Monday, July 26, 2004

Cerber : Malaikat Sakit Hati (bag.1)

Link http;//ucuagustin.blogspot.com




Hujan yang tipis mengantar seorang malaikat yang terluka hatinya mendarat di sebuah kota. Bangunan-bangunan yang catnya mengusam menyambut kehadiran malaikat sakit hati yang berkemeja kusut tersebut. Angin yang menerbangkan kertas-kertas dan aneka kotoran yang ringan mengucapkan salam selamat datang yang kecut, membuat malaikat itu cepat bersegera menuju suatu tempat.

Bergegas ia masuk ke sebuah diskotik, mendobrak pintu mengambang yang berengsel fleksibel dan mendorongnya keras-keras. Suara musik langsung menyergapnya, malaikat itu sempat agak kebingungan. Di telinganya nada itu terasa terlalu hingar bingar.

Malaikat itu memandang ke sekitar, menyapukan matanya pada segala benda yang ada di dalam diskotik. Gelas-gelas kaca yang ditaruh terbalik di atas kepala para pelayan pria, warna-warna berkilauan dari lampu disko yang berpantulan menyerbu ruang lantas bergemebyar, orang-orang yang meliukkan tubuhnya dengan cara yang aneh, lukisan-lukisan besar yang abai diperhatikan orang.

Saat mata sang malaikat melihat sebuah rongga berlubang besar seperti kubah yang terletak tepat di bagian tengah atap ruangan, ia berpikir agak panjang, Kubah itu mengingatkannya pada konstalasi bintang tempat dahulu ia pernah tinggal. Bersama teman-temannya sesama anak malaikat, dahulu mereka sering main petak umpat di lubang-lubang bintang yang mirip kubah, bernyanyi sambil memejamkan mata mereka. Setiap syair yang keluar dari bibir mungil malaikat kecil akan menguatkan sayap yang tumbuh mencuat di atas punggung dekat ketiak malaikat dewasa dan setiap gelak yang muncul dari ketawa milik putra surga yang dewasa akan menguatkan bulu-bulu halus bercahaya yang tumbuh tak terlihat di pundak anak malaikat. Tak seperti di tempat itu, tak ada nada riuh di sana, meski para mahluk cahaya itu kadang bercanda juga tergelak-gelak.

Namun segala ingatan itu segera ia enyahkan, bukankah teman-teman kecilnya juga yang kemarin mengkhiantinya? Bukankah karena perbuatan mereka juga maka ia kini jatuh ke dunia? Dan malaikat itu segera menggerak-gerakkan badannya mengikuti gerakan tubuh manusia-manusia di depannya, berusaha menghapus kekecewaan mendalam yang bersemayam di hatinya.

Ia tak paham musik yang didengarnya tapi ia mengikuti saja semua yang dilakukan manusia-manusia yang dahulu selalu didampinginya.

Malaikat itupun menganggukkan kepala, menggerakkan kaki, meliukkan tangan ke udara dan menggoyangkan seluruh tubuhnya yang sudah sejak lama tak pernah berolahraga. Tuhan menganugerahi ras malaikat aneka kemudahan, tapi bayarannya adalah seluruh kepatuhan tanpa ada pembangkangan. Tanpa makan mereka tetap dihidupkan, tanpa menggerakkan badan mereka tetap disehatkan, tanpa menghirup udara mereka tetap dihidupkan. Malaikat itu lantas tersenyum lebar. Ia sadar, Tuhan memang memiliki lebih banyak akal; segala sesuatu ada harganya, bahkan sependek-pendek kebahagiaan.

Malaikat sakit hati kini menggunakan lagi matanya, ia menatap jalang pada perempuan-perempuan seronok yang sedang berdansa sambil terpingkal. Tapi perasaan yang tak pernah menghinggapinya kini datang. Sesuatu terasa membuat saluran tenggoroknya kering, ia merasa membutuhkan air. Kepada bartender yang menawarinya minuman ia memesan segelas air tawar, ?Yang paling memabukkan!? begitu ucapnya sambil berteriak, matanya nyalang, masih jelalatan ke arah berlawanan.

Sang bartender hanya tersenyum, ?orang gila itu sudah melayang sebelum waktunya menjamah kemabukan,? begitu ia berucap pada temannya sesama bartender. Yang diajaknya berbicara hanya mengangguk saja sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya mengikuti irama musik yang keras menghentak ruangan.

Sudah tiada yang aneh bagi mereka, pelanggannya memang kebanyakan adalah para pencari kenikmatan dengan perantara minuman. Di antara mereka juga sangat banyak yang mengaku setelah meneguknya seringkali menemukan kedamaian. Si bartender tanpa blazer dengan fasih mencampur minuman, mengocoknya, dan dengan kesegesitan yang terlatih lantas menuangkannya hanya setengah pada gelas kristal yang ada di hadapannya.

Pada sekali teguk, minuman itu langsung menghilang. Mengalir melewati tenggorok, lantas masuk ke saluran pencernaan, berlabuh pada ginjal lantas mengendap tertahan di gelembung kantung kemih. Aha, alat reproduksi malaikat itu ternyata kini telah sama persis seperti manusia. Pertanyaannya, apakah dia juga memiliki sperma?

Malaikat sakit hati menggerenyitkan kedua matanya sebentar, sebuah perasaan terbakar menghinggapi saluran percernaan, kini sebuah rasa pahit telah ia kecap. Tapi ia masih butuh obat. Sakit hatinya tidak juga lenyap.

Malaikat yang baru jatuh dari langit merasa minuman yang tadi direguknya membuat hatinya tambah panas, rasa marahnya tak juga menghilang. Debur api yang terpercik sejak ia menjatuhkan diri dari kerajaan terang menekan gelora yang selama ini tak pernah muncul di permukaan, sesuatu yang kini membahana tanpa bisa diduga. Ia marah! Malaikat yang baru jatuh dari langit itu ingin melakukan pembalasan. Sebuah perlakuan yang menghinanya tidak bisa ia terima begitu saja. Ia memang marah.

Segala api yang selama ribuan tahun hanya menjelma cahaya pada dirinya, kini berkobar lagi. Ia merasa panas, jubah sucinya yang putih bahkan meleleh tak mempan meredam kobarnya. Badannya yang dulu membilur putih keemasan kini mulai hitam melegam.

* * *

Bersambung....

Thursday, July 22, 2004

Cerita Mini : I've Been Already In Heaven & Hell

Rasanya aku bisa jatuh cinta padamu, sebab kau ingin mendengar ceritaku. Baiklah, beginilah kisahnya?

Ketika malam menyemak dan yang tersisa tinggal lelah yang mengurap, aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka; penghuni Andromeda. Dia bertengger di atas pohon kelapa, dan aku menyaksikannya dari teras beranda. Dia terbang, mendatangiku tanpa sayap. Menghujaniku dengan senyumnya yang senyap.

Tidak! Kepalanya tidak bundar seperti mahluk E.T yang dibuat Steven Spielbergh dalam filmnya. Tangannya tidak panjang seperti bentuk alien yang ada di Film X-file atau yang biasa dipersepsikan orang kebanyakan. Dia sepertinya juga bukan berasal dari ras alien Lyra, dan dari jenis kulitnya serta besar badannya sepertinya dia juga bukanlah sejenis alien yang berasal dari ras Vega. Tidak! Dia sama seperti kita. Tapi sungguh, dia mengaku pernah pergi ke surga.....

Lantas kutanyakan di manakah letaknya? Sebab suatu hari ingin kutelusuri jejaknya. Tak harus melalui agama tapi langsung saja dari berita yang dia bawa. Aku ingin mendapat peta-nya, dan nanti akan kusiapkan segala perlengkapannya. Dalam benak aku membayangkan menjelma jadi tokoh jagoan, seperti seorang lelaki yang kepalanya dilengkapi aksesori topi cowboy, menjelajah mencari harta karun, di sebuah film tentang sebuah dunia yang hilang. Bila harta karun bisa diburu melalui petunjuk peta, mengapa bagi surga tidak berlaku hal yang sama?

Aku ingin tahu bagaimana rasanya jadi penghuni surga, indahkah? Bagaimana rupa bidadari? Apakah juga tersisa bagiku bidadari lelaki yang perkasa? Lembut jenaka dan mampu membuat aku selalu tertawa? Aku ingin terpingkal, tetapi langsung tersadar. Suatu tengat di antara terlena dan jaga yang jarang aku punya. Tapi dia menyentuh tanganku, berbisik lembut pada telingaku. Katanya, "di surga sama saja! Meski indah tapi semuanya terlalu mudah!" Dia rupanya tak suka kehidupan yang teramat menyenangkan, dia penghuni galaksi yang butuh penderitaan.

Itulah mengapa dia akhirnya melanglang ke neraka, bertemu Serpent, Lucifer, dan para penjaga api. Dia ingin merasa nyeri, sebab kesakitan dan derita adalah bagian kehidupan yang dia inginkan. Aku sempat takjub mendengarnya.
"Apakah di surga kau hidup?"
"Betulkah di neraka Kau masih bisa hidup juga?"
Dia terlongong tak kalah heran denganku, ucapnya,
"Kau pikir apa? Kita mati begitu saja?"

Lalu dia pun berucap,"Bila semua itu begitu mudahnya, alangkah tidak indahnya!" Kerumitan dan kesulitan, kebahagian dan kesukacitaan, penderitaan dan kesenangan, semuanya terus aku butuhkan! Karena itulah aku tidak pernah mati. Karena itulah aku immortal, selalu abadi. Aku selalu terloncat-loncat antara dunia, surga dan neraka! Lalu terloncat lagi antara dunia, neraka, dan surga. Demikian terus, bergulir selamanya, tapi aku tak pernah jera! Karena aku hidup, meski aku berada di bawah api berjelega, aku merindui kesakitannya, membenci rasanya!

"paradoks!"

Aku langsung menjentikkan jari tengahku tepat pada batang hidungnya. Tapi dengan satu sentilan jari tangan dia melengkungkan jentik jari tengahku yang berada tepat di depan mukanya. "You've got the point!" Begitu ucapnya.

Maka malam itu dia berkata padaku.
"I've been already in heaven and hell, maka dari itu saya labil......"

Aku terperangah, benarkah mahluk yang datangnya sangat jauh dari luar sana juga mengalami masalah emosi?

Tanya itu tak pernah terjawab, karena Ketika akan kuucapkan padanya, sebuah piring terbang menderu begitu dekat. Menjemput mahluk yang berasal dari antara kluster-kluster bintang, lantas membawanya menjauhi bumi mendekati galaksi dan aneka rasi bintang yang bersemayam di milky way.


Begitulah ceritanya.......

Hey, Kau masih disana?
Terima kasih, belakangan susah mencari orang yang mau mendengarkan, semuanya ingin selalu didengar.....***


Wednesday, July 21, 2004

Cerpen: Saudara Kembarku

I


Kalau ada daham-daham terdengar di malam hari, aku tahu itu saudara kembarku. Ia menanti di pekarangan, karena aku melarangnya masuk.

Pernah dia begitu rindu kepadaku dan tiba-tiba hadir di tengah keluarga dan tamu-tamu yang sedang berpesta merayakan hari lahirku. Mereka semua berteriak ketakutan melihat ia duduk di dalam. Muka saudara kembarku sangat buruk. Aku malu dan minta dia menunggu di luar kalau ia mau bertemu denganku.

Maka setiap bulan purnama ia menanti di pekarangan dan berdaham-daham menandakan ia hadir lagi. Dan aku lekas keluar untuk berhadapan dengan dia. Mukanya seperti kera, berbulu lebat dan di sinar bulan makin kentara kulit tubuhnya yang hitam legam. Kami hanya diam dan melepaskan rindu bertatapan muka. Dalam diam itu ia mengingatkan; “Aku bayanganmu sendiri, Saudaraku. Kalau aku lenyap selama-lamanya, engkau tak akan ada lagi di dunia.�

Maka setiap kali terdengar daham-daham, aku tahu itu saudara kembarku, dan aku lekas menemuinya.1)

Malam ini daham-daham itu terdengar lagi. Seperti biasa suaranya sedang-sedang saja. Tidak tinggi tidak juga rendah.

Yang pertama selalu aku ingin ketahui pada daham-daham awal adalah cahaya bulan. Maka serta merta lampu kamar aku matikan. Seolah merayap, sinar bulan menampakkan dirinya lambat-lambat. Setelah itu tirai kamar aku singkap. Dan lengkaplah pemandangan itu. Seonggok bayang hitam mematung di pekarangan di tengah pantulan gemerlap sinar bulan yang bulat.

Entah senang atau benci aku melihatnya. Entah duka cita atau bahagia aku menyongsongnya. Bukan apa, pernah beberapakali aku ingin membunuhnya, tapi semuanya selalu gagal.

Pernah aku taburi pekarangan dengan genangan minyak tanah dan aku nyalakan pemantik otomatis yang bisa dinyalakan dari jauh. Pemantik api yang aku pinjam dari salah seorang teman ITB-ku yang tengah membuat prakarya untuk teknologi tepat guna. Namun begitu saudara kembarku telah berdaham dan sosoknya ku lihat mematung di pekarangan yang telah penuh genangan minyak, pemantik tak berfungsi. Berkali-kali dinyalakan dari kamar namun tetap pemantik itu mati dan tak menyebabkan pekarangan terbakar.

Akhirnya kutemui juga saudaraku. Seperti biasa, kami hanya cukup diam dan saling bertatap muka, melepas rindu dan saling melempar kelebat dendam. Beberapa hari setelah itu aku baru sadar. Bukankah dia Iblis? Kenapa aku harus menghunusnya dengan api? Bukankah mereka dicipta dari unsur yang sama? Sejak hari itu aku tahu, aku harus membuat kayu dengan ujung yang runcing.

Maka mulailah aku mencari pisau tertajam, dibuat dari besi yang telah dimandikan tujuh rupa kembang. Setelah pembuatan pisau itu selesai, kuraut kayu-kayu jati berukuran panjang tiga puluh lima centimeter dengan tebal diameter delapan centi-an. Aku mengutip semua itu dari kisah film seri "buffy The Vampire Slayer" yang ditayangkan tiap minggu di salah satu stasiun TV. Mampukah aku membasmi saudara kembarku? Aku akan mencobanya!

Tapi begitu waktunya tiba. Di awal pertemuan, di antara diam yang biasa kami lakukan, di bawah sinar terang rembulan, dia mengingatkan, “Aku bayanganmu sendiri, Saudaraku. Kalau aku lenyap selama-lamanya, engkau tiada akan ada lagi di dunia.�

Begitulah. Dan tumpukan kayu runcing itu pun tak jadi aku patokkan di jantungnya. Dia benar, betapapun aku membenci dan malu mengakuinya, toh dia tetap bagian dari diriku. Meski malu kadang aku juga rindu.

Aku sering menemukan saudara kembarku tengah berbohong dan berbual habis-habisan di depan banyak orang. Saat sedang sendirian, aku beberapa kali memergokinya tengah onani padahal beberapa waktu sebelumnya baru saja dia mematahkan hati seorang perempuan. Perempuan itu bersumpah membunuhnya! Aku tahu, saudara kembarku itu telah menghamili perempuan tersebut dan tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya.

Saudara kembarku juga adalah seorang provokator. Beberapa kali dia menghasut orang untuk berbuat kerusakan dan mengacaukan keadaan. Kepada Ibu-Bapak dia selalu melawan. Dengan kakak-adik dia selalu membuat keributan. Sering dari hari ke hari kerjanya hanya mabuk-mabukkan. Aku malu! Sebab itulah aku ingin membunuhnya. Tapi bagaimana caranya? Dan lagi, pertanyaan terpentingnya; haruskah?

* * *


Malam ini bulan purnama telah kembali muncul. Daham-dahamnya telah terdengar. Aku sendiri sedang berjalan menuju tempatnya berdiri. Saudara kembarku yang bermuka seperti kera, kini kulit tubuhnya agak memucat tidak sekelam ketika aku bertemu terakhir kali pada bulan purnama silam.

Mata kami mulai bertatapan. Sedikit aku lihat perubahan. Ada apa gerangan?

“Mengapa kau selalu ingin mengusirku dan berusaha mati-matian untuk mengenyahkanku? Kebencianmu padaku tak akan ada gunanya,� mata itu mulai berbicara. Aku menatapnya.

“Percayalah, aku tidak akan bisa hilang. Meskipun sekarang kau mati-matian tak melakukan kejahatan. Tapi ingat, kapanpun aku akan selalu bisa datang.�

“Menghindari kejahatan memang perbuatan baik. Namun hanya berusaha terus menghindarinya tanpa berusaha berbuat baik, adalah juga kejahatan. Untuk apa kau menghancurkan sesuatu bila kau tak mampu membangun sesuatu? Dengan membunuhku dan memberantas aku sampai benar-benar mampus, kau telah melakukan kejahatan kepada kemanusiaan.� Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Dan ingat, aku bayanganmu sendiri, Saudara kembarku! Kalau aku lenyap selama-lamanya, engkau tidak akan ada lagi di dunia.�

Aku hanya menatap terus matanya yang berbicara. Kata-kata tak sedikit pun keluar. Namun sekejap, di mata itu, kulihat sesuatu berkilat-kilat.

* * *


II

Kalau ada tangisan sayup-sayup terdengar di sore hari, aku tahu itu saudara kembarku. Itu tandanya ia mengharap kedatanganku di pekarangan rumah kami pada malam harinya.

Pernah ia begitu rindu padaku dan tiba-tiba mengajakku masuk pada dirinya. Rupanya ia tengah berpesta merayakan hari lahir kami. Tentu saja aku marah karena dia tak memberitahuku terlebih dahulu. Keluargaku dan para tamu ketakutan melihat kemarahanku.

Oh ya, tentu saja saat itu aku telah masuk pada diri saudara kembarku, tapi tak begitu lama. Saudara kembarku sadar bahwa tamu-tamu ketakutan karena amarah dan kekacauan yang aku timbulkan. Rupanya dia malu. Dia memaksaku keluar dan memintaku menunggunya kalau masih ingin bertemu dengannya.

Maka setiap bulan purnama, ia memintaku datang di pekarangan rumah kami dan menyuruhku berdaham-daham sebagai tanda bahwa aku tela hadir di sana. Dia akan lekas keluar untuk bertemu denganku.

Mukanya seperti Malaikat, senyumnya selalu menggantung dan di sinar bulan, makin kentara kulit tubuhnya yang putih bagaikan bercahaya. Aku selalu rindu padanya. Setelah bertemu, biasanya kami hanya diam dan saling melepaskan rindu bertatapan muka, berbicara lewat mata.

Aku sangat ingin seperti dia. Dia juga berhasrat besar mengubah diriku sepenuhnya menjadi seperti dirinya. Setiap berdekatan dan berbicara dengannya, aku merasa bahwa dia selalu ingin mencuci otakku dan mengisinya dengan pikiran-pikiran yang berasal dari tempurung kepalanya. Katanya, dia ingin melihatku menjalankan hidup yang baik-baik. “Agar kita bisa selalu seiring sejalan,� begitu ucapnya. “Terlebih karena aku tak ingin keluarga kita mengucilkanmu karena perbuatan-perbuatan yang kau lakukan, Saudaraku! Dan kamu pastinya tahu, betapa inginnya aku menyatu sepenuhnya denganmu. Mengakuimu sebagai bagian dari diriku. Namun bila kau terus-terusan begini, akupun akan terus-terusan malu mengakuimu sebagai diriku. Bahkan mungkin, aku akan berusaha mati-matian untuk terus menolakmu.�

Beberapa kali aku merasa, pernah saudara kembarku ingin membunuhku. Tapi praduga itu aku tepis, mana mungkin saudara kembarku yang berhati Brahmana itu tega membunuhku. Bukankah dia Malaikat? Tak mungkin benak malaikat terisi keinginan jahat. Bukankah kegiatannya dari hari ke hari berisi kebaikan?

Aku sering menyaksikannya tengah berceramah di atas mimbar pada kesempatan khotbah sholat Jum’at. Saat sedang sendirian, aku berkali-kali mendapatinya tengah mengaji. Atau kadang di tengah malam, dia bertahajjud lalu berdoa khusyuk sekali. Namun aneh, doa yang paling sering kudengar keluar dari mulutnya adalah permintaan yang itu-itu saja.
“Oh Tuhan, maafkanlah hamba-Mu.�
“Ya Allah, hapuskanlah dosa-dosaku.�
Aku kerap jadi keheranan, gerangan apa yang telah dia lakukan? Kejahatan yang mana yang harus dimaafkan Tuhan? Bukankah kehidupannya adalah serentetan kebenaran, ucapan sopan, kerja sosial dan belajar?

Ah saudaraku memang kadang membingungkan! Dan begitulah ia adanya.

Sesunguhnya, aku sangat bangga pada saudara kembarku. Pernah, suatu malam aku sangat ingin seperti dirinya. Maka kututup pintu kamarku dan kumatikan lampunya. Aku membakar dupa, sengaja. Aku ingin mengundang malaikat serta roh-roh para Nabi dan Wali ke rumahku. Agar semua kebaikan dan kebenaran mereka yang diyakini banyak orang melayang ke kamarku. Terhimpun dan membundar di dekatku. Agar aku bisa masuk dalam himpunan itu dan dirasuki kebaikan serta kesucian mereka yang putih, sehingga aku tidak lagi berbuat salah dan dikenakan teguran serta hukuman-hukuman. Agar aku bisa seperti saudara kembarku. Agar aku mampu menyatu dengannya. Tapi apa yang terjadi? Orangtuaku marah, mereka menyangka aku akan membakar rumah. Dan lebih sial lagi, di saat aku belum mengeluarkan seluruh marahku karena tuduhan mereka yang tak beralasan, saudara kembarku mengambil-alih suasana dan aku disuruhnya enyah begitu saja.

Kerap aku terlalu sering membenci orang. Aku benci melihat tatapan sebagian orang yang kadang seperti curiga dan seolah ingin menerkam, saat aku berlalu di depan mereka. Aku juga benci pada saudara kembarku yang selalu saja mengkritik dan selalu ingin menyembunyikan identitasku serta berkali-kali seolah berusaha ingin melenyapkanku. Apa salahku? Toh aku adalah dirinya yang terbelah. Mengapa dia malu mengakuiku sebagai belahan dirinya? Bukankah berkali-kali aku saksikan betapa dia menikmati apa-apa yang aku lakukan?

Aku ingat! Di antara sekian eranganku saat aku berhubungan badan dengan Nina, dia juga ikut mengerang dengan begitu nikmat. Saat aku mabuk, dia juga mencicipi hangatnya anggur dan fantastisnya lupa daratan, hilangnya semua beban.

Meski aku bangga padanya, tapi aku juga membencinya. Dia munafik!

* * *

Purnama telah bersinar. Aku telah sampai di pekarangan. Aku juga telah berkali-kali berdaham-daham. Dan aku pun melihat saudara kembarku tengah berjalan menuju arahku.

Pada akhirnya kami memang harus berpisah. Aku sadar bahwa aku tak bisa menjadi diriku dan sekaligus saudara kembarku pada saat yang bersamaan, pada tempat yang tak terpisah. Begitu juga dengan saudara kembarku, pastinya! Maka kami memutuskan untuk berpisah. Ya, kami pisah setelah peristiwa menghebohkan pada perayaan ulang tahun kami setahun silam.

Lantas kami membuat kesepakatan. Setiap bulan purnama kami akan bertemu. Tempat pertemuan; pekarangan. Di sana, seperti yang telah diceritakan sebelumnya, biasanya kami hanya bertatapan muka dalam diam. Di antara diam itu, saudara kembarku selalu mengingatkan, “Mari kita merefleksikan apa yang telah kita lalui dan lalu kita ambil sebagai pelajaran.�

Aku tak suka kata-kata itu. Dalam kalimat yang disusunya tersebut aku merasa bahwa dia selalu berusaha menuntutku untuk lebih menyerupainya. Padahal menurutku sia-sia saja. Sekeras apapun ia berusaha menyerupai Tuhan, dia tak akan berhasil. Dia tetap manusia, tak bisa lepas dari keburukan. Bahkan menurutku, keburukan adalah saat manusia mencoba untuk menjadi Tuhan. Kedengarannya terlalu memaksakan dan tidak manusiawi. Dan lagi, memangnya Tuhan mau, diserupai?

Meski aku telah mengatakannya berkali-kali, saudara kembarku tetap tak mau mengerti. Hingga akhirnya pertemuan kami memang selalu lebih banyak diisi diam yang berkepanjangan.

Bila aku mau pergi, aku juga berdaham-daham agar saudaraku mengerti bahwa waktuku telah habis dan aku harus segera pergi. Dia melepasku dengan tatapan. Lalu kami saling berjanji untuk bertemu pada bulan purnama depan.

Oh ya, saudara kembarku dan aku, sebenarnya menyatu dalam diri seseorang: namanya Amar.***

Ciputat, 6 Maret 2000
(Pernah dimuat di Harian Sinar Pagi…….. 2000)

_______________________________
1) Dua paragraph ini dikutip dari puisi Subagyo Sastrowardoyo yang bejudul “Saudara Kembarku�. Subagyo adalah penyair, kritikus dan esais kelahiran Madiun yang wafat pada 18 Juli 1995 di Jakarta.

Tuesday, July 20, 2004

Cerpen: Yang Membatu


Abigailâl,
Mengapa kau masih saja kembali mendatangiku setelah abad berlalu dan menjauh meninggalkan kita? Aku kini hanyalah seonggok batu yang kebetulan terpajang di salah satu etalase museum kotamu.

Abigail,
Percayakah Kau bahwa selama ini aku selalu menjumpaimu di seluruh dunia di mana aku dipindahkan dari tangan ke tangan untuk dipamerkan? Aku menjumpaimu dalam tawa seorang gadis kecil yang iseng dan berusaha merobohkan berdiriku. Aku menemui dirimu dalam tubuh seorang wanita Yerussalem yang dibebat kerudung hitam yang panjang. Aku menemui dirimu dalam kekaguman seorang nenek tua yang begitu bahagia bisa melihatku. Dan bukan hanya itu, masih banyak lagi manusia serta benda yang padanya ku jumpai dirimu. Di dalamnya hinggap dan menetas jiwamu. Hanya kenapa kau masih juga belum mau memaafkanku?

Aku tahu Abigail, aku tak bisa lagi berharap padamu. Karena kini aku hanya seonggok batu yang selalu diam membisu. Sementara kau dengan taburan auramu yang ku saksikan memancarkan pesona cupu manik astagina, akan mampu, bahkan mengumpulkan seribu ksatria gagah perkasa yang memohon kasih di kakimu.

O Abigail, kita kini berada pada dunia yang jauh dari dunia yang dulu pernah kita lewati bersama-sama. Kini kita juga berada pada alur hidup yang menempatkanku pada suatu posisi yang tak berdaya, dimana gerak dan nyawa tak melekat padaku, di mana nafas dan udara bukan penyebab abadi dari keberadaanku di dunia.

Sudahlah Abigail,
Hentikan saja usapan-usapanmu pada bangunan tubuh dan kepalaku. Ruapan bau badanmu, hanya akan mengingatkanku pada resah dan derita kita dulu. Pada tangis sedih serta penyesalanku kini.
Hentikan Abigail! Aku tak ingin menangis di sini, didepanmu, saat ini.

.............

Herlita mundur beberapa langkah ke belakang. Dirinya tersekat oleh kekagetan luar biasa. Dengan mata kepalanya sendiri, Herlita menyaksikan patung itu mengucurkan airmata. Buliran-buliran airnya satu persatu jatuh dan mengalir di pipi, lantas menghilang diserap oleh lubang-lubang keropos yang aus. Lubang yang muncul karena gerusan waktu yang memahat patung batu.

"Mitos itu benar! Mitos itu bukan sekedar bualan!" Dengan gembira Herlita meraih kameranya. Entah berapa kali ia membidik patung itu.

Sebagai seorang wartawan budaya, Herlita memang ditugaskan untuk meliput pameran patung-patung dari Ganje, sebuah kota di Iran Barat Laut yang letaknya tidak jauh dari kota Bacau, bekas wilayah Azerbeijan, Soviet.

Herlita telah lama mendengar bahwa patung-patung dari Ganje tidak dibuat oleh tangan manusia tapi oleh angin yang mengabulkan permintaan batu-batu untuk membuatnya lebih berbentuk. Konon batu-batu di Ganje bisa menangis, tangis itu adalah rayuan agar para dewa mau menitipkan roh pada mereka. Siapa yang tangisnya telah melebihi sepenuh laut dan semusim hujan yang menjatuhi bumi dengan buliranya yang besar-besar, maka roh pun dilayangkan dari langit dan dilekatkan ke batuan-batuan itu. Hingga di Ganje sendiri, muncul legenda manusia batu yang datang pada musim-musim penghujan. Begitulah sedikit yang Herlita tahu tentang latar belakang patung-patung Ganje.

Tapi benarkah kini dia yang mengalami dan membuktikan kebenaran mitos itu?

Berita besar!
Hatinya bersorak girang.

* * *


"Kau melihatnya juga?" Deka bertanya pada Warsa. Warsa mengangukkan kepala.

"Kamu melihanya juga?"Iriana bertanya pada Naomi. Naomi menganggukkan kepala.

"Benarkah?"

Ada sekitar sembilan orang yang memberikan kesaksian bahwa mereka melihat patung-patung Ganje yang dipamerkan di museum kota itu menangis. Malah ada satu orang yang menyebutkan bahwa airmata yang dikeluarkannya adalah darah, warnanya merah. Tapi Herlita tak percaya. Ia yakin cerita itu dibesar-besarkan, terlalu dibuat-buat.

"Tapi setelah airmatanya menghilang, aku seperti mendengar patung itu menyebutkan sebuah nama,"ucap salah seorang perempuan.

"Ya, betul!"kata yang lainnya.

"kalau tak salah, ia menyebut nama Abigail!" dan perempuan-perempuan yang lainnya membenarkannya. Hanya saja laki-laki yang juga kebetulan mengaku melihat patung-patung itu menangis mengatakan bahwa perempuan-perempuan itu terlalu emosional, terlalu mengada-ada, terlalu mudah berhalusinasi.

"Dasar perempuan!"lalu lelaki-lelaki itu pergi. Tak lama kemudian perempuan-perempuan itu pun pergi.

"Dasar laki-laki!" para perempuan itu ngedumel.

Dan lihat, kini hanya Herlita sendiri yang masih berada di ruang panitia pameran. Hatinya diliputi tanda tanya besar. Benarkah dia hanya berhalusinasi seperti perempuan-perempuan lain yang dikatakan lelaki-lelaki tadi? Ataukah dia sungguh-sungguh mengalami peristiwa itu?

Siang itu ada sekitar empat ratus orang yang datang untuk melihat acara pembukaan pameran patung-patung Ganje di museum kota.

Tiga puluh lima patung diterbangkan langsung dari kota asalnya di Iran sana. Lima negara secara berurutan mengikuti acara lima pekan pameran patung dunia yang diadakan oleh dewan kerja museum kota. Inggris, Perancis, Mesir, Belanda, dan pekan terakhir, Iran. Semuanya berjalan lancar, pengunjung membludak. Televisi menayangkan secara live. Melalui jaringannya di Indonesia, CNN juga menayangkan acara gelar patung ketiga terbesar dunia itu. Radio menyiarkan. Koran-koran memberitakan.

Tapi pada pekan kelima ini panitia dibuat terkesima. Ada sembilan orang menyatakan melihat patung-patung itu mengalirkan airmata. Sebuah cerita mustahil yang hampir dapat dikatakan bohong kalau saja yang memberi kesaksian hanya sekitar tiga orang.

Tapi ini, sembilan orang menyatakan hal yang sama pada hari yang sama. Panitia memendam cerita ini hanya di kalangan mereka. Bagaimana dengan Herlita?

* * *


"Jangan pergi lagi," Seorang lelaki, berperawakan tegap, berambut dan bermata sehitam malam, telah berdiri begitu Herlita membuka pintu rumahnya.

Wajah itu semakin membuat detakan jantung Herlita yang sedari tadi sudah cepat jadi memburu. Tak ada yang berbeda. Matanya, hidungnya, lengkung alisnya, semua yang tercetak di wajah lelaki yang kini berdiri di hadapannya adalah wajah yang muncul saat negatif film kameranya tercetak.

Perasaan kaget luar biasa meruyak di hati Herlita saat gambar patung Ganje yang tadi siang dibidiknya memunculkan gambar yang jauh berlainan dari objek semula. Dia memotret patung, yang muncul gambar manusia. Gambar seorang lelaki yang di pipinya terurai airmata. Lelaki berwajah Arab yang kelihatannya begitu merana. Mata besarnya memandang sendu ke arahnya, dan mata besar yang berada dalam foto itu pulalah yang kini memandangnya tepat di hadapannya.

"Abigail, setelah angin menerbangkan dirimu ke bukit Bistun tak sedikitpun aku menduga bahwa tangan takdir masih ingin mempertemukan kita" Lelaki itu menatap mata Herlita lekat-lekat, Herlita diam saja, ia masih tercekat.

"katakanlah Abigail, bahwa cerita orang-orang desa kita tentangmu adalah bohong belaka. Kau tentunya tidak mengkhianatiku bukan? Dan andaipun kau akhirnya menjadi batu, tentunya bukan karena kutukan itu 'kan?" Lelaki berwajah Arab itu melangkah mendekati Herlita.

"Kau tahu mengapa aku menjadi batu?" Lelaki itu seolah bertanya pada Herlita.

"Setelah angin yang menerbangkanmu pergi, aku berdiri di tempatmu membatu. Suatu hari, aku yakin kamu pasti kembali. Bertahun lamanya aku tetap disana, tanpa gerak, penuh harap. Berpuluh-puluh tahun aku masih tetap menunggumu disana, hingga akhirnya abad dan milenium mengekalkanku dalam bentuk batu. Namun kau tetap tak hadir menemuiku. Tapi aku tak perduli, sebab seperti dulu terucap sewaktu kita sering berjalan di sepanjang pasar di kota Ramalan, bila tanpa sengaja kita terpisah di jalan kita akan selalu berusaha untuk bertemu dan saling mencari di tempat di mana kita terpisah dan hilang. Maka aku tetap mencari dan menunggumu di sana, berharap kita akan bertemu kembali, kemudian saling memaafkan dan kita akan mendapatkan kembali seluruh kebahagiaan dan menganggap peritiwa yang pernah menimpa kita sebagai musibah saja; kita tak perlu tak kehilangan apa-apa. Tapi kau betul-betul menghilang rupanya." Bibir lelaki itu bergetar, dan Herlita tahu, lelaki itu sepertinya sangat kedinginan. Namun bukannya berhenti, lelaki itu malah terus saja berbicara, sepertinya sudah lama sekali ia tidak berkata-kata.

"Ketika pertama kali debu-debu gurun itu menyentuh kulitku, yang terbayang adalah prosesmu dalam membatu. O, Abigail, aku merasakan sendiri bagaimana debu-debu di gurun yang lembut menjadi begitu kasar dan menyakitkan saat badai melemparkannya terus-terusan padaku seperti hujan. Lembab dan panas yang datang silih berganti menjadikan debu gurun itu lekat dan lengket di badan, tak mau pergi dan tak dapat disingkirkan, meresap dan terus menggerogoti paru dan jantung, memaksa darahku berhenti mengalir dan sel-selnya mati lantas tak bisa lagi berproduksi. Wujudku sebagai manusia semakin tampak tak nyata dan kian hari alam membuatku menfosil semakin yakin. Tapi jiwaku tidak, ia masih ada namun terperangkap pada batuan sebagai tawanan dari kekuatan alam." Lelaki itu menatap Herlita semakin lekat, tatapan itu jelas benar mengandung kerinduan yang sarat.

"Pada saat-saat seperti itu aku merasa lebih dekat denganmu karena aku juga mampu merasakan apa yang pernah kau rasakan. Aku mencoba menghayati penderitaan dan susah yang kau alami pada waktu kau mematung seperti yang dikisahkan orang-orang saat mereka bilang kau dikutuk menjadi batuan. Hanya saja aku selalu meringis, membayangkan bagaimana seorang yang halus sepertimu harus menerima perlakuan kasar dan begitu menyakitkan dari alam." Kini raut muka lelaki berwajah Arab itu berubah sendu, ia tengah memeram kesedihan yang Herlita tetap belum tahu.

"Ah, tapi sudahlah! Saat ini aku cukup berbahagia bisa kembali bersama denganmu. Dan biarlah apa yang kini menimpaku, ku anggap sebagai ganjaran bagiku yang telah bersalah-duga padamu. Yang pernah tak mempercayaimu. Yang pernah yakin bahwa kau mengkhianatiku. Abigail, maafkan aku!" tangan lelaki berwajah Arab itu kini menyentuh pipi Herlita. Herlita diam saja.

"Mengapa kau masih tak mau berbicara, Abigail? Katakanlah sesuatu, apapun itu! Atau kau masih marah padaku? Sudahlah lupakan segala cerita orang tentang pengkhianatanmu, bergegaslah tinggalkan masa lalu dan kembalilah cepat-cepat padaku . Aku telah memaafkanmu." Kepada Herlita lelaki itu mengangsurkan kedua tangannya, namun begitu melihat Herlita diam saja, wajah yang berada tepat di depan Herlita itu meredup seketika. Kekecewaan terukir jelas pada raut mukanya.

Herlita memang masih terdiam, tapi kini dia sudah bisa mengendalikan diri. Malah kini Herlita sadar dan tahu dia tengah mengalami peristiwa besar yang bisa dikatakan hampir menyerupai mukjizat. Ya, Herlita tahu kini ia tengah mengalami suatu peristiwa dari suatu waktu yang terhenti. Suatu peristiwa besar yang terjadi jarang-jarang.
Kapan lagi manusia bisa bercakap-cakap dengan jiwa manusia batu yang keluar dari bentuk ragawinya sekarang karena beban belenggu rindu yang menggebu? kisah kerinduan yang belum sempat tertuntaskan di masa yang pernah dialaminya pada ratusun tahun silam. Tampak benar, Herlita kini telah sepenuhnya tenang.

"Abigail, maafkanlah aku" Lelaki itu meluruhkan pandangannya ke lantai.

"Tapi aku bukan Abigail." Mulut Herlita terbuka begitu saja. Lelaki berwajah Arab itu mendongak dan kini menatap Herlita tajam. Ada banyak ekspresi yang dapat Herlita saksikan di wajahnya.

"Kau Abigail" lelaki itu berkata pelan tapo penuh kepastian.

"Aku Herlita, bukan Abigail!" ucap Herlita mantap.

"Tidak! Kau Abigail! Hanya saja kau masih tak mau memaafkanku, lalu berpura-pura bahwa dalam tubuh itu adalah bukan dirimu. Ya! Kau tak pernah bisa melupakan kesalahanku rupanya!" Lelaki itu kini tampak agak marah, tapi secepat mungkin ia kembali terlihat menguasai dirinya.

"Percayalah, aku bukan Abigail. Aku bukan perempuan yang kau cari! Di dalam tubuhku ini aku tak tahu siapa sebenarnya. Tapi kunyatakan padamu kau baru saja bertemu orang yang salah. Aku Herlita, seorang wartawan!" Herlita berusaha meyakinkan, bahkan tangannya kini terulur mengajak bersalaman. Namun lelaki itu mengabaikan.

"Entah berapa kali lagi kau akan berkeras seperti ini, Abigail. Entah berapa ratus orang lagi harus ku temui agar kau mau benar-benar memaafkanku dan mengaku bahwa jiwa dalam tubuh itu adalah dirimu. O Abigail, kau telah membuka mataku dengan cinta namun dengan cinta pula engkau membutakanku!" Herlita mendengar ucapan itu seperti sebuah keluhan putus asa yang panjang, tapi masih tetap mau berusaha untuk dipertahankan.

"Baiklah, bila sekarang kau masih tidak mau mengakui siapa dirimu yang sesungguhnya, masih tak ingin mendengar kata hatimu yang setiap malam menyenandungkan kidung cinta untukku, masih mau menghukumku atas kesalahan yang pernah ku lakukan, lakukanlah! Tapi kau harus tahu, bahwa Farhad menyesal dan ia masih akan selalu mencari jalan bagi terbukanya pintu hatimu." Mata lelaki itu tampak terluka.

"Aku mencintaimu" Begitu ucapnya dengan bibir yang gemetar. Dan laki-laki itu menangis, airmata berserabutan keluar dari matanya, mengalir di pipinya. Dan saat tetes demi tetes airmatanya menyentuh lantai, seperti kabut, tubuhnya pun pelan-pelan menghilang, wujudnya seperti termakan kegelapan. Lelaki itu semakin lama semakin meniada sampai akhirnya memang betul-betul raib dan seolah ia tak pernah ada. Ruangan itu kini kosong dan hanya tinggal Herlita saja yang tampak seperti orang dungu yang tengah bengong.

Herlita tercenung. Farhad? Ya, tadi laki-laki itu menyebut sebuah nama. Itukah namanya? Apa yang terjadi dengan Abigail? Siapa perempuan itu?

* * *


Hujan berjatuhan tak henti-henti. Pohon meliuk-liuk diterpa angin. Badai ini memang menggetarkan. Tak ada seorangpun yang berani keluar. Tapi ada yang terjadi di belakang rumah Herlita.

Batu yang berserakan di taman belakang rumahnya sedikit demi sedikit terlihat seolah berkumpul dan membuat suatu gundukan yang memusat. Sekilas orang akan mengira bahwa batu-batu itu terhimpun karena disatukan kekuatan angin. Tapi kalau dilihat benar-benar sekali lagi, tidak! Bukan angin yang menyatukan mereka, batu-batu itu bergerak sendiri. Bongkahan-bongkahannya yang kecil terlihat seperti memilki jiwa dan berhasrat besar untuk menyatukan diri mereka yang kerikil menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari sesuatu yang lebih besar, entah apa.

Guntur menggelegar. Hujan semakin meraja. Di dalam rumahnya, Herlita tengah berbaring sambil menghirup susu coklat yang hangat. Dia sendirian, nyaman dan terlentang. Di taman belakang rumahnya, sesuatu bergerak!

Seiring hujan yang menyiram bumi dengan kencang, sesuatu itu tampak seolah berjalan, menjauh taman belakang dan lantas menghilang dalam hujan.***



Ciputat, Juli 1999
Dimuat di Media Indonesia Desember 2000

___________________________
Catatan Kaki:

1. Banyak kisah, salah satunya yang beredar di kawasan wisata Situ Gunung, Cisaat-Sukabumi. Sering pengunjung yang berpotret disana, saat negatif filmnya tercetak kertas, ada hal aneh terikut. Misalnya dia berfoto dibawah sebuah pohon besar, dalam gambar, ternyata dia berfoto dekat sebuah kaki yang sangat besar, berwarna hitam. Entah kaki apa.

2. Bukit ini letaknya tidak jauh dari kota kirmansyah di daerah Iran Barat laut. Konon di sana ada sebuah monumen sejarah, yaitu pahatan yang berupa patung seorang pria dan seorang wanita. Pahatan itu telah dipugar sekarang, hanya saja banyak orang Iran yang mengaitkan pahatan tersebut dengan kisah percintaan khusrau dan Sirin karya sufi besar Hakim Nizami (wafat 1223 M) yang juga menciptakan kisah klasik Laila-Majnun.

3. Dalam kepercayaan orang islam, perempuan yang berkhianat pada suaminya mendapat kutuk dan laknat Tuhan.

Lyrics: Stay Far Away So Close

Stay Far Away So Close
(U2)


Green light, Seven Eleven
You stop in for a pack of cigarettes
You don't smoke, don't even want to
Hey now, check your change
Dressed up like a car crash
Your wheels are turning but you're upside down
You say when he hits you, you don't mind
Because when he hurts you, you feel alive
Hey babe, is that what it is

Red lights, gray morning
You stumble out of a hole in the ground
A vampire or a victim
It depend's on who's around
You used to stay in to watch the adverts
You could lip synch to the talk shows

And if you look, you look through me
And when you talk, you talk at me
And when I touch you, you don't feel a thing

If I could stay...
Then the night would give you up
Stay... and the day would keep its trust
Stay... and the night would be enough

Faraway, so close
Up with the static and the radio
With satelite television
You can go anywhere
Miami, New Orleans
London, Belfast and Berlin

And if you listen I can't call
And if you jump, you just might fall
And if you shout, I'll only hear you

If I could stay...
Then the night would give you up
Stay... then the day would keep its trust
Stay... with the demons you drowned
Stay... with the spirit I found
Stay... and the night would be enough

Three o'clock in the morning
It's quiet and there's no one around
Just the bang and the clatter
As an angel runs to ground

Just the bang
And the clatter
As an angel
Hits the ground






Cerpen : Stay Far Away So Close

Stay Far Away So Close; Begitu Jauh Terasa Dekat
~~~~~Cerpen Dmitri Tobias Lessy~~~~


Jubah malam telah disebar, bintang di atas langit tak tampak benar. Polusi cahaya telah membuat bintang di kota ini kehilangan gemerlap, tersaingi mercusuar gedung dan lampu jalanan berkekuatan ribuan watt.

Aku disana, memandang Jakarta yang menyenyap saat aku bertemu dengannya. Bajunya sudah agak lusuh, sepertinya ia baru saja menempuh perjalanan jauh. Mungkin ia hendak pulang dan tentunya ia belum sempat mandi. Bau keringatnya yang lekat sudah tercium saat ia mulai mendekat. Sebuah plastik berwarna hitam digenggamnya erat pada tangan kanan.

Sebenarnya banyak bangku kosong yang tersedia untuknya. Saat menjelang tengah malam, bus memang kurang sarat dengan penumpang. Terlebih bila minggu malam begini, kebanyakan orang pastinya lebih senang memilih tinggal di rumah bersama keluarganya, menikmati sisa akhir pekan dengan bersantai. Tapi entah kenapa pria itu lebih memilih menggangguku. Ia meminta posisi tempat dudukku. Dengan enggan aku bergeser, lantas membiarkan pria itu menatap jalan raya kelam di samping kiri jalan.

Setelah kantong kreseknya ia tempatkan di bawah bangku, lama ia terpaku. Jelas benar matanya menatap jalanan lenggang, entah apa yang ia pikirkan. Beberapa saat kemudian ia menoleh, sebentuk senyum ragu-ragu mencoreng wajahnya. Dalam hati aku memaki. What the f**k are you lookin' at, faggot!

"Makasih atas tempat duduknya ya Dek. Baru mau pulang?" Ia membuka cakap. Sial! Lagi-lagi dalam hati beruntun kata-kata, What the f**k? Tetapi yang keluar dari mulutku hanya, "Nggak apa-apa kok Mas. He’eh, baru mau pulang." Jawabku sambil lalu.

Lantas tak ada lagi percakapan, sepertinya ia mulai kembali sibuk memandang ke arah luar. Aku senang dengan jeda itu, setidaknya sekarang aku bisa tidur .

"Dek, tidak mengapa kalau saya buka jendelanya?� Tiba-tiba pria itu berkata lagi, namun belum sempat kujawab mulutnya telah kembali berucap, “Kalau sedang naik bus, saya senang memandang keluar jendela. Lagian, kaca jendela usang ini hanya merusak pemandangan saja. Gimana Dek, saya buka ya?" tanyanya.

"Silahkan saja, Mas" Jawabku pendek. Mau dibungkus jendelanya terus dibawa pulang ke rumah juga, sebodo amat! Dalam hati lagi-lagi aku memaki. Tapi tak lama aku tersenyum sendiri, sebagai orang yang punya otak aku sadar tidak mungkin hal tersebut dilakukan. Bayangkan, betapa rumitnya! Mencabut jendela kaca itu saja dari tempatnya sudah cukup merepotkan, belum lagi memikirkan cara agar tidak diteriaki maling dan diburu kernet serta supir. Ah dasar!

"Ih, si Adek senyum sendirian. Suka naik bus kota juga ya? Sama! Saya juga suka.� Pria itu kembali berkata.

Aku terdiam berusaha menahan diri agar tidak satupun kata-kata yang melintas di pikiranku saat itu keluar . Tapi meski tak terucap, dalam hati aku melontar komentar, kalau bisa milih sih, sebenarnya gue lebih suka naik Corolla Altis!

Dan seperti sebelumnya, tanpa menggubris keheningan responku, sang pria terus saja bercerita.

"Dahulu Dek, tahun '92. Ya... sepuluh tahun lalu waktu saya masih SMA, setiap hari saya naik bus ini kalau mau berangkat ke sekolah. Bus nomor ini, he’eh, persis bus nomor ini.� Kalimat itu menggantung begitu saja, pria itu sepertinya mencoba mengambil udara, bernafas dulu untuk sementara.

“Saya naik dari Cawang, melewati Kampung Melayu dan lantas berhenti… nah, nah! Dek, dek!� Pria itu menggoyang-goyangkan tangan kiriku, memaksaku membuka mata dan melihat ke arah yang dimaksudnya.

“Di sana Dek, lihat! Di sana itu saya berhenti. Itu tadi… yang ada haltenya!� Sempat kulihat sebuah bangunan berkelebat, tapi tak jelas benar itu bangunan apa. Yang jelas, dalam penglihatanku, sekejap tadi kepala pria itu tampak seperti terpelintir, ia menoleh ke arah tempat yang ditunjuknya sambil terus memutarkan kepalanya. Seperti yang tak mau kehilangan, sebelum jarak bus semakin jauh memisahkan, ia berusaha untuk tetap membuat dirinya bisa melihat bangunan yang diakuinya sebagai tempatnya dulu bersekolah.

“Di sana Dek! Di sana itu dulu saya sekolah. Lihat ‘kan tadi?� Pria itu kini menatapku. Aku diam saja. Dan seperti sebelumnya, ia meneruskan bicaranya tanpa memperdulikan respon heningku yang masih begitu-begitu saja.

“Siapa sangka ya, sekarang saya jadi penjual sabun eceran." Lanjutnya lagi sambil cengengesan.

"Apa Mas?" Kali ini aku menukas cepat. Aku ingin memastikan kalau aku tidak salah dengar . Aku yakin pria itu tadi mengatakan kalau dirinya kini adalah seorang salesman.

"Saya ini penjual sabun, Dek. Sabun untuk mencuci," jawabnya tak kalah cepat. Oh, jadi dia mau jualan nih? Sialan! Dalam hati aku menggerutu lagi. Haruskah malam-malam begini ketemu dengan salesman yang mempromosikan barang dagangan? ! Namun meski keki, kali ini aku mencoba bersabar hati.

"Sabun apa Mas?" Tanyaku.

"Ya sabun, Dek. Untuk mencuci apa saja. Ide awalnya, saya hanya ingin membuat sebuah produk sabun untuk membersihkan. Ya, membersihkan apa saja yang hendak dibersihkan: piring kotor, gelas berminyak atau pakaian yang kena noda. Bahkan idealnya sih, sabun ini bisa juga buat mandi dan keramas, Dek. Pokoknya motto dari produk yang saya bikin ini adalah, sabun; untuk mencuci." Terlihat benar pria itu berusaha menjelaskan. Aku hanya manggut-manggut.

"Ooo... Begitu ya? Mereknya apa mas?" Tanyaku. Harus kuakui, sebagian dari diriku kini mulai penasaran. Bukan untuk membeli, tapi untuk mengetahui lebih jauh tentang si pria lusuh.

"Ya sabun, Dek. Kan tadi saya sudah bilang: S.A.B.U. N! Untuk Mencuci." Jawabnya tandas.

Oh may God! Dia memang! Masa’ menamakan produk sabun, SABUN? Begitu saja kalimat itu melintas di pikiran begitu ku dengar ucapan lelaki tersebut, tetapi lagi-lagi yang keluar hanya kata: "Oooh"

Tak lama kemudian, pria itu merogoh sakunya, mengeluarkan rokok dan korek api dari sana.

"Dek, nggak keberatan ‘kan kalau saya merokok?" Dia bertanya lagi. Sepertinya lelaki di hadapanku ini termasuk jenis orang yang selalu menunggu persetujuan orang lain bila ingin bertindak, atau kalau tidak, ia mungkin bisa digolongkan pada jenis orang yang sangat peduli pada orang lain. Dalam beberapa menit percakapan saja, sudah berapa kali dia bertanya apakah aku keberatan dengan apa yang akan dia lakukan.
"Silahkan saja Mas,� jawabku pendek.

"Rokok?" Ia mengangsurkan rokok yang dipegangnya.

"Enggak Mas. Terima kasih." Aku berusaha tersenyum, tanganku membuat gerak yang menandakan aku menolaknya.

"Oh, tidak merokok toh. Bagus, bagus. Saya juga dek." Tuturnya sambil menjentikkan korek api di tangan kanannya.

What the f**k?!!! Pikiranku menjerit.

"Uhm, saya sebenarnya merokok sih Mas, tapi sedikit." Aku tak rela mendengarnya ikut-ikutan mengatakan bahwa ia tidak merokok, padahal jelas benar ia sedang bersiap mengisap benda itu kini.

"Lha, itu persis maksud saya tadi! Kok kita sama ya! Ha ha ha!" Tiba-tiba kalimatnya pecah menjadi tawa. Entah kenapa aku terpancing. Kali ini aku pun ikut tertawa atau tepatnya menertawai dirinya. Dan suasana kaku yang tadi melingkupiku sepertinya meruap entah kemana. Layaknya dua orang sahabat lama kami tertawa berdua. Sang pria kemudian menyulut rokoknya.

"Mau turun di mana Mas?� Kali ini aku mulai berusaha, paling tidak, sedikit memberi reaksi atas kalimat-kalimatnya yang ditujukan padaku, sekalian mencoba mengukur berapa lama lagi aku harus bersamanya, sebelum dia harus turun dari bus.

"Nggak Dek. Saya tidak hendak pergi ke mana-mana, hanya senang naik bus ini saja," ucapnya enteng sambil menghembuskan asap rokoknya.

My God, are you for real? Pikiranku kembali merangkai kata bahasa Inggris
mubazir. Tapi seperti biasa, yang keluar dari mulutku cuma kalimat pendek yang bunyinya, “Oh…�

Bus menggelinding menerobos lampu merah perempatan, saat pria di sampingku mulai bercerita tentang kisahnya waktu di SMA dulu. Katanya, ia masih ingat betul saat dirinya pertama kali jatuh cinta.

"Pertama kali jatuh cinta di sini, Dek. Di bus ini. Bus nomor ini, persis! Waktu itu pagi hari, saya sedang hendak pergi ke sekolah. Kebetulan saya duduk dekat jendela ketika di luar saya melihat seorang anak perempuan cantik. Begitu cantiknya sampai-sampai malaikat kalau melihatnya mungkin akan iri padanya, atau mungkin malu..."

"Atau mungkin juga jatuh cinta Mas, seperti si Mas." Jawabku cepat hendak memancing tawanya lagi. Dan kami pun memang tertawa lagi.

"Ya, ya. Saya harap begitu. Semoga semua malaikat jatuh cinta padanya. Hari itu ia membuat saya tersenyum. Saya jarang tersenyum Dek," ucap pria itu sambil menatap kosong sisi sebelah kiri jalan yang tengah dilewati bus.

"Keesokan harinya saya duduk di dekat jendela lagi, berharap dapat melihatnya kembali, tetapi dia tidak ada. Dan keesokan harinya lagi, ketika saya mencoba hal yang sama, dia juga tidak ada. Sampai kira-kira sekitar dua bulan lebih baru saya melihat dia lagi Dek. Bukan main senangnya saya, sampai-sampai bolos sekolah dan cuma menghabiskan waktu senyum-senyum sendirian. Hari itu akhirnya saya habiskan buat main game di Pasar Baru.� Sebuah senyum terukir di wajahnya.

�Ternyata, jam masuk sekolahnya itu siang Dek, lebih siang dari jam masuk sekolah saya, terang saja tidak pernah ketemu. Lalu sejak saat itu saya berangkat ke sekolah selalu agak siang agar bisa ketemu dia atau sekedar melihatnya berjalan menapak trotoar menuju sekolahnya. Tetapi akibatnya saya jadi selalu terlambat datang ke sekolah. Tapi tak mengapa Dek, saya senang.� Kali ini Pria itu memandang ke arahku. Aku cuma ikut tersenyum sambil menunggunya melanjutkan cerita.

“Sekolah, Dek, tidak membuat saya senang. Belajar tidak membuat saya tersenyum. Tetapi memandangnya dari balik kaca jendela bus kota yang berdebu saja sudah cukup untuk membuat saya tersenyum. Kadang saya bertanya pada diri saya sendiri, ada apa di balik wajahnya? Apa yang terjadi di balik senyumnya? Apa yang sedang dipikirkannya? Apakah hari itu dia sedang senang seperti saya, ataukah ada hal yang membuat dia sedih? Lalu saya mulai mereka-reka, siapa yah namanya? Mariakah? Atau Gabriel, seperti nama Sang Malaikat? Ataukah Angela? Sarah? Stephany? Ah, rasanya mustahil saya mampu menebak namanya.� Tatapan mata pria itu kini jauh menembus kaca jendela, sepertinya ia hendak bercerita juga pada sepanjang jalan yang dilalui bus kota, jalan yang diakuinya sebagai jalan tempatnya dulu selalu menghabiskan waktu dan untuk kali pertama ia jatuh cinta.

“Teman-teman saya bilang, Udah, turun saja, tanya namanya siapa. Dan saya ingin sekali turun dari bus kota, lebih ingin dari apapun yang pernah saya inginkan di dunia, tetapi sampai sekarang saya tidak pernah melakukannya. Saya ambil jalan pintas saja, saya karang namanya. M - a - r - i - a. Begitu saya merekayasa sebuah nama untuknya. Setiap hari di kelas saya menuliskan nama "Maria" di buku saya. Persetan dengan pelajaran sekolah, persetan dengan guru, persetan dengan pendidikan. Satu hal yang selalu mengganggu pikiran saya waktu itu: Bilamana semua itu berakhir? Saya tidak bisa terus-menerus naik bus menuju sekolah hanya untuk melihat dia pergi ke sekolah. Pada satu titik tertentu saya harus berhenti melakukan itu dan semuanya akan berubah. Atau paling tidak dia akan lulus dan pergi melanjutkan pendidikannya ke tempat yang saya tidak tahu di mana. Kita kan tidak bisa terus-menerus di SMA? Bisakah kita? Tidak.� Pria itu kembali menghembuskan asap rokoknya. Dalam hati, aku merasa ceritanya tentang saat dia jatuh cinta tidak buruk juga. Setidaknya tidak seburuk bau badannya yang mulai lagi terasa menyengat. Tapi aku tak berkomentar apa-apa. Kini aku hanya ingin mendengarnya melanjutkan ceritanya saja.

“Selama di sekolah sudah tidak ada lagi pelajaran yang masuk ke kepala, Dek. Buku cetak dan tulisan saya banyak ditulisi namanya. Saya tidak pernah belajar apa-apa lagi di sekolah, malas rasanya. Dan ketika raport nilai kenaikan dibagikan, sungguh tidak mengejutkan... Saya tidak naik kelas. Dengan senang hati saya tidak naik, tetapi berat rasanya karena saya terpaksa pindah sekolah. Lantas semuanyapun perlahan mulai berubah.�

“Sekolah baru saya terletak di luar kota. Terakhir kali saya melihat dia doa saya terkabul: lalu-lintas macet. Saya duduk menghadap jendela memandangnya dari jauh, tetapi begitu dekat. Seperti itu lho, kayak lagu Stay Far Away-nya U 2!� Lelaki itu menolehku.

“Suka musik juga kan?� Tanyanya. Aku mengangguk, dan tanpa memberiku kesempatan berkomentar lelaki itu langsung meneruskan lagi ceritanya.

“Ya begitulah Dek. Sepertinya saya mencintainya dan saya ingin mencintai anak perempuan itu dengan cara yang begitu. Ia tidak perlu tahu. Dan meskipun setelah itu sekolah saya semakin jauh, kadang saya masih suka naik bus ini. Membolos hanya untuk melihat dia menapak trotoar jalan.� Pria itu menghela napas panjang.

“Dan tahu sendirilah Dek, di sinilah saya sekarang. Setelah 10 tahun berlalu saya masih suka naik bus ini dan memandang ke luar jendela. Siapa tahu kalau-kalau saya melihat dia lagi.� Kini setengah takjub aku mendengar ceritanya. Tampaknya dia tidak main-main, setidaknya ekspresi-ekspresinya menunjukkan demikian.

“Kok Mas nggak memberanikan diri turun dari bus saja sih Mas? Seperti yang disarankan teman-temannya?� Di antara jeda yang dibikin lelaki itu, aku melontar komentar.

“Iya, kadang saya juga berpikir, apakah ada baiknya bila waktu itu saya turun,
barang sekali saja, memberitahunya bahwa seseorang dapat mencintai seseorang tanpa pernah bertemu dengannya. Tetapi waktu itu saya takut segelanya akan berakhir. Ironisnya, segalanya justru akhirnya memang berakhir. Apakah ada baiknya bila waktu itu ia tahu saya mencintainya? Menurut saya Dek, ya setidaknya menurut apa yang saya rasa, dia tahu atau tidak sama saja. Akhirnya akan tetap begini. Saya lebih senang begini, ternyata....� Sekali lagi lelaki itu menghela nafas panjang, seolah hendak menghembus keluar seluruh beban yang selama ini ia pendam.

“Begitu Dek, cerita saya. Oh iya hampir lupa, perkenalkan saya Harun, yang arti namanya adalah: Ia yang seharusnya turun, tetapi tidak". Lagi-lagi, kami kembali tertawa berdua, layaknya sahabat lama.

Dan tiba-tiba aku terbangun ketika pening merebak di kepala. baru saja aku terbentur kaca jendela bus kota. Ternyata aku ketiduran dan terbawa sampai Pasar Baru. Aku melihat ke depan dan ke belakang, ke samping kiri dan kanan, menatap refleksi kumuh diriku yang terpantul dari kaca lusuh bus kota yang berdebu.

Dengan siapa aku berbicara barusan? Tak seorangpun memberi jawaban. Tinggal deru bus kota yang memelan yang kini dapat aku dengar. Penumpang lain sudah pada keluar dan kernet yang biasanya berteriak-teriak kini sedang tidur di jok paling belakang. Wajahnya tampak kuyu dan lunglai.

Kusambar tas plastik kresek hitam yang isinya cuma sachet-sachet kecil sabun yang tak laku terjual. Tak apa, masih ada hari esok untuk kembali menjualnya. Malam ini aku cukup beruntung, karena tadi, aku bisa melewati sekolah lamaku, tempat semua kenang-kenangan masa lalu membatu.***



20 januari 2002








Cerpen: Bagaimana Supaya Tidak Diculik Alien?

Sudah lama saya curiga kalau perempuan itu bukan berasal dari ras manusia. Sejak pertama kali bertemu dengannya, saya tahu ada yang sangat tidak manusiawi pada dirinya. Manusia tidak mungkin dapat menjadi secantik dia. Wajahnya serupawan alam dan tubuhnya seindah bintang-bintang. Bila ia berkata, suaranya seperti desahan sungai. Bila ia berjalan, bukan hanya lelaki saja yang matanya mengerling, tapi juga perempuan, anak kecil dan para binatang, tak dapat menahan malu untuk tidak kembali meliriknya sekali lagi saja.

Ia tinggal sendirian dan itu semakin memperkuat dugaan saya tentang dia. Dalam rumahnya yang besar, sama sekali ia tidak memiliki perabotan. Ia juga tidak makan, kecuali menghirup udara, itupun saya curiga apakah dia menghembusnya lewat lubang hidung ataukah hanya menyerapnya saja entah lewat lubang yang mana. Hal itu saya ketahui ketika saya dan teman-teman mengintipnya suatu malam.

Meski umur kami jauh berada di bawahnya, tapi perempuan itu selalu menjadi percakapan kami saat istirahat sekolah. Perempuan itu jarang keluar rumah, kecuali pada jam-jam tertentu saja. Pagi hari untuk belanja dan lari. Siang hari untuk menatap mentari, dan malam hari sebelum rembulan muncul di atas awan, dia biasa bersemedi sendirian. Segala keanehan itu tampak terlalu luar biasa. Tentu saja kami penasaran, itulah sebabnya kami selalu membagi tugas untuk memata-matainya.

Perempuan itu juga tak mempunyai sejarah. Menurut para tetangga, kedatangannya di tempat kami dimulai pada suatu malam ketika terjadi hujan meteor di langit sebelah barat, tahun 1965 tepatnya. Kata orang-orang pula, malam itu langit begitu terang, dengan mata telanjang setiap orang bisa melihat ratusan bintang jatuh berguguran, warnanya cerah dan menyilaukan. Anak muda jaman sekarang, mungkin akan memanjatkan ratusan permintaan saat melihat bintang jatuh, tapi orang-orang tua itu hanya bengong saja mengagumi langit malam yang benderang.

Saya kira, yang terjadi pada tahun 1965 itu pastinya adalah suatu hujan meteor periodik yang panjang. Katanya, lebih dari sepuluh menit meteor-meteor itu terlihat terus berguguran di langit malam, sampai sebuah letusan terdengar dari suatu tempat. Ketika orang berbondong menuju sumber suara, mereka menemukan seorang perempuan bermata kejora sedang menangis. Tak ada seorangpun yang mengenalnya.

Namanya Cattleya dan ia mengaku berasal dari suatu kota di Sumatera. Mencari famili di daerah Pati, tapi familinya tiada meski rumah dan alamatnya nyata. Nomor rumahnya 10, RTnya 10, RW-nya 1. Dan alamat itu adalah rumah besar, dua rumah terhalang dari rumah yang ditinggali keluarga saya.

Belakangan, ketika saya telah dewasa dan sadar, saya mengerti bahwa semua itu berhubungan. Perempuan itu tidak datang begitu saja, tapi ada yang ditujunya, sesuatu sedang dikerjakannya. Alamat rumah yang dicari perempuan itu berangka polindrom, 10101, suatu angka yang bila dibaca dari depan atau dari belakang, akan tetap terbaca sama. Dan itu tentu bukanlah sebuah peristiwa kebetulan. Angka tersebut pastilah suatu kode tertentu yang maksud dan artinya hanya perempuan itu yang tahu. Mungkin saja suatu kode untuk menomori misinya, mungkin juga suatu kode tentang siapa dirinya.

Sebelumnya, sepasang suami istri tinggal di rumah besar tersebut, namun sepekan tepat sebelum kedatangan Perempuan Cattleya, keduanya pergi meninggalkan kota. Lantas mereka menghilang, setelah itu, tak seorangpun tahu di mana suami-istri itu berada. Namun konon, kedua suami istri yang menghilang dan diakui Cattleya sebagai saudaranya tersebut, kerap bertingkah aneh. Mereka Sering melempari bunga dan menutup diri dari tetangga.

Singkat cerita, menetaplah Cattleya di sana, dan jadilah ia tetangga saya. Sepuluh tahun setelah kedatangan Cattleya, sayapun lahir. Ketika saya berumur tujuh tahun, perempuan tetangga saya itu telah sangat cantik di mata saya. Ketika saya menginjak remaja, wajahnya tidak berubah. Saat saya menatapnya, dalam pandangan saya, ia masih tetap saja terlihat seperti saat saya memandangnya ketika masih kanak. Demi Tuhan, manusia tak akan pernah ada yang seawet muda dia!

Tetangga saya, dosen di universitas terkemuka di kota kami, menjuluki Cattleya “Si Aprodhite�. Menurut Ibu dosen tersebut, kecantikan Cattelya betul-betul menyerupai gambaran Dewi Aprodhite, dewi kecantikan Yunani putri Zeus dari seorang dewi air yang bernama Dione. Konon, Aprodhite akan menjelma menjadi bidadari, perempuan-perempuan yang disediakan Tuhan bagi para lelaki beriman yang berhasil lolos dalam menghadapi ujian kehidupan. Katanya, dalam surga kelak, para Bidadari itu bermata seperti langit, berambut seperti emas, berkulit terang seperti sinar dan bersuara lembut serta menyejukkan laksana desah air sungai. Karena kulitnya yang transparan, konon bila mereka minum, manusia bisa melihat air yang diteguknya mengalir dari kerongkongan menuju badan.

Karena cerita Ibu dosen itu berulangkali saya dengar dari sejak saya masih kanak, ketika mulai bisa berpikir, saya jadinya sangat yakin kalau Cattleya memang bukan berasal dari ras manusia. Saya percaya, perempuan itu adalah mahluk asing. Kalaupun ia memang bidadari, tetap saja saya masukkan ia ke dalam ras bukan manusia. Bidadari ya bidadari, manusia ya manusia!

Setelah menjadi remaja, dari aneka bacaan yang saya konsumsi dan aneka film yang terserak di bioskop dan televisi, saya menduga keras bahwa perempuan itu pastilah sejenis alien yang ditempatkan diantara manusia dan bertugas untuk memata-matai kehidupan di bumi kita. Perempuan itu beberapa kali saya pergoki tengah mengamat-amati anak kecil dan terlihat sangat kagum dengan tumbuh-tumbuhan. Seperti sedang meneliti, ia pun kerap mengorek-ngorek isi tanah dan mengendus-endus pada apa saja yang ditemuinya. Dalam gelap malam, tetangga-tetangga sering bercerita kerap mereka melihat Cattleya tengah berbicara dengan kucing dan anjing, dengan sinar lilin dan dan pijar bohlam. Ia pun kerap menghilang padahal tak seorangpun melihatnya keluar dari rumah besar.

Ketika semua dugaan saya tersebut diutarakan, teman-teman SMU saya seluruhnya menertawakan. Sebagian dari mereka bilang saya sinting, sebagian dari mereka menuduh saya telah gila karena saya sebetulnya telah jatuh cinta pada perempuan Cattleya. Tentu saja beberapa kali saya pernah membantahnya, tapi mereka tetap saja menertawakan saya. Saya akhirnya menyerah, setiap kali saya katakan fakta-fakta baru tentang keanehan Cattleya, teman-teman saya terus menertawakan, tapi saya hanya diam saja, tidak bisa marah.

* * *

Alien datang dari balik keremangan ruang dan waktu, menyergap tiba-tiba, berubah wujud tanpa bisa di duga, menculik spesies manusia satu persatu sampai kelak semuanya terangkut dari dunia dan hilang meniada. Yang mereka inginkan hanya satu: memperkosa pikiran. Supaya bisa menjauhkan manusia dari dirinya sendiri, dari jiwa yang dimilikinya.

Konon ketika jiwa menjauh dari dirinya, ia akan tersesat, ingatan pada segala yang nyata yang dipercaya sebelumnya akan terbendung. Saat hubungan pada masa lalu tersumbat, dengan mudah manusia akan mengikuti apa yang dimauinya. Dengan kata lain, alien bermaksud mematikan kesadaran manusia akan kemanusiaannya. Apa jadinya bila manusia sudah tak sadar bahwa dirinya manusia? Hiiiiiii, betapa mengerikan!

Itulah sebabnya ketika saya telah dewasa dan berada jauh dari rumah, sebisa mungkin saya tidak pernah sendirian. Saya selalu menghindari kesepian. Pada malam hari saya pergi ke tempat-tempat ramai, ke dunia yang tak pernah berhenti bergemerlapan. Saya goyangkan tubuh saya, saya gerak-gerakkan kepala saya. Maksudnya satu, agar saya tetap sadar dan dapat tetap menguasai diri saya sepenuhnya. Tapi sungguh! Meski musik bergema begitu keras dan saya telah berusaha untuk selalu sadar dan tidak sendirian, saya tahu Cattleya selalu mengawasi saya di sana, di pojokan yang remang-remang.

Sejak saya betul-betul yakin bahwa perempuan tetangga saya itu adalah sejenis mahluk asing, Cattleya jadi semakin sering mendatangi saya. Setiap malam ketika gelap telah benar-benar pekat, ia berkeliaran, mencoba menjauhkan saya dari keramaian agar ia mempunyai kesempatan untuk mendekati saya. Cattleya sering merubah dirinya, tapi saya selalu berhasil mengecohnya.

Dengan sayapnya yang lebar saya sering saksikan Cattleya bergentayangan diantara angin dan deru malam. Saya yakin, pastinya perempuan itu mengintai dan mengamati saya. Mahluk asing ‘kan biasanya tidak mau bila keberadaannya diketahui banyak orang, itulah sebabnya jika ia tahu ada seorang yang mencurigai keberadaannya ia akan terus menguntit, mengawasi orang tersebut, selalu berada dimanapun orang itu ada. Ya! Saya yakin Ia pasti berniat untuk menculik saya!

Dari buku-buku yang saya baca, konon setelah seorang manusia dikunjungi alien, ia tak akan dapat mengingat apa yang telah terjadi padanya. Beberapa dari manusia dengan pikiran kuat akan mengingat pengalaman bertemu mahluk asing, namun ingatan itu akan samar dan terasa seperti sebuah mimpi aneh yang terasa sangat nyata. Kebanyakan yang lainnya mengalami pertemuan dengan para mahluk yang tidak dikenal itu sebagai suatu “missing time� atau saat yang hilang, sehingga waktu terasa terkorupsi menggelosor begitu saja, bumi terasa berputar lebih cepat dari biasanya, dan mereka tak tahu apa yang mereka lakukan pada waktu yang hilang itu.

Dan ketika Johan, teman kuliah yang satu kontrakan dengan saya mengatakan belakangan dia sering melihat saya berduaan dengan seorang perempuan yang sangat rupawan, saya luar biasa kaget. Bukankah kerjaan saya belakangan hanya kelayapan sendirian di pub-pub yang ramai? Bukankah yang saya lakukan belakangan adalah terus-terusan menonton film secara marathon?

Oh ya, selain tempat ajojing, boleh percaya boleh tidak, saya punya teori tentang bioskop sebagai salah satu tempat untuk bersembunyi dari Alien. Bioskop adalah tempat yang ramai dan saya tidak mungkin akan seorang diri menyaksikan film yang sedang diputar. Bila aliran waktu berhenti karena mahluk asing ingin menculik saya, otomatis film yang diputarpun akan berhenti, atau setidaknya tersendat. Dan saat perhentian waktu terjadi tentunya yang akan merasakannya bukan hanya saya. Dengan demikian, justru si alienlah yang akan kalah secara strategi, karena justru keberadaannyalah yang akan diketahui. Dan Itulah sebabnya kenapa belakangan saya selalu menonton, ajojing, dan terus-terusan berusaha untuk tetap berada dalam keriuhan.

Namun pertanyaan Johan barusan benar-benar tidak masuk akal. Siapakah dia perempuan berwajah rupawan? Adakah yang lain selain Cattleya yang sering memata-matai saya? Betulkah kami sering terlihat berduaan? Kapan? Shit!!! Sungguhkah saya masih bisa kecolongan? Diculik alien tanpa saya sadar?

Sejak saat itu saya ganti strategi, daripada terus khawatir dan ketakutan, saya telah berniat untuk memberanikan diri. Ketika malam datang, saya semai garam dan mengalungkan puluhan bawang putih di badan. Konon, garam dan bawang mempunyai kekuatan magis untuk mengundang mahluk-mahluk yang bisa menampak dan kadang tak kelihatan. Dalam dingin malam saya kerap bertelanjang, sendirian sambil memandang bintang. Berharap Cattleya datang dan menceritakan asal-usulnya serta mengapa ia masih mengejar saya. Apa yang dimauinya dari saya?

Saya tahu orang-orang mengatai saya gila, mereka juga dengan terkekeh kerap meledek saya sebagai alien. Saat melewati saya, dengan sengaja mereka ngobrol kencang-kencang, berharap saya bisa mendengar. “Hanya mahluk asing yang aneh yang dapat mengenal mahluk asing aneh lainnya�, begitu mereka berucap. Ada juga yang langsung mendatangi saya, dan dengan mata tajam menanyakan, “Sudah ketemu aliennya? Semalam pesawat UFOnya kita lempari batu, lho! Sekarang dua orang alien sedang dirawat di rumah sakit. Minta banyak valium mereka, di luar bumi susah tidur katanya. Kayak kamu! Mau ikut nengok?� Dan teman-temannya tertawa meningkahi ulahnya.

Tapi semakin hari mereka semakin tak perduli, saya juga sama, dari awal sudah tak perduli pada mereka. Toh mereka tak tahu, saya begitu justru untuk menyelamatkan mereka juga. Saya tidak mau ada manusia yang diculik Alien. Mereka yang memandang aneh pada saya, menurut saya justru aneh dan menakjubkan. Bagaimana bisa mereka tidak sadar, padahal setiap hari mahluk-mahluk asing itu semakin bertambah saja jumlahnya, bergentayangan mencari siapa saja yang bisa mereka bawa lari untuk dijadikan objek eksperimental. Mereka terobsesi untuk menjadikan manusia sebagai alat observasi, seperti para dokter menggunakan tikus sebagai tester untuk setiap produk yang mereka bikin. Mana saya sudi!

Tapi menyebalkan! Sejak saya berganti strategi dalam menyiasati supaya tidak dibawa keluar dari bumi, Cattleya secara terang-terangan tak pernah lagi saya lihat bergentayangan di langit malam. Setelah ditantang dengan cara begitu, Cattleya kelihatan sering tertawa-tawa tapi dari kejauhan, ia tidak lagi berani mendekati saya. Saya sendiri tak tahu apa yang ada di pikirannya. Mungkin saja dia bahagia karena meski tanpa dia culik atau paksa, orang-orang kini telah menganggap saya bagian dari ras Catlleya, bagian dari alien yang nota bene adalah bukan keluarga manusia. Keenakan sekali dia!
Tapi tentu hal itu tak membuat saya tenang. Biar bagaimanapun saya tidak memikirkan diri saya sendiri saja. Tak apa lah saya dianggap nyeleneh dan gila, yang penting, saya harus terus memikirkan cara terbaik untuk menyelamatkan umat manusia.

Sejujurnya, mengemban misi ini sangat melelahkan, karena para manusia itu kebanyakan tidak peka akan ancaman. Padahal setiap hari saya terus merasa khawatir dan tertekan. Di bumi, para alien itu terus saja merencanakan aneka strategi. Dari mulai merancang senjata nuklir yang paling mutakhir sebagai senjata jahat untuk memusnahkan ras manusia dalam sekali tempa, sampai dengan gagasan untuk menciptakan sistem supaya manusia dengan cepat melupakan kemanusiaannya dan bersegara untuk bersekutu dengan mereka. Dan kalian harus percaya, mereka kini sedang berusaha keras untuk mewujudkan semua itu.

Belakangan ini tanggung jawab saya menjadi lebih besar, kekhawatiran saya sekarang sebagian sudah terbuktikan. Di bumi ini kini tengah terjadi perang besar! Manusia sekarang sudah pada dirampok rasio dan nuraninya. Meski wujudnya masih tetap manusia, tapi mereka telah kehilangan kesadaran akan kemanusiaannya. Kekuatan alien kini telah mulai mengambil alih dirinya.

Oleh sebab itu, entah sampai kapan saya akan terus begini. Meski banyak diketawakan, saya akan tetap menjadi jagoan dan pahlawan, menjaga ras manusia dari penculikan oleh mahluk luar angkasa. Oh ya, adakah yang berminat menemani saya menjadi relawan untuk menjaga kemanusiaan? Caranya mudah, cuma berusahalah untuk terus memakai akal dan nurani saja****




Dimuat dalam antologi cerpen: Yang Dibalut Lumut
____________________
Untuk mereka yang di luar sana...
see you there


Monday, July 19, 2004

cerita mini: Sore yang mini...

mini
mini
mini
mini

sore ini rasanya pendek sekali

Cerpen: Wanita Yang Bersayap...

Memang, aku adalah wanita. Tapi aku bersayap. Sayap-sayapku kugunakan untuk berbagai kebutuhan. Ada yang dapat memanjakanku dengan kasih sayang, ada juga yang melindungiku dengan rasa aman.

Bulu di sayapku begitu halus, hingga siapa saja yang tersentuh olehnya akan merasa begitu berbahagia. Siapa saja yang terserap padanya, akan merasa begitu nyaman dan terberkati.

Bertahun aku mempelajari cara-cara untuk menghaluskannya dan membuatnya menawan, putih disukai banyak orang. Dan kini telah bertahun pula aku menikmati hasilnya. Dengan sayap-sayap itu aku bisa terbang ke manapun. Dengan sayap-sayap itu aku bisa mewujudkan mimpi apapun. Karena sayap itu juga adalah seluruh tubuhku. Tanganku bersayap, kakiku bersayap, mulutku bersayap. Dan bahkan telinga, leher, mata, payudara, tubuh serta otakku kesemuanya juga bersayap. Dan ingat, semuanya halus dan lembut.

Tapi semalam seorang peri mendatangiku dan mengabarkan bahwa sayapku akan berguguran bila aku tidak dapat memberikan seorang anak malaikat padanya.

“Untuk apa?� Ketika kutanya, peri itu menangis. Tangisannya membuat batu-batu pecah dan langit yang tenang menjadi marah.

“Tak bisakah hanya lakukan saja tanpa harus tahu sebabnya?� Peri itu berkata lirih.

“Bila kau memang menginginkan demikian, baiklah! Tapi aku hanya ingin tahu, mengapa kau memilih aku?� sergahku ingin tahu.

“Karena memang hanya kaulah yang mampu berdekatan dengan malaikat itu. Selain mu, semuanya hina. Karena hanya kaulah satu-satunya pemilik sayap itu. Dalam dekapmu, apapun bahkan kemarahan, akan berubah menjadi sesal.�

“Bagaimana aku dapat menemukan malaikat itu untuk kemudian kuambil anaknya agar bisa kuberikan padamu?�

“Tak usah kau cari! Dalam garis tanganmu kau ditakdirkan akan ditemui olehnya. Engkau seorang utusan, Malaikat juga demikian. Engkau utusan bumi, malaikat itu utusan kehidupan. Kenalilah dari nyanyiannya! Jangan keliru, dia hanya bernyanyi pada tengah malam yang disemai gerimis dan bintang-bintang.�

“Bila aku tak berhasil mendapatkan anaknya?�

“Semua bulu disayapmu akan berguguran. Kau tak akan lagi disukai banyak orang. yang telah memberimu, pasti akan datang berbondong-bondong meminta kembali apa yang telah mereka berikan. Yang telah menyayangimu, akan meminta kau memberikan imbalan untuk rasa sayang yang secara cuma-cuma dahulu mereka berikan. Dan kau hanya akan menjadi semak belukar kembali.� Aku terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa peri itu tahu tentang siapa aku yang sebenarnya, diriku yang sebetulnya.

“Siapakah Kau sesungguhnya?� Tanyaku.

“Aku adalah kamu� Peri itu menatap langsung ke mataku. Saat aku balik menatap pada matanya, peri itu tiba-tiba lenyap. Yang tinggal hanya kelengangan yang memukul-mukul seluruh bayang malam.

******

Sebelum menjadi wanita, aku memang hanya rumput biasa. Belukar! Begitulah, seperti yang disebut oleh peri itu. Sampai aku bertemu dengan seorang perempuan tua yang kupikir pastilah baik, karena biasanya begitulah manusia kalau sudah tua. Sedikitpun aku tak mengira kalau perempuan tua itu adalah germo!

Banyak perempuan muda yang cantik-cantik, yang lumayan-lumayan, yang biasa-biasa, menjadi penghuni rumahnya. Dan katanya, “Kau pun akan menjadi seperti mereka, akan menjadi cantik! Akan menjadi milikku! Sampai suatu ketika kau mampu membayar harga dari jasa-jasaku�

Begitulah, lalu tiba-tiba aku menjelma menjadi seorang wanita. Aku terheran-heran! Ketika perempuan itu selesai mendandaniku dan mempersilahkanku bercermin untuk pertamakalinya, aku tak mengenali bayangan dalam cermin itu. Tetapi, “Itulah kamu sekarang, Salima!� Dan aku terbengong-bengong dibuatnya.

“Bayarlah harga dari jasaku, dan lalu kau bebas memiliki dirimu. Tapi jangan lupa! Kau harus terus memelihara tubuhmu. Sebab dari sana akan muncul sebuah sayap yang bisa menjaring semua lelaki yang kau inginkan serta semua apa yang kau maui dari kaum Adam� Begitulah katanya.

Maka sejak itu, jadilah aku seorang penghibur berharga mahal. Meski aku adalah pelacur dan status pekerjaanku dianggap banyak orang sebagai hina, namun tiada seorangpun yang berani menghinaku. Aku terlalu mewah untuk dijadikan barang hinaan.

Aku kemudian masuk dalam kehidupan orang-orang terpelajar, para dekan dan aneka rektor. Aku hinggap dan terbang dalam pergaulan bangsawan. Aku juga berhenti dan berlari dari satu pelukan menteri ke pelukan menteri lainnya. Dan yang lebih penting, aku adalah wanita terhormat! Dan hanya dalam empat kali kencan dengan para duta besar aku dianggap telah mampu membayar utang jasa pada perempuan tua yang menemukanku.

“Carilah sarang yang indah dan menetaplah disana! Dan selalu, aku turut berbahagia untukmu.�

Kurasa perempuan tua itu telah jatuh cinta pada ciptaannya sendiri; aku! Perlakuannya padaku berbeda dengan perlakuan pada kebanyakan perempuan yang tinggal di rumah itu.

“Aku menyayangimu. Aku ingin melihat keberhasilanmu� Katanya. Dia melepasku begitu mudah.

Kemudian Aku banyak membaca buku-buku ilmiah. Aku hanya mau menerima laki-laki yang aku inginkan dan menolak yang kurang ajar. Aku juga mulai belajar berdagang dan memanfaatkan setiap hubungan untuk lebih memperbesar dagangku. Ku ambil banyak uang dari lelaki yang kurang ajar pada isteri dan tak minta bayaran pada lelaki yang kesepian dan sopan. Kulakukan itu semua sampai peri itu menyapa, sampai keinginan itu tiba, teramat menggebu, teramat membara.

Aku menginginkan seorang lelaki yang tetap! Tetap mencintaiku, tetap mampu melindungiku, tetap berkenan memberikan rasa aman. Dari kesemuanya, yang paling aku inginkan adalah seorang lelaki yang mampu memberiku keturunan, yang mempercayaiku untuk menjadi Ibu dari anak-anaknya.

Dan aku tak harus menunggu lama, bulu di sayapku yang halus mulus telah berhasil memberikan apa yang aku inginkan. Aku telah mampu menjaring seorang lelaki tetap! Lelaki dengan nama tengah kebaikan itu benar-benar terjerat dan tidak bisa lepas dariku.

“Aku ingin menikahimu,� katanya setelah kami melakukan suatu hubungan badan. Dan kemudian dia benar-benar mewujudkan kata-katanya dalam kenyataan. Oh alah, akhirnya aku menikah!

“Dan tak lama lagi nyonya akan mempunyai seorang anak,� Begitu ucap dokter pada suatu senja, suatu saat ketika pernikahanku telah berjalan tiga bulan lewat. Kabar gembira yang membuncahkan!

Tetapi malam ini aku betul-betul terkejut! Nyanyian itu!

Ya, lamat-lamat aku mendengar sebuah nyanyian sepi yang dimelodikan sinar rembulan dan ditarikan oleh binar bintang-bintang. Tapi anehnya, meskipun di langit bintang berkerlip, tapi lihat! Gerimis tetap terserak berjatuhan ke pangkuan alam. Namun bukan itu bagian yang paling mendebarkan. Bagiku, yang membuat aku sangat bergetar adalah saat aku sadar dan tahu dengan pasti bahwa waktu saat itu tepat berada di tengah malam.

Ku cari sumber nyanyi itu, dan ternyata asalnya dari kamar mandi dalam rumah. Dan bukankah yang di kamar mandi itu adalah suamiku? Lelaki dengan nama tengah kebaikan?

Tidak, ku harap bukan!

Suamiku pastilah bukan malaikat yang dimaksud oleh peri yang mendatangiku tiga bulan yang lalu. Tetapi sungguh, sesuatu terngiang dengan jelas di telingaku.

“Kenalilah dari nyanyiannya! Jangan keliru! Dia hanya bernyanyi pada tengah malam yang disemai gerimis dan bintang-bintang.� Dan suamiku… Ia tak pernah menyanyi selama ini! Satu noktah nada pun tak pernah keluar dari bibirnya sebelumnya.

******

Tujuh bulan kemudian peri itu benar-benar datang. Hanya sehari setelah aku melahirkan.

“Aku ingin kau memberikan anak malaikat itu padaku, sesuai janjimu dulu!� ucapnya.

“Aku tak akan memberikannya. Dia anakku!� Ucapku tegas.

“Sudahlah! Segeralah berikan padaku! Karena bila tidak, aku akan mati! Lagi pula, bukankah kau tak ingin menjadi belukar kembali?� Peri itu mengangsurkan tangannya pada bayi yang tergolek di sampingku.

“Jangan pernah bermimpi! Bayi ini tidak akan ku berikan!!� Aku mendekatkan bayi ku pada dekapan dan lantas memeluk bayi perempuanku erat-erat, namun peri itu juga menariknya kuat-kuat.

“Jangan berikan perlawanan.� Ku dengar peri itu berbisik tegas tapi pelan seolah sedang berusaha menekanku, namun aku tidak memperdulikan. Dengan kedua tangan kutarik bayiku, mencoba menghentakkan kedua sayap dan tangan peri tersebut dari pelukan. Tapi tiba-tiba tanganku tersulur begitu saja di kasur. Warna kulitku yang putih berubah menjadi coklat. Dan pergelanganku! Ya Tuhan! Telah berubah menjadi batang!

Aku menjerit. Tapi suaraku tak ku dengar. Badanku terasa ringan. Saat ku lihat, tubuhku telah rimbun dengan dedaunan. Rambutku yang dulu selalu tergerai menawan, sepertinya juga telah berubah menjadi pokok-pokok belukar.

Dan peri itu?

Ia telah pergi! Terbang ke suatu arah tanpa bayang pagi, entah kapan akan kembali.***




Pernah dimuat di sinar pagi, Maret 1999