Thursday, September 28, 2006

Perempuan Yang Melahirkan Hujan




Setelah kisah ini kuceritakan, mungkin kalian akan mengerti mengapa berulang-ulang terus saja aku masih mau melakukan hal yang demikian. Bila lampu mati akulah yang akan kembali menyalakan lilinnya. Bila hujan datang, akulah yang akan menyisiri lagi rambutnya. Bila lidahnya terpenggal dan patah, akulah yang akan mencarikan para Driad dan membiarkan mereka meracik ramuan itu tepat di depan matanya.

Padahal dibutuhkan bermalam-malam perjalanan yang penuh gulita untuk sampai ke desa tempat para Driad itu tinggal. Dan menemukan mereka bukanlah perkara mudah.

Seperti tempat kunang-kunang di jaman sekarang, tempat tinggal para peri pohon itu sudah sangat sulit ditemukan. Bukan hanya berpindah-pindah dan dibutuhkan kejelian untuk mengira tanda-tanda detak kehidupan mereka. Tapi mereka memendam ketakutan pada manusia. Seperti air yang mengalir, dalam darah para Driad tumbuh sebuah arus serupa naluri alami yang berbentuk riak pada awalnya tapi lantas membesar membentuk pusaran yang memberitahu seluruh kampung akan datangnya bahaya saat angin mengabarkan pada mereka sebentuk suara dari langkah kaki manusia. Dan bila suara langkah kaki itu tak mereka kenal sebelumnya, para Driad itu akan langsung beterbangan dari pohon-pohon besar tempat mereka tinggal. Meletakkan setetes air mata mereka pada rongga pohon tertua, dan bila hujan datang mereka akan kembali ke pohon tersebut untuk bersama saling menghangatkan badan sebelum perkampungan pepohonan yang aman untuk dijadikan tempat tinggal baru, ditemukan.

Tentu saja dia bukan salah seorang dari mereka. Hanya saja aku bisa mengendus aroma hujan dari tubuhnya. Rasanya basah dan berbau air. Bila kau pernah pergi membaui lumpur kau pasti bisa membedakan yang mana yang air dan mana yang lumpur atau mana air yang berbau lumpur dan mana lumpur yang mengandung air. Air akan mengambil warna lumpur, tapi lumpur tak akan pernah bisa menjadi sebening air. Air berlumpur akan menguarkan wangi buruk tanah yang apek lapuk. Lumpur berair akan menjadi sangat lembek dan amat mudah diciprat kemana saja. Sedangkan air akan tenang berdiam bening di tempatnya bila ia tergenang di antara tumpukan lumpur yang menggunung. Dan begitulah Ia.

Segelas Pepsi Cola sedang dinikmatinya saat pertama kali aku melihatnya di sebuah warung gerai Francais yang banyak tersebar di mall-mall. Dia setenang air yang menggenang di antara tumpukan lumpur. Tentu saja sesekali ia tertawa dan menebar senyum menimpali kedua temannya yang tengah asyik bercengkrama.
?Ada yang memenggal kepalaku semalam,? begitu katanya. Tak sengaja aku menguping dari meja sebelah.
?Mimpi biasa. Tampak tak nyata.? Komentar perempuan yang berada di kursi kanan di antara kesibukannya menggumuli es krim berbentuk kerucut penuh dilumuri coklat.
?Dan mimpi itu pasti hilang begitu disentuh pagi ?kan? Bukankah demikian, Sedi?? Teman yang satunya lagi menimpali sambil meremas tissue, memindahkan kotoran dari tangannya ke serat tipis berwarna putih tersebut.
?Ya sudah. Kalau tak percaya tak apa.? Perempuan yang dipanggil Sedi itu mengendikkan kedua bahunya dan lantas memasukkan burgernya ke dalam mulut dan mengunyahnya pelan-pelan seakan setiap irisan sayur, daging dan roti yang dinikmatinya adalah hidangan para dewa yang diturunkan ke bumi sebagai hadiah bagi manusia. Terlihat benar ia sangat menikmatinya.

Dan aku terperangah. Perempuan yang tengah menikmati burgernya itu membuat aku berdebar. Dari arah di mana aku duduk, aku bisa melihat ada sesuatu yang terjadi! Dan sesuatu yang awalnya tak kusadari itu kini menghentakku. Aku bisa melihat perubahan itu dengan pasti.

Setiap gigit makanan yang ditelan dan dimasukkan ke tubuhnya, setiap sedotan cola yang direguk dari gelas plastik berpindah ke tenggorokannya, ada sesuatu yang berubah pada perempuan itu.

Rambut perempuan berwajah bundar yang dicat dengan warna coklat tua itu terus saja bertambah panjang. Dan aku bisa melihat rambut tersebut setiap detiknya semakin mendekati lantai. Dan saat hujan mulai turun tipis-tipis di luar jendela kaca lebar di warung gerai, aku tahu, dialah perempuan yang selama ini harus aku temukan!

Ya, aku tahu! Dialah perempuan yang dari rambutnya melahirkan hujan

* * *

Tak ada jalan-jalan kecil tak bernama yang menyesatkan. Tak ada rumah berkerlip yang bisa ditemui saat tiba malam. Pun tak ada pelataran yang ditumbuhi hanya bunga dan pepohonan seperti taman yang kutemui di beberapa tempat ketika aku keluar dari negeri asalku.

Sejauh mata memandang, yang bisa ditemui di negeriku hanya hamparan gurun serupa tanah datar tak berujung yang dipenuhi buliran lembut pasir yang memadat dan akan beterbangan membentuk pusaran saat kuda-kuda berbadan besar dan tegap itu melaluinya dengan langkah kaki yang menjejak cepat dan kuat. Kuda-kuda itu akan saling membenturkan diri sebelum para penunggangnya yang berjubah hitam saling menebaskan pedang dan matahari memantulkan kilau keperakan dari senjata-senjata yang menari di udara.

Pertempuran itu selalu dimulai tepat saat matahari berada di atas kepala. Aku masih selalu mengingatnya dengan jelas.

Para perempuan Suku Tsaiaya, satu dari enam suku yang terdapat di negeri Merkabah, akan menunggangi kudanya menuju Lembah Nisa dua jam sebelum matahari mencapai ubun-ubun. Rambut mereka yang panjang akan telanjang diterjang angin yang tak segan mempermainkan bahkan menampar kulit wajah mereka yang putih kecoklatan. Anak-anak dan bejana adalah dua hal yang selalu mereka bawa.

Sedangkan para lelaki, mereka akan serentak mengenakan jubah perang mereka dan menyebarkan Iareuh, semacam mantra untuk membuat kuat kuda-kuda perang mereka. Sekepal pasir akan didekatkan pada perapian sebentar, dimantrai dan kemudian digosokkan di antara surai dan bulu kuda juga jubah mereka, sesaat sebelum mereka berkumpul untuk berdo?a bersama. Do?a memohon kemenangan dalam perang.

Tak ada langkah gentar atau pandangan ragu saat para pria itu satu persatu menaiki kuda-kuda gurun yang telah mereka persiapkan. Langkah pacu kuda mereka yang terus memburu maju , sepasti aliran sungai yang tak akan berpindah dengan semena-mena dari alurnya. Dengan pedang yang tersimpan aman di sabuk yang direkatkan di pinggang, dengan kuda perkasa yang seolah telah paham tujuan perang mereka, perang saudara di Merkabah, negeri para penunggang kuda, ibarat pereseteruan siang dan malam yang tak lekang oleh lerai fajar atau cara rekonsiliasi senja ketika memenggal cahaya.

Merkabah terpecah. Darah tumpah. Korban terus saja berjatuhan. Dan seperti kesetanan, lelaki-lelaki negeri penunggang kuda itu seolah lapar untuk saling memamerkan kekuatan. Perang saudara membelah kebersamaan yang berabad sebelumnya telah tercipta. Sejak Mata Air Kahlirhu hanya mau menyembul di Araima, maka penduduk Merkabah menjadi gelap mata. Semua berebut untuk menguasainya. Enam suku bertempur untuk menjadi penguasanya.

Namun saat perang saudara tak juga kunjung reda dan bayi-bayi mulai banyak yang mati, sebuah keajaiban terjadi. Hanya aku dan perempuan-perempuan suku Tsaiaya yang mengetahuinya. Dan mereka memendam rapat-rapat rahasia besar itu di lembah Nisa. Lembah perlindungan yang bila malam tiba, pasirnya akan menyembulkan kilau cahaya dan bulir-bulir putih lembutnya akan memantulkan sinar bulan yang sedang bercengkrama.

Malam itu kami para lelaki suku Tsaiaya membagi tugas. Aku berusia delapan belas. Memiliki seekor kuda jantan dan sebilah pedang, yang kata penjualnya, konon ditempa oleh para perajin di desa yang memiliki empat musim yang berganti setiap tiga bulannya?kami memang kerap berjumpa dengan kafilah pedagang yang tersasar di gurun. Diputuskan aku akan bertugas menjadi salah seorang Galmajai selama sepuluh hari sepuluh malam berturut-turut. Galmajai adalah sebutan untuk para lelaki yang bertugas mengawal dan mengamankan para perempuan dan anak-anak yang suami atau bapaknya tengah pergi berperang. Maka malam itu, bersama dua Galmajai lainnya kami membelah gurun pasir dan menemui para perempuan dan anak-anak yang untuk sementara bermukim di lembah Nisa.

Saat kami sampai di lembah tersebut, keadaan sudah sehening seperti saat dua ekor kucing gurun yang bermusuhan bertemu dalam diam. Setelah membuka surban penutup kepala dan memberi salam kepada tiga orang Galmajai yang bertugas sebelumnya, kami mulai bekerja. Seorang Galmajai yang berpengalaman akan menjaga api di gerbang lembah. Memastikan tak ada musuh yang menyusup diam-diam di antara hembusan pasir. Seorang Galmajai lain yang memiliki ilmu cukup tinggi akan memantau seluruh tempat perlindungan dan berkeliling menebarkan Iareuh, membuat lingkaran perlindungan dari segala tabir hitam yang disebar musuh yang tak bisa dilihat mata. Dan aku Galmajai termuda, melihat keadaan para perempuan dan kanak-kanak dari dekat. Memastikan keadaan mereka dan bila siang tiba, mengajak mereka bercakap atau memastikan kelak pesan para istri sampai kepada para suami dan sebaliknya.

Malam seperti bidadari terpanah sepi. Hening dan tak mengirimkan desau angin yang biasanya ramai memeriahkan malam-malam di gurun. Saat itulah aku pertama kali mengendus bau itu. Bau sejuk yang jernih dan menyegarkan. Bau yang kucium keluar dari seorang perempuan yang memeluk seorang bayi yang dibungkus kain perca dan diselimuti kulit kuda.

Aku mencium wangi air keluar menyengat dari tubuh sang Ibu muda. Dan saat kusentuh sekilas ibu jari perempuan itu, begitu saja aku mengerti kalau mimpi tidak datang dari alam bawah sadar tapi memasuki benak lewat kaki, berjalan di aliran darah untuk kemudian membelah diri, meruyakkan semua hal yang diinginkan tapi tak kunjung terwujud. Sang perempuan memimpikan air. Dan begitu saja, dari ujung jari kaki yang kusentuh tadi, air mengalir bagai pancuran. Mengucur deras merembesi secarik kain yang dijadikan alas tidur, menembus pasir dan membuatku terpana. Semakin lama air tersebut semakin banyak, dan Ibu muda yang tidur memeluk bayi tersebut baru terbangun ketika seorang perempuan yang tak sengaja terbangun tengah malam memekik kegirangan melihat air yang mengalir dari ibu jari kakinya seperti pancoran. Mimpipun terbang dan air berhenti mengalir.

Sejak itulah kabar itu menyebar. Namun seperti penyamun yang dengan segala cara merahasiakan misinya, demikin juga dengan yang terjalin di antara kami. Rahasia itu tersimpan rapat. Terikat di tenggorokanku, terikat di ujung mulut para perempuan dan kanak-kanak yang berlindung di lembah Nisa saja. Seorang pengendus air telah ditemukan! Dan dengan begitu, harapan akan perang yang bisa dihentikan menggelembung di hati kami sedemikian besar. Ya, aku lah pengendus air itu.

* * *

?Mewujudkan mimpi tak bisa tergesa. Aku tahu, aku juga belum mampu berbuat untuk orang yang begitu banyak. Namun yang terjadi kemudian adalah malapetaka. Tak bisa dicegah dan terjadi begitu saja. Darah para perempuan mengalir menembus lapisan pasir dan membuat marah para penguasai air di negeri bawah pasir dan tanah. Mata Air Kahlirhu berhenti mengalir, tepat lima hari setelah aku tahu kalau akulah si pengendus air,? Aku memandang wajah perempuan itu.

Perempuan itu bernama Sadie, bukan Sedi seperti yang yang kudengar pertama kali saat seorang temannya memanggil. Meski tidak begitu pasti, perempuan itu senang mengartikan namanya sebagai kesedihan, meski sepanjang perjalanan kami di atas Harliba, kuda tungganganku yang berbulu kecoklatan, kesedihan tak ia tampakkan.
?Lalu apakah yang terjadi?? Perempuan itu memandang lurus ke mataku.
?Enam kepala suku bertemu. Mayat enam puluh dua orang perempuan yang membunuh dirinya secara massal dibakar di atas pasir diikuti raungan tangis perempuan-perempuan yang marah pada kepala sukunya. Air adalah nyawa, nyawa hilang dalam peperangan. Dan putus asa menghinggapi para perempuan dari lima suku di negeri Merkabah yang setiap harinya kehilangan suami dan para bayi. Susu tak lagi mengalir dari buah dada mereka. Para penjual air dari negeri para Okeanida tak lagi bisa memasok kebutuhan mereka. Perang membuat para pedagang dari negeri tak kelihatan itu enggan memasuki Merkabah. Sedangkan Kahlirhu tak bisa disentuh, karena untuk mencapainya berarti harus berhadapan dengan para petarung dari enam suku negeri Merkabah yang kesemuanya memperebutkannya.? Aku mencoba memberi sedikit keterangan.
?Tapi sungguhkah kau berasal dari Merkabah?? Perempuan itu bertanya sungguh-sungguh.
?Menurutmu, dari mana Harliba datang dan kenapa aku menculikmu tadi malam?? Perempuan itu tercenung. Ia pasti masih ingat tentang kuda kecoklatan yang turun dari hembusan angin, mengeluarkan ringkik yang tajam dan menjejakkan kakinya tepat sesaat setelah aku memejam mata sambil merapal nama Harliba.

Aku memang harus membawa perempuan itu ke negeri kami, negeri para penunggang kuda yang kuda-kudanya tengah sekarat dan para penghuninya juga hampir mengalami hal yang sama. Setetes airpun tak sudi keluar lagi dari balik pasir di negeri kami. Dan seorang peramal dari negeri Okeanida, telah dipanggil. Peri lelaki dari negeri air itu menyatakan, selama air tak menyembul dari negeri bawah, maka harapan bergelantung di negeri atas. Hanya saja dibutuhkan seorang perempuan yang bisa melahirkan hujan. Perempuan yang dalam tubuhnya terkandung kesedihan. Perempuan yang mengerti arus dan denyar tiap pusar ataupun alir air. Perempuan dari negeri manusia yang sangat halus dan peka. Perempuan yang bisa mencium hadirnya sesuatu yang jarang orangn lain bisa raba.

Perempuan-perempuan di negeri Merkabah seluruhnya adalah perempuan setengah bayangan, karena negeri tempat aku tinggal memang negeri setengah ada dan tiada. Negeri yang masih berdenyut tapi tak terrekam dalam peta dunia, pun hanya bisa ditemukan oleh mereka yang percaya legenda dan kisah-kisah tua. Tapi meski hanya setengah bayangan, kehidupan di negeri kami sangat nyata. Dan air adalah salah satu elemen nyata. Kami membutuhkannya. Kenyataan bukanlah bayangan, tetapi dibutuhkan cara membayangkan yang tajam untuk bisa melahirkan kenyataan sejelas hujan di negeri setengah bayangan, negeri para penunggang kuda yang dalam dunia manusia hanya bisa ditemui di buku-buku cerita. Negeri di tengah gurun yang akan menemui para penjelajah tersesat di malam-malam yang tidak sempurna.

* * *

Begitulah.
Sadie akan melahirkan hujan atau air dari matanya, dari rambutnya, dari kukunya, dari ketakutannya, dari kesedihannya, juga dari rasa sakitnya. Sadie akan menangis bila bulan berhenti bersinar dan aku akan menghentikan tangisnya bila para perempuan negeri Merkabah telah mengangkat tangannya. Menyatakan kalau tempat penampungan air mereka telah penuh dan anak-anak mereka telah bisa mandi di dalamnya.

Untuk Sadie, akan kucarikan lilin yang nyalanya bisa mengganti cahaya bulan. Untuk Sadie, setiap saat akan kusisiri rambutnya sehabis dia membasahinya dengan air yang keluar dari imajinasinya sendiri. Untuk Sadie, akan kubawakan salah seorang temannya dari negeri manusia bila rindu dan sepi yang dirasanya telah tak tertahan lagi. Dan yang tersulit, tentulah berkelana ke tempat para Driad, saat Sadie terluka karena kesedihan atau kelelahan yang teramat setelah ia melahirkan hujan yang sangat banyak. Hujan dari imajinasi dan rasa sedih, hujan yang ia lahirkan dan keluar dari rambutnya yang hitam panjang.

Sebenarnya bukan Sadie saja. Adalah perempuan itu, ia yang telah hidup selama seribu delapan tahun sebelum akhirnya menitis pada seseorang yang selalu bersedih. Seorang perempuan yang dalam darahnya mengalir aneka sejarah bangsa manusia; Sadie. Perempuan itu dulunya adalah leluhur Bangsa Okeanida, jiwanya melayang terapung di seluruh dimensi waktu, membawa kesedihannya karena telah menenggelamkan banyak negeri dan membuat hilang berribu peradaban. Pada darah Sadie adalah Summeria, adalah Arya, adalah Eropa, adalah Asia, adalah Afrika. Dan pada Sadie-lah roh perempuan itu memilih untuk menitis. Dan bagiku sendiri, adalah perkara tak mudah untuk dapat mengendus air dari jarak milyaran kilometer jauhnya.

Dan belakangan, selain karena perempuan yang melahirkan hujan itu juga bisa melahirkan kedamian dan menghentikan perang di negeri kami, perempuan yang berbau kesedihan itu juga dengan cara yang tak kutahu bagaimana, diam-diam telah berhasil menerbitkan rasa aneh di hatiku. Rasa aneh yang membuatku, bisa dan mampu melakukan apa saja. Sanggup dan bersedia melakukan hal sama dan berulang-ulang untuknya.

Hhm? Apakah mungkin seluruh pengorbanan itu kulakukan karena aku sadar, kami berdualah lah sumber damai di negeri setengah bayangan? Ataukah mungkin lebih dari itu? Apakah karena kami memang telah ditakdirkan untuk bertemu sebagai pasangan yang telah dipertemukan melalui riwayat hujan?

Dia perempuan yang bisa melahirkan air dan aku ksatria negeri kuda yang ditakdirkan untuk mampu mengendus air dari tubuh perempuan...***