Thursday, September 02, 2004

Cerpen: KIsah Tentang Seorang Perempuan Yang Bertemu Roh Semalam

Kisah Tentang Seorang Perempuan
Yang Bertemu Roh, Semalam




Dihentikannya ketuk keras jemari pada tuts keyboard komputernya, hari menjelang malam, jam berdetik, jarum kecilnya menunjuk angka, mengunjuk suatu tanda. Perempuan itu tahu ia harus pergi, pada seorang teman barunya di ujung cakrawala maya, sebuah puisi dia tulis, berjanji bahwa besok ia akan berkirim kabar lagi.

See Ya!

malam telah merayap,
jam dinding, genting, nyala di kereta, semuanya perlahan menghitam
untuk suatu titik, kelak menyenyap.....

takutkah kau akan gelap?
Ku sarankan jangan
berdansalah dengan khayalan
temani dan mainlah dengan gulita keterasingan.

Disini pekat,
hitamnya mulai lekat.
Seperti bayang, aku harus segera bersijingkat

selamat malam,
ku tunggu selalu e-mail mu dengan penuh kerinduan... :-)

Begitu tulis sang perempuan. Ia berkemas, pinsilnya dimasukkan ke keranjang, bukunya dilemparkan ke pekarangan. Dan perempuan itu benar-benar terbang, melalui sebuah kabel ia pergi kesana; sebuah alam dimana roh berkeliaran. Sebuah undangan baru saja ia dengar: Ada suatu pertunjukkan, dimana para roh akan memutar-balikkan keadaan, mencandai tubuh manusia dengan ledekan-ledekan.

Dengan kakinya yang berbetis besar, perempuan itu melangkahkan kakinya. Agak pegal, belakangan memang ia sering sakit-sakitan. Bukan hanya tenggorokannya saja yang sering terasa gatal, kering dan kesakitan, tapi kepalanya juga sering terasa pecah, saat sakitnya sampai membuncah, ia hanya menangis sendirian. Tidak pernah lagi ia berani memanggil seseorang atau meminta temannya untuk datang. Ia telah memilih jalan itu! Lebih baik hidup menanggung kesepian daripada nyaman dan menyenangkan namun berada dalam dunia kebohongan. Perempuan itu sudah tidak bisa berpura-pura lagi, ia juga sudah tidak mampu menerima kepura-puraan. Itulah mengapa ia sekarang banyak menanggung kesakitan, suatu siksaan kesepian yang panjang, tak sembarang orang bisa menghadapinya dengan mudah, namun entah kenapa ia justru merasa nyaman.

Malam itu ia begitu gembira, bukan karena ia senang akan pertunjukkan itu, tapi ia merasa ia akan melihat dirinya lagi. Bertemu dengan dirinya yang dulu! Penuh kegilaan dan tak pernah berhenti dari tawa riang.

Dulu Ia dikenal sebagai penyendiri gila oleh kawan-kawannya. ?Aneh!? begitu mereka menjuluki segala tingkahnya. Menangis dalam pesta pernikahan, membuat puisi dan bicara sendiri saat orang berpesta di keramaian. Saat sedang sendiri, ia kerap membuat kapal-kapalan, dari kertas, kemudian membentuknya tuntas, dilabuhkan diatas sungai dan mencipratinya dengan air lalu melempari kapal buatannya dengan batuan dan kayu-kayuan.

Dulu ia selalu bahagia kalau hujan datang, ia akan menyediakan dirinya dijatuhi buliran, walaupun setelahnya ia akan demam. Perempuan itu merasa, hujan adalah sesuatu yang sendu yang turun ke dunia dengan misi tertentu. Tapi belakangan, ketika ia mulai agak besar, ia menganggap hujan adalah air seni para dewa. Saat dewa di angkasa berpesta, menjatuhkan minuman dari cawan, airnya akan jatuh ke bumi. Demikian juga bila para dewa itu muntah atau pipis atau mengeluarkan cairan apa saja, maka segalanya akan meruah tumpah ke tanah, tempat dimana manusia berusaha dan menghirup udara. Itulah mengapa ia segan kalau Ibunya menadah hujan, menjadikan air itu untuk direbus lalu dimasukkan ke kendi sebagai minuman. Pernah Ibunya bertanya mengapa ia menolak minum dari air hujan, perempuan yang dulu adalah gadis kecil itu hanya bilang, "Dari pada angkasa aku lebih memilih sesuatu yang muncul dari arah bawah, dunia antah berantah". Entah mengerti atau justru merasa aneh, Ibunya tidak pernah mempertanyakan lagi mengapa. Perempuan yang disayanginya itu hanya membiarkannya melakukan apa saja, sekali-kali, tentu Ibunya menegurnya.

Namun ketika dewasa ia bertemu mukjizat, sesuatu yang dikenalnya sebagai batu. Didapat dari sebuah tempat, jaraknya lebih jauh dari timbuktu lebih dekat dari kutub yang tak memiliki orientasi waktu. Ia ingat, sebelum bertemu dengan mukjizat dulu ia adalah seorang yang ceria. Seorang yang angkuh dan bangga, perempuan mentah yang tahunya hanya hidup yang lurus dan dunia manusia normal yang linear. Dia tak pernah berpikir bahwa mukjizat ternyata tidak hanya mampu merubah yang jahat menjadi baik, tapi kekuatannya ternyata juga mampu mengutuk sebongkah kuncup mawar menjadi seekor bangkai. Perempuan itu melayu. Kehidupannya yang dulu rekah, pelan-pelan memadam. Dirinya yang dulu lembut, perlahan menjadi kasar. Dari tubuhnya keluar aneka binatang, tidak dapat dikontrol, membuatnya tak lagi punya malu dan tak lagi memiliki kekuatan. Tapi akhirnya ia mengerti, sesuatu berhasil ia dapatkan. Tak pernah seseorang menjadi arif tanpa tahu kebejatan, tak pernah seseorang memiliki karakter yang betul-betul berbadai tanpa pernah bersentuhan dengan keramahan dan hembusan sepoi kelembutan.

Tapi malam ini adalah penyucian! Perempuan itu tahu ia akan bertemu roh malam itu. Mungkin mereka akan melayang, mungkin juga mereka akan menjauh darinya dan hilang merubah bentuk tanpa bisa dilacak, atau siapa tahu roh-roh itu akan melesap, langsung menyesap pada dirinya atau menempel pada tubuh-tubuh orang yang saling berdesak. Ya! Malam itu semuanya ingin menyaksikan pentas itu; sebuah lakon tentang arwah-arwah yang ternodai dan arwah suci.

Diatas pentas sang perempuan menyaksikan arwah itu bergerombolan, tidak memakai baju hitam melainkan putih dan warna merah! Mereka juga senang warna yang meriah! Ada biru, kuning dan abu-abu. Arwah-arwah itu sepertinya masih muda, kayaknya mereka belum kenal dosa. Seperti Harry Potter-nya J.K. Rawling dan Sophie-nya Jostein Gaarder, mereka melakukan banyak percobaan dan ketika gagal, tiada yang disesali kecuali hanya tertawa terpingkal-pingkal.

Ketika tiba waktunya memilih roh yang diinginkan, bersama orang-orang, perempuan itu ikut berdesak maju ke depan! Memilih satu roh yang menurutnya pastilah sakral!

Roh kelabu yang dipilihnya memang datang, menyocokkan diri pada tubuh sang perempuan, memandang pada wajahnya sebentar. Ketika roh itu meludah dan melesat pergi menolak menyatukan diri dan malah menjauh darinya, perempuan itu tidak bisa menangis. Ia tidak berusaha menggapai atau membujuk si roh untuk kembali pulang. Perempuan itu hanya diam, Ia sadar; Bahkan roh-pun, mendekat padanya kini enggan!

Malam berlalu, pagi menjelang. Sang perempuan menatap ufuk yang kemerahan,
?Masa lalu tak pernah kembali, tak lagi bisa digapai tak mungkin bisa dipaksakan untuk selalu digenggam? Begitu ucapnya pada angin barat yang iseng lewat. Perempuan itu Bangkit, ditepuk-tepuknya rok panjang hitam yang dikenakannya. Ia tersenyum, sebelum beranjak, ia taruh sesuatu pada kepalanya, mengemas segala kenangan hanya dalam bingkai ingatan. Ketika cahaya mulai benderang, perempuan itu mulai menyusur jalan***