akan bersegera untuk pergi ke sekolah. Di rumah kakek saat Juliana sedang sibuk mengurus Ayahnya yang sakit. Tarikan tangan Robert yang keras dan kencang. Nafas ayahnya di leher belakang Massimo. Jeritan dan tangis kecilnya saat Sang Ayah menghentak keras di tubuh bagian belakangnya.

* * *

?Selama ini kamu menyimpannya sendiri?? Lelaki itu menatap Massimo. Dari kejauhan, laut di depan mereka terus membuat gumpalan air setinggi dua-tiga meter.

?Kini tidak lagi.? Massimo menatap ombak yang jauh di depan mereka. ?Aku tak berhasil menemukan pohon tempatku menitipkan rahasia dulu. Mungkin petir membuatnya tumbang. Tapi aku menemukanmu, dan rahasia itu telah kubagi sekarang,? tangan Massimo menyentuh ujung jari lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Lelaki bernama Agung itu tersenyum mendengar ucapan Massimo. Tangan Massimo yang putih lentik sudah berada dalam genggamannya kini.

?Aku memang ditakdirkan menjadi pohon rahasiamu,? lelaki itu mengedipkan mata kanannya dan tertawa. Tangannya yang sebelah kiri kini menyibak rambut depan Massimo yang acak-acakan dipermainkan angin.

?Ibuku sangat mencintai Robert. Aku tak mau menyakiti Juliana.? Massimo menyandarkan kepalanya di bahu Agung. ?Ia bahkan tak tahu Robert pergi karena aku mengancamnya,?

?Oh ya?? Agung menatap Massimo tercengang. Pacarnya yang masih muda itu memang banyak memiliki rahasia. Dan satu persatu Massimo telah membuka rahasia itu padanya.

?Robert pergi meninggalkanku dan Juliana waktu aku masih berumur sepuluh. Aku mengancam akan membunuh diriku kalau ia masih begitu padaku. Dan ia takut.? Massimo menarik nafas panjang. ?Tapi Ibuku terus-terusan menangis. Dan aku tak berniat mengganggu kesedihannya yang tak berguna.?

?Ia juga pasti sedang menangis sekarang,? Lelaki di samping Massimo itu membenarkan letak jaket parasutnya yang kocar-kacir dipermainkan angin.

?Setidaknya kali ini ia menangis untuk alasan yang benar. Menangisi anaknya yang tak mau membagi kebenaran yang menyakitkan tentang suaminya. Ayahku.? Dan begitu saja Massimo berdiri saat kalimatnya usai. Menepuk-nepuk pasir dari bagian belakang celananya dan mengulurkan tangannya pada Agung.

?Kemana?? Agung mendongakkan kepalanya.

?Berjalan-jalan.? Massimo menggerakan kedua telapaknya memberi isyarat ajakan untuk cepat pergi. Agung tertawa. Pacarnya memang seorang pendiam yang memiliki semangat spontan yang luar biasa. Lelaki itu kini turut bangkit. Tapi tiba-tiba ia mengambil posisi seolah hendak duduk kembali.

?Ada apa?? Massimo menatap pasangannya, heran.

?Biasa banget sih kamu? Dompet nih ketinggalan!? Lelaki itu mengangsurkan Dompet kulit berwarna Cream milik lelaki muda di hadapannya. Dan Massimo buru-buru mengambilnya sambil tersenyum.

Agung tak tahu, seorang anak ber-rahasia akan tetap memiliki rahasia tak perduli berapa banyak rahasia yang telah diungkapkannya.

Di antara lipatan dalam dompet Massimo yang baru saja diberikannya, sebuah photo tersimpan di sana.

Massimo kecil memakai sweeter tebal di tengah lapangan salju. Bersama sepupunya Peter dan Larissa, mereka tengah sibuk membuat boneka salju. Di belakangnya, Robert dan Juliana tengah berpelukan sambil tertawa. Liburan menjelang natal, Melbourne, tiga belas tahun silam.

Bila saja Agung melihat photo tersebut, ia pasti akan sangat terkesiap. Lelaki dalam photo yang tengah berpelukan dengan Juliana begitu mirip dengannya. Ya, wajah lelaki itu amat mirip dengan parasnya. Amat sangat mirip?***


__________________________

Catatan:

[1] Ucapan Tuan Chow (Tony Leung) kepada sesama pengunjung warung mie tempat dia biasa makan. Sebuah scene dalam Film In The Mood For Love arahan sutradara Wong Kar way. Film ini berhasil memenangkan penghargaan untuk aktor dan tehnik film terbaik dalam festival film Cannes tahun 2000.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home