Thursday, April 22, 2004

Aku Ingin Memenggal Kepala Ayah

Aku Ingin Memenggal Kepala Ayah
cerpen ucu agustin




Saat ayahku meninggal, hal pertama yang akan aku lakukan adalah mengambil kepalanya! Tentu saja hal tersebut tidak akan kulakukan di depan mata orang-orang, melainkan di sebuah ruangan yang penuh dengan mantera dan doa. Do’a dari seorang anak yang sangat kagum akan Ayahnya.

Sebelum kepala itu membusuk dan ketika kuburnya telah ditinggalkan orang hingga yang tertinggal hanyalah bisu dari sunyi yang lengang, aku akan mengendap, menggali tanah merahnya, merobek kain kafan putihnya. Saat kukeluarkan kepala ayah dari kain kematian yang membebatnya, akan kupisahkan tanah-tanah yang mengotori giginya, terutama kan kulindungi bagian kepala itu persis pada belahan otaknya. Lalu Dengan bambu yang ujungnya meruncing, akan kupenggal kepalanya, kubungkus dengan daun talas. Meski kepala itu pastinya sudah tak memuncratkan darah ketika kupotong, tapi aku akan memastikan bahwa kepala ayahku selalu terlihat bersih dan tampan. Pastinya aku kemudian akan mencari air dan memandikannya di atas selokan sebelum kbawa pulang ke persembunyianku sambil berjalan pelan-pelan.

Ya, memenggal kepala Ayah adalah salah satu obsesi terbesar hidupku. Maka dengan segala cara, ‘kan kusiasati segala hal yang akan membuat mulus rencanaku itu kelak, sebuah rencana yang akan kulakukan pada suatu hari di masa depan.

Sungguh. Sudah lama aku penasaran, dari mana semua pikiran itu bermula; mimpinyakah? Pengalaman getir hidupnya? Masa lalukah? Atau mungkin sebuah tenaga spontan yang menggerakkan dia begitu saja?

Aku kerap mengingatnya selalu begitu bijaksana. Laksana filsuf dia selalu berpikir sehat. Mengucap tentang kisah bunga-bunga lotus yang tumbuh di rawa-rawa kotor, tapi tak terradiasi putih bunganya oleh keruh air rawa dibawahnya. Dia juga kerap berkhutbah. Tentang generasi muda yang suatu hari pasti akan memegang dunia. Kawula muda yang menggoyang planet bumi yang bulat dan kemudian pelan-pelan sambil berjoget menghancurkan nilai-nilai lamanya, membentuk peradaban baru sesuai masanya. Ayah selalu tertawa, sambil minum bir ia tak pernah berhenti bersendawa. Tapi kadang, di antara musik Rock 'n Roll dan melodi ritmis blues serta gesekan jemari pada gitar yang mengalunkan jerit hati, aku lihat airmatanya kerap terurai pelan.

Aku juga kerap mengingatnya sebagai trenggiling yang selalu terpingkal kala mencambuk Ibu dan menghajar pembantu. Dia bisa begitu kasar, tak mampu mengelola emosi saat amarahnya datang. Bagai dikuasai dewa petir, dia selalu menyalak tiba-tiba dan tak pernah bisa diduga. Dengan jarinya dia menyengat, dengan kakinya dia mengikat, dengan ucapannya dia menyuruh kami perempuan di rumahnya untuk menjilati lantai yang penuh dengan kotoran. Kami tak membencinya, tapi dendam dalam hati berkobar-kobar.

Namun meski demikian, tidak sekali, pada malam di mana keheningan meraja, aku menyaksikan ayah berdo’a. Dengan khusyu’ dia menyebut nama perempuan di rumah kami satu-persatu. Mendo’akan agar kebahagiaan, umur panjang, kesejahteraan, dan segala kemurah-hatian Tuhan tertabur dan senantiasa mengekori kami. Dia terus berharap akan kebahagiaan perempuan, meski yang paling minim, walau anugerahnya mungkin tidaklah seberapa.

Ayahku kerap mengajak anjing berdiskusi, dia juga memberi binatang itu makanan dari daging manusia. Katanya, manusia tak layak mengkonsumsi daging binatang, tapi binatang halal membunuh manusia untuk mendapatkan dagingnya. Aku tahu Ayah punya alasan ketika mengatakan hal tersebut, tapi bagiku alasannya tak rasional! Dia bilang, dia adalah anjing. Dan untuk segala hal yang memudahkan kaum anjing, dia akan berbuat apa saja, termasuk menentukan hukum-hukumnya. Masa bodoh, namanya juga alasan, setiap orang bisa saja melakukan pembenaran-pembenaran.

Tapi kini Ayah belum meninggal, memotong kepalanya ternyata masihlah merupakan suatu cita yang tempatnya masih jauh di ufuk fajar. Pada ufuk aku selalu kesilauan, karena cahaya terangnya selalu tak mampu aku tepiskan. Apa yang bisa aku lakukan?

Maka suatu malam aku keluar kamar. Bulan di atas kepala tinggal sepasi. Warna nyalanya pasi. Aku duduk di sana, serambi di mana ketika kecil dulu aku dan saudara-saudara perempuanku sering bergurau sambil berlari-lari. Menikmati angin malam sambil memamah sisa hari yang beranjak semakin mengelam. Seru! Sebuah suasana riang yang selalu terhenti kala suara tegur ayah datang.

Tentu saja gelak itu sudah tak ada lagi, kini. Satu-persatu perempuan di keluargaku pergi. Bukan untuk memiliki dirinya, tapi untuk kembali dimiliki suami-suaminya. Perempuan jarang tidak menjadi barang. Setelah menjadi kanak yang adalah milik bapaknya, perempuan lantas menjadi milik suaminya, lalu menjadi milik anak-anaknya. Cuma ketika mati saja barangkali, perempuan baru benar-benar bisa menjadi dirinya. Teori itupun masih bisa dibantah. Konon katanya, sejak dilahirkan perempuan sudah mendapat kutuk Dewi Artemis, seluruh hidupnya adalah untuk mengorbankan dirinya. Dan ketika mati perempuan menjadi milik Tuhan, dia dikutuk menjadi bidadari penghias surga, pemenuh kebutuhan nafsu pria.

Malam itulah. Malam di saat denting bunyi kelakar masa kecil meruap, aku didatanginya.

Dia mengaku bernama Iblis. Berwajah tampan dan berperawakan menawan. Mana aku percaya. Yang ada jadinya aku naksir, diam-diam tertawan lantas jatuh cinta.

Jangan percaya pada rupa, dengan dua juta perbulan, manusia bisa berubah dari jelek menjadi tampan.€� Ucapnya sambil tersenyum menawan. Aku semakin kelimpungan.

Setelah mengecup pada pipi sebelah kiri, Ia pergi. Pada sebuah belokan, dia menghilang. Pada daun telingaku, sempat ia semat sekuntum kalimat. €œAku akan kembali menemuimu€�, ucapnya sebelum kemudian ia melumat bibirku.

Malam selanjutnya kami benar-benar kembali bertemu. Dengan sedih kukatakan padanya betapa ingin aku memenggal kepala Ayah.

œUntuk apa? €� Tanyanya.

Agar aku bisa tahu mengapa ia menjadi manusia bila hanya untuk hidup seperti itu,€� ucapku.

Kau telah pandai mempertanyakan hidup orang, lantas untuk apakah hidupmu sendiri?€� Tanyanya lagi.

Sambil memandang gelas teh kosong, aku berucap pasti. €œSaat kanak pada awalnya aku bercita untuk menjaga mawar. Ketika remaja, hidup ku abdikan untuk menjadi manusia. Namun saat dewasa kini, kuputuskan untuk memenggal kepala Ayah. Kau tanya mengapa? Karena aku tak mau kelak menjadi dirinya.€� Mendengar jawabku lelaki itu lantas membelai tengkuk. Dan pada rambut panjang yang tumbuh di kepalaku ia memoleskan sesuatu.

Apakah itu? €�Ttanyaku ingin tahu.

€œItulah segala wangi yang akan mengabulkan pintamu.€� Ucapnya sambil kembali mencium dada kiriku, mengunyah daun telingaku, memelintir lembut lidahku. Ketika aku terpejam, ia minta ijin pulang. Dia bilang, €œTugasku sudah usai, dengan tanganmu kepala Ayah kini bisa terpenggal€�.

Aku memeluknya semakin erat, namun pada dadanya aku tak menemukan detak. Saat mataku mempertanyakan di mana deras nadi darahnya, ia tersenyum.

œTelah kukatakan padamu yang sebenarnya. Bila kemarin kau tak percaya, aku mafhum. Namun bila kini kau masih ragu akan aku, semua terserah padamu.€� Lalu dari punggungnya keluar jubah, warnanya merah. Ketika tertampar cahaya bulan, warna jubahnya tampak seolah terbakar. Apakah dia Iblis? Aku pasrah. Dia menggigit leherku dan mengalirkan darah seiring rasa nikmat yang meluruh lamat-lamat.

Malam itu juga, ketika Ayah tertidur lelap aku menghunus pisau pada lehernya. Sebuah lenguh kesakitan sempat kudengar. Namun selain aku, siapa lagi yang perduli? Di rumah besar ini yang tinggal hanya kami.

Lima tahun yang lalu, Ibu telah mati. Tepatnya dibunuh. Tidak langsung oleh tangan Ayah, tapi oleh sikap dan kelakuannya yang membuat penyakit mudah datang dan menempel pada tubuh Ibu yang ringkih. Melihat Ibu kesakitan, Ayah malahan senang. Kurang ajar! Aku sakit hati, dan rasa itulah yang kini menjadi sumber murka dan ketegaan saat dengan dingin aku putuskan rampung seluruh urat dan serat daging yang menempel pada lehernya.

Dengan darah masih terus menetes ke lantai, kujambak rambut Ayah. Tanpa ragu kubelah kepalanya. Mencari sesuatu pada benaknya.

Dalam benak Ayah ternyata aku menemukan virus. Mulanya tampak seperti cacing. Namun kelamaan berubah menjadi renik yang bila dilihat benar-benar sangatlah menjijikkan. Renik itu berasal dari DNA dinosaurus. Berusia sangat tua, ribuan tahun sebelum Al Masih diturunkan ke bumi untuk menyeru pada yang satu tapi tiga.

Dan bukan hanya DNA dinosaurus saja yang menempel di otaknya dan membuatnya kerap berlaku primitf dan kasar. Pada benak Ayah aku juga menemukan semangat kebenaran. Sesuatu yang bersinar tapi diliputi cahaya kelam. Aku baru tahu, Ayahku ternyata adalah seorang pemberani dengan cita-cita yang teramat ideal; pejuang kebenaran yang sangat bersemangat dan ngotot untuk terus menegakkannya meski dengan cara yang tidak benar. Ayahku seorang Fundamental!

Tapi aku tidak bingung! Belakangan banyak sekali orang yang menganggap dirinya benar dan yakin benar bahwa dialah yang paling benar, padahal dia belum tentu sang maha benar.

Maka setelah kutahu beberapa rahasia dalam kepala Ayah, kulanjutkan penjelahan itu. Aku masih penasaran.

Kupotong sedikit otak kecil di bagian belakang kepala Ayah. Konon katanya di situlah pusat segala perintah. Ibarat mesin induk, maka otak kecil inilah yang menggerakkan segala daya pikir dan olah tubuh.

Di sana aku menemukan teroris! Berpakaian tidak seperti Al Qaeda, juga tidak seperti para Ninja. Pakaian mereka akal yang berspora, terbagi dalam lekuk yang berujung pada gumpalan kecil-kecil yang halus dan berlemak. Entah kenapa aku sangat ingin meniupnya. Dan Fhuih....

Seolah mendapat ruh. Begitu terkena hembus nafas, teroris-teroris itu bangkit! Menyebar warna yang menyilaukan, membuat mataku tak punya penglihatan. Aku Langsung terpejam. Mataku perih dan kesakitan.

Namun terotis itu tak kenal kasihan. Meski aku tidak mencoba melawan, mereka terus saja memborbardir dengan serangan; menyerbu jidatku, berlompatan di kepalaku, mencoba masuk dalam benak, menimbulkan sakit yang berdenging sangat nyaring di telinga, membuat pening kepala.


* * *


Pagi masih segar saat semut-semut itu berhasil aku bantai! Aku tahu kebenaran mesti ditegakkan. Tak boleh ada yang menyentuh gulaku! Sebab aku membelinya tidak dengan gratis! Aku mendapatkannya setelah berusaha. Setelah aku harus meluangkan waktu 5 hari kerja. Apa hak binatang itu mencurinya dariku? Akan terus ku pertahankan milikku sampai titik darah penghabisan.

Dan itulah hasilnya! Ribuan semut itu aku bantai, dengan Baygon semuanya modar menyengsarakan! Kasihan...

Kuseruput teh yang telah mendingin, kubenarkan blazer warna hitam berukuran panjang mirip kelelawar yang saat ini tengah kupakai. Kudongakkan kepalaku, menatap pada cermin yang berada tepat di seberang ruang beranda. Aku tersenyum, dan begitu saja. Di sana. Pada kaca itu. Terpantul wajahnya.

Wajah seorang Ayah yang sangat bahagia. Kini anaknya telah benar-benar mirip seperti dia.***



11 November 2002