Thursday, May 26, 2005

I N D I G O

I N D I G O
Cerpen Ucu Agustin






Dia tertidur sekarang. Lelap dan Lembut. Serupa rumput jepang yang diselimuti angin di antara hangat malam pekarangan depan yang dipenuhi sinar lampu taman. Rambutnya yang terpotong pendek membuatnya terkesan semakin mungil. Putri kecilku...

Jangan tatap aku demikian.
Adakah itu yang melintas di kepalanya saat ini?


Aku tak memiliki kecanggihan telepati seperti itu, Papa.
Mungkinkah itu yang akan dikatakannya andai dia tahu apa yang kupikirkan saat aku menatapnya sekarang?

Apakah yang terjadi di dunia tidurmu? Bisakah aku tahu?

Dengkurnya halus, nafasnya teratur naik turun. Wajah kekanakan itu kini tampak tenang. Adakah jerit ketakutan itu kini bersembunyi di kulit wajahnya yang halus segar lembut masih alpa dari lubang pori kulit jeruk? Adakah semua hal kasat mata yang dua jam lalu dilihatnya telah benar-benar pergi dari pelupuk mata ketiga miliknya yang belum mampu dia kuasai?

Anastasia Lucy...

Anak itu tumbuh dengan cepat. Tahun berganti, berlarian seperti kenangan yang tak kunjung tertinggal namun terus melaju menyertai waktu yang dengan gigih terus saja mengingatkan akan banyak hal. Peristiwa berlalu, namun makna tetap tinggal.


Aku tak di sana saat Reana melahirkannya.

Kemeriahan merayap dari segenap penjuru London dan memuncak di kawasan Trafalgar Square, Parliement Building hingga Westminster Bridge. Orang-orang tumpah di sana. Aneka ras. Berlainan bangsa. Membentuk kerumunannya sendiri-sendiri. Sekerumunan turis Spanyol membawa gitar dan memainkan musik Flamenco. Segerombolan lelaki dan perempuan bercakap dengan bahasa Itali sambil sesekali merokok bergantian. Pemuda-pemudi Inggris berjalan ke sana kemari dengan teman atau pasangannya sambil membawa minuman anggur, wiski atau sampanye. Aku bersama tiga rekan kerja dari Indonesia dan seorang mitra bisnis perempuan dari Inggris, berada tepat di Kaki Big Ben. Mengunyah coklat diselingi bir kalengan yang sebelumnya kami beli di pertokoan sekitar Brompton Road. Udara dingin London tetap mencucuk, sebagian jalan-jalan ditutup. Polisi dengan rompi kuning bertebaran di setiap sudut. Wajah mereka ramah namun tetap tegas menghalau orang yang mendekat ke Downing Street Nomor 10, rumah dinas Perdana Menteri Ingris saat itu, John Major, yang terletak dua ratus meter dari Big Ben.

Lucy lahir tepat ketika jam raksasa di puncak menara gedung parlemen Inggris itu pertama kali berdentang menyambut tahun baru 1996, delapan tahun yang lalu. Pukul tujuh pagi waktu Jakarta, berarti pukul Nol-nol waktu London saat Winter.

Dini hari seusai pesta tahun baru, sebuah pesan tertinggal di kotak telepon apartemen sementaraku yang sempit di kawasan Knightsbridge.

"Anak kita perempuan. Matanya seperti milikmu, hitam gelap. Kulitnya lebih mirip seperti punyaku, agak pucat tapi tetap kok masih bisalah menjadi seorang Jawa. Seluruh anggota tubuhnya lengkap. Kekhawatiran kita dulu sungguh suatu hal yang tak perlu. You?re not an alien, aren?t you? Tak mungkin lah anak kita berkepala sangat besar dan aneh." Sebuah tawa menutup pesan di telpon itu. Dan tentu saja sebuah permintaan untuk sesegara mungkin menelpon rumah atau rumah sakit, terdengar dari suara perempuan yang masih berbicara dalam logat orang bule yang kental tersebut.


"Who is she? What she said" Sarah, perempuan mitra bisnisku dari Inggris menghentikan ciumannya pada leherku.

"My wife. She just have deliver our daughter." Ucapku sambil menatap kosong butiran salju putih yang turun di luar jendela. Udara di luar pasti sangat dingin. Salju dan hujan saling berganti menaburi kota london dengan kerajaan dinginnya yang membekukan. Tapi hatiku justru berbadai. Rasa bersalah yang tebal, rasa senang yang hampir membuatku berjingkrak kesetanan (andai tak sadar di sampingku sarah sedang menatap penuh rasa ingin tahu), dan tentu saja perasaan rindu yang mendera tiba-tiba serta sedih tak terkira karena tak berada di samping Reana saat dia melahirkan, bercampur menjelma adonan taifun yang kandas di perut. Menimbulkan sedikit perasaan mual dan tak enak di ulu hati.. Semacam perasaan ingin muntah namun tak jadi.

"O, Congratulations" Ucap Sarah datar.

"Terima kasih," Jawabku.

Dan aku segera pergi ke dapur. Meraih gagang telpon yang terletak dekat kulkas dan memutar nomor kode Indonesia. Lewat ujung mata, aku melihat Sarah duduk di kursi depan meja kerjaku sambil menekuri jendela yang mulai berbingkai putih diwarnai salju nakal yang menempeli kisi-kisinya. Meski dia tak mengerti apa yang kubicarakan, tentu saja aku tak akan menelpon dari pesawat terlpon yang ada di kamar. Sarah adalah perempuan yang baik dan sensitif. Akulah Bastardo nya.


* * *


Sore itu tak pernah kulupa. Dan pasti akan terus kuingat seumur hidupku. Pasti pernah pula ?kan, kalian punya sebuah hari yang seperti itu? Hari yang penuh firasat tapi tak teraba kemana alurnya akan membawa. Belum diketahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.

"Masih saja nangis. Bagaimana tuh?" Cecil menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tahu. Padahal penerbangan lima belas menuju Singapura akan berangkat satu jam setengah lagi. Reana akan pergi ke Amerika sebenarnya, tapi ia ada urusan di Singapura terlebih dahulu.

Lucy menangis hebat di pelukan Reana. Entah kenapa belakangan ia begitu manja pada Ibunya. Dia bahkan tidak mau berangkat sekolah kecuali diantar Ibunya. Tak mau makan kecuali disuapi Ibunya. Kemana-mana tak ingin berpisah dan maunya berdua saja, padahal Reana memiliki tugas yang cukup banyak di kantornya.

"Mommy pergi cuma empat hari, honey," Istriku mengusap-usap punggung gadis kecil berusia hampir enam tahun itu. Kolokannya minta ampun. Padahal biasanya juga Lucy cuek pada Ibunya. Biasanya ia sangat mandiri dan tidak manja.

"Please jangan nangis, nanti dibelikan boneka ya," Reana memberi kode padaku untuk mulai menyalakan mesin mobil sambil menunjuk jam tangannya. Gawat, bisa ketinggalan pesawat kalau begitu terus. Pikirku. Dan dengan tega akhirnya Cecil, adikku, menarik paksa Lucy dari pelukan Reana.

Seperti anak kecil yang dirampas mainan kesayangannya, Lucy ngamuk. Entah apa yang membuat gadis kecil kami yang berambut lurus manis itu memiliki tenaga yang demikian besar. Sore hari sabtu pada minggu pertama bulan September tiga tahun yang lalu itu, Lucy memperlihatkan dirinya yang lain; Lucy si gadis pemarah. Sambil menangis ia terus meronta, menjerit dan melawan sekuat tenaga. Cecil dan Bu Jati, pembantu kami, tampak kewalahan. Namun akhirnya Reana berhasil juga terlepas dari Lucy.

Dengan terburu Istriku segera memasuki mobil. Tangis Lucy dengan jelas masih terdengar bahkan saat kaca mobil telah ditutup. Dan aku tahu, setidaknya tangis itu terus memukul-mukul dinding hati istriku.

"Matamu basah, Dear" Aku menatap Reana saat ia telah duduk di sampingku.

"Lucy aneh, aku jadi sedih. Tidak biasanya ia begitu" Ucapnya sambil dengan tangkas menjumput tissue di dashboard.

"Aku juga jadi sedih," Dan memang perasaan sedih tiba-tiba menyelam perlahan ke dalam hatiku. Menancapkan jangkarnya di sumur rasa dan dengan mudah menimba airmata dari sana hingga mengalir di pipi tanpa kusadari.

"Kamu aktingnya boleh juga!" Reana tiba-tiba tertawa untuk kemudian mengusapkan tissue bekas airmatanya pada dua belah pipiku.

"I'll be oke, kok. Simpan airmata itu untuk pernikahan Lucy kelak," Reana meremas tanganku. Aku membalasnya sambil tersenyum. Ini yang ku sukai dari Re. Tegar.

"Yuk jalan. Ntar aku telat, lagi" Ucapnya setelah mendaratkan sebuah ciuman pendek mesra di bibirku. Mobilpun melaju.

Dan pasti Reana tak akan pernah tahu, setidaknya saat itu aku berniat akan memberitahunya saat dia telah kembali pulang dari luar negeri.

Re, Lucy membuat lukisan yang sangat mengerikan!

Awalnya aku tak percaya apa yang dikatakan Cecil. Tapi saat melihatnya sendiri, aku jadi terbebalak. Dalam hitungan jam (selama aku pergi mengantar Istriku), Lucy telah menghabiskan satu buah buku tulis dan tiga buah buku gambar. Semua diisinya dengan corat coret gambar pesawat yang jatuh dan terbakar!

Jangan lagi! jangan lagi! Aku berteriak dalam hati. Apalagi kini yang akan kamu sampaikan, Lucy? Kamu ingin memberi tahu kalau pesawat Ibumu akan jatuh, begitu? Kalau pesawat Ibumu akan mengalami kecelakaan? Mengapa tak kau bilang dari tadi? Mengapa tak kau katakan saja?

Waktu Lucy berumur empat tahun, dia pernah melakukan hal itu. Sama! Dia marah karena dilarang terlalu sering bermain dan memeluk Bozo. Anjing jenis Sheltie yang dihadiahkan Ibunya Reana. Oma Inggrid, begitu Lucy memanggilnya. Anjing itu mulai nakal dan sering kabur dari rumah. Tentu saja Reana khawatir putri kecil semata wayangnya akan kena kuman atau virus. Dia pun memisahkan Lucy dari Bozo. Lucy kesal dan marah, tapi ia diam saja. Sampai keesokan harinya aku dan Reana dikejutkan oleh ketukan pintu dari tetangga yang membawa tubuh Bozo yang telah terbujur kaku. Anjing keturunan jenis Rough Collie itu ditabrak di jalan. Kepalanya pecah. Dan saat kami hendak memberitahu kematin Bozo pada Lucy, dengan suara kanaknya yang khas, Lucy menunjuk bantalnya, ?Ini Bozo,? Ucapnya. Saat aku membalik bantal yang ditunjuknya, di atas sarungnya yang berwarna biru polos, gambar seekor anjing dengan kepala pecah terpampang dengan jelas. Ia menggambarnya dengan memakai lipstik milik Ibunya. Aku dan Reana hanya bisa melongo. Tentu saja coretan gambarnya saat itu tidak sejelas dan serapi pesawat jatuh dan terbakar yang ada di hadapanku.

Reana akan bertemu beberapa arsitek di Amerika. Ia diundang untuk terlibat dalam proyek pembuatan taman kota dengan konsep modern yang memadukan gaya Asia-Amerika dengan penekanan fungsi taman sebagai paru-paru kota. Detailnya aku tak begitu mengerti, namun yang jelas kepergiannya ke negeri Paman Sam itu memang berurusan dengan Arsitektur.

Re, begitu aku biasa memanggilnya, adalah seorang arsitek muda Belanda yang ingin mengenal lebih banyak arsitektur bangunan kuno Jawa. Begitulah awalnya. Kebetulan Ihwan temanku yang menjadi kontaknya di Indonesia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Maka aku lah yang kemudian dimintai bantuan untuk menjadi translator sekaligus pemandu untuk Noni Belanda tersebut. Dan akupun jatuh cinta pada gadis muda berkulit putih dan memiliki mata seperti kelereng itu. Dia mengingatkanku pada Sarah. Mitra bisnis perusahaan kami di Inggris. Sarah telah menikah, namun diam-diam aku mengaguminya.

Usiaku lebih tua enam tahun. Tapi Re bisa mengimbangiku dalam banyak hal. Dia juga mencintaiku. Kamipun menikah dan dua setengah tahun kemudian Lucy datang ke bumi.

Dan Lucy kini telah menggambar pesawat itu Re. Aku belum tahu maksudnya apa. Semoga kamu baik-baik saja.


* * *


Namun semuanya tidak baik-baik saja. Tiga hari setelah kepergianmu, malam itu telpon terus berdering. Dari Belanda, dari Yogyakarta. Semuanya menanyakan hal yang sama. Sudah ada kabar dari Reana? Bagaimana dia?

Mengapa aku yang harus ditanya? Aku juga ingin bertanya hal yang sama. Dan alarm di hatiku terus-terusan berbunyi. Menggemakan kekhawatiran bersuara nyaring seperti yang dirasakan keluargamu dan keluargaku.

Re, kamu di mana? Please telpon kami aku sekarang juga! Meetingmu bukan di sekitar gedung World Trade Center kan?


Tapi semua itu hanya harapanku saja. Aku mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sekonyong-konyong aku melihat corat-coret pesawat terbang yang digambar Lucy tiga hari lalu bergerak dalam kotak televisi yang menayangkan serangan terhadap menara kembar. Pesawat yang patah dan jatuh terbakar. Reruntuhan bagunan yang rontok dengan dahsyat dalam sekejap. Orang-orang yang berlarian. Korban ribuan orang. Orang-orang yang menangis. Orang-orang yang marah. Tangisan dan kemarahan yang meski berbeda, tapi kurang lebih sama dengan tangisan dan kemarahan Lucy.

Lucy tahu hal mengerikan akan terjadi jauh sebelum orang lain mengetahuinya. Ia ingin menahan Ibunya. Dan ia marah karena tak berdaya dan tak mampu melakukan itu. Ia marah karena tak bisa memberitahu orang lain apa yang diketahuinya. Ia sangat ingin menyelamatkan Ibunya. Tapi siapa yang mampu menghentikan kematian?

Lucy tidak mau makan selama dua minggu. Setiap saat ia selalu menyebut nama Reana. Aku shock berat! Tapi yang paling kukhawatirkan memang adalah Lucy. Gadis kecilku itu terus-terusan diganggu hal buruk.

Sejak kematian Ibunya ia kerap melihat hal-hal ganjil yang ingin dihindarinya. Badannya bisa tiba-tiba gemetar padahal kami tengah berada di Mall. Lucy bisa tiba-tiba memegangi tanganku dan berbisik kalau sebaiknya aku tidak berurusan dengan orang tertentu. Atau tiba-tiba ia diantarkan ke rumah oleh guru sekolahnya dengan wajah yang sepenuhnya pucat. Tapi yang paling parah adalah kalau ia menjerit-jerit tengah malam. Terbangun dari tidurnya dengan keringat menguyupi dahi dan badannya. Ada yang marah karena Lucy tak mau berteman dengannya, begitu bisik Lucy di telingaku.

Lucyku.

Lucyku sayang... kematian Reana pasti sangat berat baginya.


* * *


Semua orang memiliki aura. Serupa bau yang khas pada tiap kulit. Seumpama semerbak yang berbeda pada tiap bunga. Hanya saja aura tak tercium, tak terindera juga tak nampak. Semacam bawaan yang akan terus ada dan berubah pada tiap manusia tergantung dari apa yang dilakukannya.

Indigo.

Kalimat itu berasal dari bahasa Spanyol. Artinya nila; kombinasi warna biru dengan ungu. Warna yang menempati urutan keenam dalam spektrum warna pelangi. Namun tentu saja di sini aku tak mau memberi kuliah tentang aura dan jenis warna. Hanya saja aku baru mengerti, kalau ternyata selama ini Lucy adalah seorang anak Indigo.

Pernah suatu hari aku mengambil photo Lucy dan aku terheran-heran saat melihat hasil jadinya. Ada semacam warna biru keunguan yang terpancar mengitari seluruh badannya. Dan si tukang cuci cetak memberitahu kalau itu bukan karena kesalahan teknis sewaktu memotret atau mencuci cetak. Dia memperlihatkan beberapa photo yang juga memiliki hal yang sama. Seorang anak remaja putri dan seorang bapak separuh baya.

Tentu saja sebelumnya aku telah membawa Lucy ke psikiater. Namun terlihat Lucy tidak menyukainya. Mungkin ia merasa sebal karena jelas-jelas ia bukanlah seorang pengidap penyakit jiwa. Aku tidak gila Papa, ucapnya.

Dan dengan keterangan dari si teknisi photo tersebut, aku kembali memiliki harapan. Mempertemukan Lucy dengan orang-orang yang semacamnya pasti akan banyak membantu dirinya mengetahui dan mempelajari kondisinya.

Dua tahun berlalu dan keadaan Lucy semakin membaik. Tapi Lucy mengangsurkan kertas folia putih itu padaku kemarin malam.

"Jangan pernah menyuruhnya ke sini," Begitu ucapnya sambil menatap mataku tajam. Aku terbelalak saat melihat tulisan di atas kertas tersebut. Sarah.

Apa maksud anak indogo itu kali ini? Apa lagi? Adakah anak itu bisa melihat masa lalu juga? Apakah ia tahu kalau aku berada dalam pelukan perempuan itu, tepat pada saat Reana melahirkannya? Ataukah akan terjadi sesuatu pada Sarah saat ia tiba di Jakarta lusa?

Kuraba tulisan tangan Lucy pada kertas itu, dan tiba-tiba begitu saja, sebuah penglihatan merobek mataku! Hal itu belum pernah terjadi sebelumnya! Kedua pelipisku seperti ada yang menekan.

Aku melihat hujan. Lelaki dan perempuan berlari menuju tempat berteduh. Mereka tertawa. Sebuah taksi melaju di atas jalan berlubang yang digenangi air hujan. Laki-laki dan perempuan itu menjerit saat terciprat air kotor. Seorang lelaki berbadan pendek tiba-tiba muncul di belakang mereka. Dan tiba-tiba saja sebuah benda berkilau dikeluarkan lelaki bertubuh pendek itu. Pisau!


* * *


Harusnya kamu tak perlu takut padaku, Lucy. Aku Ayahmu dan kita memiliki kepandaian yang sama. Sayangnya aku hanya mampu melihat yang terjadi padaku saja.

Aku berhasil menyelamatkan Sarah dari penodong berpisau Itu. Namun andaipun usus di perutku terburai dan kepalaku pecah seperti kepala Bozo, harusnya dua jam lalu saat aku mendekatimu, kau tak perlu menjerit demikian ngeri, Lucy.

Hilangkan saja perasaan bersalah itu. Tak ada yang bisa menjegal kematian. Bukankah sejak dulu telah kukatakan hal itu padamu? Ah, kamu pasti belum mengerti.

Andai Sarah tak datang ke Jakarta, memang belum tentu pencoleng itu akan mendekat dan pisaunya akan tertusuk di jantungku. Tapi itu bukan salah Sarah. Kematian itu memang takdirku, Lucy.

Di ruang tengah kulihat Sarah masih menangis. Perempuan berrambut pirang itu tampak sangat menyesal. Matanya yang biru tak henti mengeluarkan air. Hidung putihnya telah memerah. Tapi aku hanya khawatir padamu, Lucy.

Siapa yang akan menemanimu bila aku pergi? Atau haruskah aku tinggal di dekatmu padahal tempatku tak lagi di sini? ****

Saturday, May 21, 2005

Cerpen: Sepucuk Surat Buat Rudolf

Teruntuk Rudolf
Cerpen Ucu Agustin





Rudolf...,
Belakangan di sini setiap hari adalah pagi. Mendung selalu saja menggelayuti langit kotaku meski semai hujannya terjadi jarang-jarang. Aku di sini sekarang Rudolf, jauh darimu jauh dari tempat di mana kita pernah bersama kemarin dulu. Namun meski kadang harus terhambat sebentar untuk memikirkanmu, tapi sungguh, kau jarang sekali bisa lepas dari benakku.


Rudolf..., apa kabarmu?
Pagi ini aku kembali teringat padamu


Tadi aku naik bus kota. Kau tahu aku selalu menyukai jenis kendaraan umum yang menurutmu merunyamkan itu. Angin pagi ini cukup ramah dan aku menyengajakan diri berdiri di pinggir jalan agak berlama-lama. Ketika bus yang harusnya kutumpangi lewat, aku melewatkannya. Entah dari mana datangnya, pikiran itu kudapat begitu saja.

Mungkin, ya siapa tahu! Siapa tahu kamu lewat di depanku. Dengan Opelmu, membukakan pintu dan langsung menculikku. Kita akan pergi ke Ancol mungkin, atau kita akan nongkrong di Taman Ismail Marzuki. Atau kita akan mencari jajanan di sekitar Senayan. Atau bisa saja kau membawaku ke rumahmu lantas kau membuatkanku sarapan pagi yang telat. Atau bisa saja kita hanya berdialog di teras, seperti yang kita lakukan kemarin dulu. Bicara tentang tuhan dan bunga-bunga di bawah pohonan yang berjajar memanjang di sepanjang bungalow. Pepohonan besar dengan daun-daun lebar yang sekujur tubuhnya dipenuhi aliran semut hitam.


Dua kali bus yang harusnya aku naiki kulewatkan. Dan Rudolf... Seperti yang kuduga, kau pastinya tidak akan pernah tiba. Di pinggir jalan, di antara kepungan suara klakson di bawah lampu merah perempatan, diam-diam aku tersenyum sendirian. Sudah gila apa aku?! Mengharapkanmu turun dari antara rintik debu jalanan, di tengah udara penuh knalpot yang hitam.


Rudolf..., apakabarmu?
Masihkah kau ingat aku?


Andai saja kemarin kita punya waktu lebih lama, aku yakin kita bisa jatuh cinta. Aku tahu, awalnya kau tercecer dari perhatianku, tapi kutemukan juga dirimu. Usiamu pastinya lebih muda tujuh tahun dari Bapakku. Katamu kamu beristri, tapi tak berputra.

"Lebih senang begitu, toh anak tak membawa kami kemana-mana",€� Ucapmu pasti.

Tapi kutahu memang kau orang yang yakin. Mengucapkan segala sesuatu setelah terlebih dahulu disaring. Aku senang mendengarnya. Jarang sekali orang setua mu berpendapat demikian. Yang kutahu, biasanya orang berpasangan seusiamu bila tidak memiliki anak, mereka akan berusaha mencari "€œanak"€� lewat adopsi, hanya untuk mencari "€œsesuatu"€� untuk diurusi. Bila tidak melakukan hal itu, biasanya pasangan yang laki-laki akan mengambil perempuan lain. Tidak untuk dihamili, lantas anaknya diculik untuk dipelihara bersama dengan sang istri pertama, tapi murni yang dia butuhkan hanya seorang perempuan untuk dipiaranya sendiri. Agar sang lelaki punya "€˜hal"€™ yang bisa diurusi...

Tapi kutahu kau memang hebat.


Rudolf..., kamu adalah seorang lelaki penyendiri yang kesepian. Lelaki sunyi yang setia dan bisa diandalkan. Persis! Tipe lelaki yang mudah dicintai dan tanpa penghalang bisa dengan mudah disayang perempuan.



Rudolf..., mengapa kau masih saja di sini, padahal kau sudah pergi sejak jauh hari?
Adakah kau merasakan hal yang sama? Seolah aku masih di dekatmu padahal jarak menghambat kita?



Semoga kau masih mengenangnya juga!

Kau berdiri di depan seluruh undangan. Ketika acara formal usai dan deretan keresmian pecah, ku tahu kau hanya menatapku saja. Oh, tentu tidak Rudolf! Bukan hanya pada kesempatan itu saja....

Ku tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan. Kau pikir karena usiaku masih muda dan kau seorang ahli jiwa lantas kau bisa dengan mudah melakukan manipulasi psikis terhadapku? Tidak Rudolf. Apapun yang kau katakan sebagai pengingkaran, aku tahu kau diam-diam sering mencuri pandang padaku. Dan kau pun tahu, aku secara pasti kadang berusaha menjauh dan mendekat padamu. Mengatur strategi agar kau semakin gemas pada tingkahku, membuatmu tak bisa menduga apa yang akan kulakukan dan lantas kau jadi kelabakan.


Ingatkah kau Rudolf?
Diantara diskusi dan lagu Tory Amoss yang bergema di ruangan itu, kita sempat berdansa sebentar. Tidak dengan gerakan, tapi lewat pandangan. Saat kepalaku yang sakit kembali kumat, kutahu kaulah yang akan pertamakali menolongku. Bukankah dengan begitu kau punya kesempatan untuk menyentuhku? Kutahu dari matamu, kau sangat ingin menempelkan bagian tubuhmu pada tubuhku.


Rudolf, bila saja kau tahu, saat itu aku juga tak perduli pada istrimu. Sejak saat itu...,
Ya! Sejak kau dengan penuh perhatian menolong meringankan nyeri di kepalaku, mencoba menggunakan kemampuan pijat refleksimu, otakku langsung berpikir yang tidak-tidak. Kau tahu apa yang aku pikirkan? Rudolf, saat itu aku berpikir tentang tiada salahnya menyelingkuhimu



Rudolf, tidakkah ide itu menarik?
Bagaimana pendapatmu?

Kutahu kau tidak akan benar-benar jatuh cinta padaku. Kamu lelaki manis yang bertanggung jawab. Kau tidak akan meninggalkan istrimu. Dan keputusan itu memang tak pernah kuharapkan akan tercetus darimu. Kutahu kau juga tahu bahwa aku tak ingin menuntut apa-apa darimu. Kau tahu aku cuma gadis kecil yang butuh perhatian, butuh sebuah bahu saat ingin menyandarkan kepala, ingin dipeluk dengan hangat saat menelungkupkan dada sambil bercerita tentang masalah yang menimpa. Kau tahu aku tak ingin melakukan hubungan kelamin denganmu. Dan kau tahu pasti, kamu tak yakin akan kemampuanmu bila hanya menyediakan diri untuk melakukan itu saja padaku; hanya menjadi tempat curahan hatiku. Seperti layaknya lelaki yang sudah menikah, sambil menggoda kau ucapkan bahwa kau ingin juga pergi tidur denganku. Aha, kita pernah sambil tertawa-tawa membahasnya, dan kau tidak kecewa saat jawabanku tetap membentur kalimat itu; "œtidak"€�.


Rudolf...,
Lantas waktu terpenggal, kebersamaan kita harus hilang. Seminar itu tidak bisa lagi diperpanjang. Saatnya tiba, Rudolf. Kau harus pergi ke spanyol, kembali menjadi pembicara, seminggu kemudian baru sampai lagi di Indonesia, lantas kembali pada istrimu. Dan aku akan pergi juga, datang lagi pada pelukan pacarku. Dua bulan rasanya tidak cukup panjang.


Rudolf, apakah kau pikir juga demikian?


Hey, mari kita berandai-andai!
Bila waktu bisa kita atur semena-mena, apa yang akan kau lakukan?


Rudolf, bila kau tanyakan hal tentang mengatur waktu itu padaku. Jawabku pasti begini: Akan ku buat waktu melebar hanya supaya kita bisa terus berjalan kaki bersama tiap pagi. Melihat cendawan-cendawan tumbuh di pohonan dan burung-burung riuh saat kita dengan sengaja melempar remah sisa bekas roti sarapan yang sengaja kita sisakan.


Tapi kita kejam!
Aku telah menduga hal itu sejak pertama kita bersua. Aku tak akan merendah untuk meminta kau memelukku lebih dulu, dan kau pun tak mungkin melakukan itu. Profesor sekharismatik kamu pastinya akan berpikir dua kali untuk meminta tubuhnya dipeluk olehku. Lantas yang ada hanyalah senyap, saat waktu mengharuskan kita berpisah, kau hanya memandangku dari kejauhan saja. Dalam diam kutahu kau mencium pipiku, membisikkan salam perpisahan padaku. Dan aku tahu kau juga mengerti arti senyumku.


Rudolf,
Bila saja aku bisa jujur, sebenarnya aku masih ingin memboroskan waktu dengamu. Tapi ku tahu, bila kau mengiyakan pinta tak terkatakan itu, aku tak akan lagi kagum padamu. Maka tindakanmu tepat! Kita berpisah, tanpa pernah saling ucap lagi. Tidak ada tolehan ke belakang, tidak ada percakapan lanjutan baik lewat e-mail ataupun melalui telpon interlokal. Semuanya bagai tak pernah kejadian. Padahal begitu dekat dan masih hangat dalam ingatan. Kita memang punya sedikit kesamaan rupanya; selalu ingin mengakhiri setiap kejadian tanpa mengucapkan salam perpisahan.


Rudolf... Tak terasa waktu kini mulai beranjak siang.
Di kotaku saat ini orang-orang kantoran pasti sedang berkeliaran cari makan. Aku sendiri belum lapar. Sudah pukul 12.35 siang. Bagaimana denganmu? Masihkah terus kau makan semua kudapan yang dibungkuskan istrimu untuk kau lahap di tempat kerja?


Ah Rudolf, kau sangat beruntung. Sebab di satu negara di mana invasi Amerika kini tengah terfokus ke sana, kudengar kelaparan mulai menjalar. Ah bukan, mungkin persisnya tidak demikian. Itu negara kaya, tak mungkin mereka tak punya uang, hanya saja katanya, makanan belakangan sulit didapat di sana. Apa gunanya uang bila sesuatu yang kita butuhkan tidak kita dapatkan?



Rudolf,
Tapi aku disini, masih di Jakarta dan kau masih di sana; kota berhujan yang namanya Bogor. Dekat, tapi kita tetap ingin berjarak.


Kau ingin tahu bagaimana keadaanku?
Aku di sini baik-baik saja. Migrainku masih sering kambuh, sinusitisku selalu tak bisa lenyap. Memang ada Dewey yang menemaniku. Seperti katamu, meski tampaknya ia tak peduli, sesungguhnya ia sayang padaku. Oh ya, semoga asmamu tidak sering muncul. Sebab punya penyakit itu tidak enak, sama tidak enaknya seperti punya anjing penjaga tapi ia galak pada kita.


Semoga tak ada waktu lagi untuk kita, Rudolf!
Sebab bila hanya sebatas ingatan dan rekayasa alam khayal, aku masih bisa bersenang-senang. Tapi apa yang akan kulakukan bila setelah minggu-minggu berlalu lantas kita bertemu di alam kenyataan? Aku sedang makan siang dan Dewey menyuapiku lantas kau sedang berbelanja bahan makanan dengan Nancy di sebelahmu? Ah, aku tak mau merusak apa yang telah kubikin sendiri di alam kenangan, apa yang telah kita tumbuhkan, meski dengan sengaja kita racuni agar segera mati.

Karenanya Rudolf,
Hanya inilah satu-satunya surat buatmu, surat yang tak akan pernah bisa kau baca dan tak mungkin bisa kau balas. Karena begitu kau mengetahui bahwa ini adalah suratku untukmu, aku sudah tidak di sini lagi. Seperti juga hatiku yang saat ini memang telah tak ku miliki sepenuhnya lagi.

Rudolf,
Selamat tinggal. Dewey mendapat beasiswa ke Jerman. Di Koln kami nanti akan tinggal.***


___________________
# PS: Ada kuburan di atas bukit. Ketika kugali, isinya kekosongan, tiada mayat yang dikuburkan. Kisah kita telah usai, tapi selalu..., aku tak henti mengagumimu (oh ya, aku melihatmu di televisi beberapa waktu lalu)#




@Desember 2002.
Bunga Lili merah itu kutanam di pot plastik, Rudolf.
Kuletakkan di belakang rumah kontrakan, dekat jemuran. Tiap daunnya mengingatkanku padamu. Selalu.