Saturday, July 16, 2005

O R I G I N S

O r i g i n s
Cerpen Ucu Agustin


Kisah ini telah kutitipkan pada batu, telah kubisikkan pada nyala lampu. Dan aku hampir saja lupa cerita kalau kau tidak mengajakku menatap larik langit pada senja menjelang petang, sesaat setelah hujan.

Tak ada pelangi, ucapmu. Dan kubilang, Helios tugasnya telah usai. Sebentar lagi malam. Matahari di genggamannya telah ia pindahkan dari jantung langit di atas kita, dia sematkan lagi pada pojokan lain sisi langit di seberang bumi tempat kita berada. Wajar bila warna warni seusai hujan itu tak kelihatan.

Tapi kau ngotot, menurutmu pelangi adalah pemberian dari Yahweh untuk Musa. Diberikan sebagai hadiah saat Sang Nabi berhasil melalui beberapa ujian penuh kepedihan. Yahweh ingin menghibur manusia terpilihnya. Ia gantungkan warna ceria di atas langit. Bila Musa dan umatnya bersedih, mereka bisa langsung bertengadah dan tahu, bahwa akan ada suka cita selepas segala lara. Aku tersenyum mendengar dalihmu. Mirip argumen orang gereja waktu terhina atas dalil Galileo. Bumi itu bulat tidak datar. Pelangi itu muncul karena hukum alam. Hadir bila zat cair tertimpa spectrum cahaya di udara?

Tapi kau ngotot dan aku cuma tertawa.

Lantas kita berdalih tentang lebih banyak hal lagi. Dan kau pun bertanya tentang langit dan pendapatku. Tentang apakah hanya kita saja mahluk cerdas yang mendiami galaksi ini. Tentang mengapa bintang begitu banyak. Benarkah blackhole melahap setiap cahaya dari semua bintang yang berada atau melintas di dekatnya?

?Apakah Ibu punya pengalaman pribadi tentang segala sesuatu yang berbau luar angkasa?? Wajahnya menatapku penasaran. Dan aku menemukan Origins di mata itu.

Oh, Origins ...

Maka kuceritakan padanya tentang kita. Dan dia menganggakan mulutnya sepanjang aku bercerita?

* * *


Ketika malam menyemak dan yang tersisa tinggal lelah yang mengurap, aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka: Origins. Penghuni Jupiter.

Waktu itu ia bertengger di atas pohon kelapa. Dulu, luar pagar rumahku memang rimbun dengan pepohonan besar-besar. Aneh juga bagaimana sampai bisa tumbuh pohon kelapa menjulang di antaranya.

Aku menyaksikannya dari teras beranda. Awalnya aku tak percaya. Tapi benar, dia terbang. Mendatangiku tanpa sayap. Lantas menghujaniku dengan senyumnya yang senyap.

Tidak! Tentu saja tidak!

Kepalanya tidak bundar seperti mahluk E.T yang dibuat Steven Spielbergh dalam filmnya. Tangannya tidak panjang seperti bentuk tubuh alien yang ada di Film X-File atau mahluk asing luar angkasa di film The Sign yang dikreasi oleh sutradara Hollywood berdarah India, Night Shamalan. Tidak, ia tidak memiliki bentuk tubuh alien yang biasa dipersepsikan orang kebanyakan.

Dia sepertinya juga bukan berasal dari ras alien Lyra. Dan dari jenis kulit serta besar badannya, sepertinya dia juga bukanlah sejenis alien yang berasal dari ras Vega. Tidak! Selain tubuhnya yang lebih jangkung dari aku, dia sama seperti kita. Tangannya dua. Pelipisnya satu. Mulutnya satu. Berdagu. Dan yang jelas ia memiliki hidung dan dua buah biji mata. Tapi sungguh, dia mengaku tinggal di planet Jupiter dan pernah pergi ke surga...

Aku tertawa, lantas kutawarkan teh hangat dan kuajak dia bercakap di beranda. Tapi ia memintaku menatap ke arah atap. Dan tiba-tiba kami telah begitu saja berada di sana. ?Flop!? Begitu saja kami telah duduk berdua di antara suluran genting-genting. Disiram nuansa kelam malam. Saling tertawa seolah kami telah berteman sejak lama. Tak ada bintang di angkasa.

Menyambung pembicaraan sebelumnya, penasaran, kutanyakan di mana letak surga? Suatu hari bila memang lelaki yang berada di hadapanku tidak bercanda, aku ingin menelusuri jejak rutenya. Tak harus melalui agama tapi langsung saja dari berita yang dia bawa. Aku ingin mendapat petanya. Dan tentu saja kalau kabar tentang surga telah kudapat dan arah jalannya telah kutahu, kelak akan kusiapkan segala perlengkapannya. Dalam benakku saat itu, aku membayangkan menjelma jadi tokoh jagoan. Seperti seorang lelaki yang kepalanya dilengkapi aksesori topi cowboy, menjelajah mencari harta karun, di sebuah film tentang sebuah dunia yang hilang.

Bila harta karun bisa diburu melalui petunjuk peta, mengapa bagi surga tidak berlaku hal yang sama? Aku ingin tahu bagaimana rasanya jadi penghuni surga, indahkah? Bagaimana rupa bidadari? Apakah juga tersisa bagiku bidadari lelaki yang perkasa? Lembut jenaka dan mampu membuat aku selalu tertawa? Aku ingin terpingkal, tetapi langsung tersadar. Suatu tengat di antara terlena dan jaga yang jarang aku punya.

Namun dalam luapan keingin-tahuanku yang besar, dia menyentuh tanganku. Berbisik lembut di telingaku. Katanya, di surga sama saja. Meski indah tapi semuanya terlalu mudah. Aku menghela nafas, dia rupanya tak suka kehidupan yang teramat menyenangkan. Dia salah satu penghuni galaksi yang juga butuh penderitaan.

Dalam hitungan menit aku merasa menjadi begitu dekat dengannya. Aku merasa mendapat teman. Dalam berbagai cara, entah mengapa aku selalu berpikiran sama. Kebahagiaan sepertinya bukanlah teman yang selalu menyenangkan. Aku butuh hidangan lain, sebuah menu yang lengkap dengan makanan bernama sup penderitaan.

Dan kami pun lantas menjadi demikian akrab. Aku merebahkan kepala di pundaknya dan dia menatap langit yang tak kelihatan. Dia juga bercerita tentang perasaannya. Hal yang membuatnya datang jauh-jauh dari luar galaksi.

Ada sebuah kegelisahan, akunya. Telah bersemayam lama di benaknya.

Ia bertanya tentang benarkah manusia merasa hanya umatnya saja mahluk paling cerdas di semesta? Untuk apakah sebenarnya para ilmuwan berusaha mencari bentuk kehidupan cerdas di luar bumi? Untuk berkompetisi? Dipelajari? Atau hanya sekedar ingin tahu bahwa penghuni semesta bukan manusia sendiri? Apa yang akan dilakukan bila mahluk-mahluk asing itu benar-benar ada? Bagaimana kalau pencarian mereka hanya sia-sia semata?

Aku terdiam, itu pertanyaan terjanggal yang pernah kudengar. Mengingatkanku pada sebuah berita di Koran. Dalam setahun, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika (NASA) bisa menghabiskan dana yang bisa digunakan untuk memberi makan seluruh rakyat somalia yang kelaparan. Proyek pengembangan interferometer infra merah. Alasannya, teleskop tradisional dan teleskop angkasa Huble belum dapat membantu pencarian mahluk Extra Terrestrial. Cahaya bintang-bintang menghalangi planet-planet yang mengorbit di dekat bintang-bintang tersebut. Bagaimana kalau pencarian mereka hanya sia-sia semata?

Lelaki itu menatapku, aku berbalik menatapnya, ?Bagaimana menurutmu??

Lelaki di hadapanku tak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan kanannya ke arah tanganku. Memegangnya lama dan tiba-tiba mengangkat tangan kami yang berjalinan kearah angkasa.

?Jentikkan tangan kirimu,? perintahnya.

Aku mengernyitkan dahiku bingung tapi tak urung kulakukan apa yang dimintanya. Saat bunyi jentik jariku usai, suatu benda yang begitu besar tiba-tiba kulihat menggantung melayang. Mengambang tak jauh dari genting-genting rumah tetanggaku yang berdempetan. Benda itu bercahaya, berbentuk segitiga. Lampu-lampu sorot berukuran besar yang sebelumnya belum pernah kulihat, seperti mendelik mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Sama sekali tak terdengar bunyi deru mesin meski pesawat itu terlihat ?menyala?. Seseorang pasti mengoperasikannya di dalam sana.

Aku kesilauan. Tangan kiriku kunaikkan di atas pelipis. Melindungi mata. Tangan kananku masih erat dalam genggaman lelaki yang baru kukenal dalam hitungan jam.


* * *


Bisakah kau terima kenyataan itu?
Awalnya aku sendiri tak mampu. Tapi harus bilang bagaimana lagi?
Aku diperkosa Alien!
Dan kau adalah manusia hybrid, hasil persilangan hubungan itu.

Kau bukan sekedar mengangga saat rahasia itu akhirnya kubuka. Kau tak mampu berkata-kata! Mulutmu kau katupkan dan suara nafas berat terdengar menghembus lama? Berkali-kali. Berkali-kali?.

?Teruskan Bu?? Ucapmu akhirnya. Lemas. Tapi kutahu pikiranmu mulai bertanya-tanya, apakah ceritaku nyata ataukah cuma karangan belaka. Kutahu Kau setengah tak percaya.

Origins dari Jupiter, mengaku tersesat. Ia dan pesawatnya terdorong oleh distorsi medan gravitasi. Telah berusaha mengubah graviasi menjadi energi yang bisa digunakannya untuk kembali terbang pulang. Tapi ia butuh waktu untuk tinggal sementara. Sembari memperbaiki pesawatnya yang rusak, ia coba mengakrabi bumi. Akulah manusia perempuan pertama yang dilihatnya.

Kau mulai tersenyum mendengar bagian itu. Terdengar seperti kisah-kisah sains fiction di TV, ya? Dan kau terus saja tersenyum saat kubilang kalau Origins, seperti juga mahluk luar angkasa lainnya hanya menggunakan tubuh manusia sebagai stasiun saja. Tempat singgah untuk sementara. Aku tak mengenal Ayahmu, sesungguhnya?

Ya, aku hanya bertemu dengan Origins sekali saja. Dan malam setelah aku menjentikkan jari tangan, kami memasuki pesawat miliknya. Begitu luas. Begitu menyenangkan. Begitu terang. Dan kami berciuman. Terus berciuman? Aku tak sadar apalagi yang seterusnya kami lakukan. Aku hanya tahu, bahwa Mang Dimin, pembantu di rumah kakekmu, Ayahku, berteriak begitu ribut. Mengabari kalau dia telah menemukanku.

Aku hilang dua hari dua malam? Hari masih pagi saat aku ditemukan. Aku terbaring di atas genting.

Lantas aku hamil. Kakekmu menjadi begitu ribut. Setiap hari menanyaiku siapa bapak dari janinku. Dan aku hanya bisa menunjuk angkasa. Tentu saja seperti kau, ia juga tak percaya. Nenekmu berhenti bicara padaku, tapi berkali-kali kubilang kalau aku tak pernah berzinah. Maksiatkah hukumnya bila bersetubuh dengan mahluk angkasa luar? Lagi pula aku tak sadar bagaimana cara terjadinya?

Lalu berita itu kubaca. Tertulis, kebanyakan planet ekstrasolar berada terlalu dekat atau terlalu jauh dari bintang induknya. Sehingga suhunya terlalu panas atau terlalu dingin. Dan menurut anggapan para ilmuwan, kondisi itu tidak membuka peluang bagi adanya kehidupan. Itulah salah satu alasan dari dugaan mengapa selama ini para pemburu kehidupan mahluk angkasa luar belum menemukan kontak dengan kehidupan di luar sana. Namun hal itu tidak berlaku pada planet-planet yang terletak dalam habitable zone dari pusat tata surya. Sebagaimana bumi kita, planet-planet itu memiliki temperatur yang memungkinkan adanya air dalam bentuk cair. Memungkinkan adanya kehidupan. Dan dilaporkan, sedikitnya SETI** menerima enam pesan suara dari angkasa luar dalam lima belas tahun terakhir.***

Tentu saja aku senang membaca berita itu. Berharap salah satu pesan suara itu adalah dari Origins, untuk kita.

Sejak saat itu, setiap malam aku menatap langit, mencari Jupiter dan tahu kalau ayahmu bisa memandang kita dan mengawasimu dari atas sana? Melihatmu bertambah besar setiap harinya.

Dan kau memang luar biasa. Tak henti bikin aku kagum sekaligus heran. Kau memiliki indra ke-enam. Kau bisa menyembuhkan orang. Dan kau hanya senyum-senyum saja saat kebenaran aku ceritakan. Apa yang terjadi denganmu? Sungguhkah pada akhirnya kau bisa begitu tenang menerima kenyataan tentang Ayahmu? Tentang siapa sebenarnya dirimu?

Nak, Kau adalah Manusia hybrid?

?Sudahlah Bu, hari telah malam. Ayo kita masuk ke dalam rumah, sekarang.? Kau menuntunku. Aku tersenyum haru. Aku takjub melihat kedewasaanmu.

Namun di ujung koridor menuju pintu, kau tiba-tiba menghentikan langkahmu. Mengucap hal yang tak kuduga akan keluar dari mulutmu, ?Aku menghargaimu, Ibu. Bila kau ingin menyimpan sendiri rahasia tentang Ayah, aku tak keberatan. Sejak saat ini, aku tak akan pernah bertanya apa-apa lagi tentangnya?? Dan kulihat tatapan duka di matamu. Seperti tatapan duka mata Origins saat ia bercerita tentang kegelisahannya.

Ah Nak, kau tak percaya padaku?***


_______________________
Catatan:

*Origins adalah nama sebuah program Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) untuk sebuah teleskop yang dibuat dengan memakai sistem interferometer. Sistem dengan gelombang radio, infra merah dan optikal yang dikumpulkan oleh sekolompok teleskop kombinasi terpisah dan terjalin. Diproses komputer untuk mendapatkan rincian citra sumber gelombang. Karena ukurannya yang besar, teleskop ini dirakit di luar angkasa dan disebarkan ke sekitar planet Jupiter yang berjarak 733 kilometer dari matahari.

** Search for Extra Terrsetrial Inteligen. Berbasis di California.

*** Dengan bantuan superkomputer, teleskop radio bisa sekaligus merekam jutaan sinyal pada jutaan saluran penangkap gelombang yang ada. Proyek pencarian peradaban angkasa luar ini digagas SETI dengan menyebarkan teleskop untuk menangkap gelombang radio. Daerah sebaran, dari observatorium di gurun Mojave, California, hingga laut basah Puerto Rico. Sekitar dua milyar saluran siap menampung gelombangberfrekuensi antara 1.000 megahertz. Sementara komputer akan mencari 15 juta saluran tiap detik untuk mencari sinyal-sinyal inteligen.

(sumber diambil dari Majalah Info UFO dan mailing list BETA-UFO)

Anak Yang Ber-Rahasia

Anak Yang Ber-Rahasia
Cerpen Ucu Agustin
Tahukah kau apa yang dilakukan orang-orang zaman dulu saat memiliki rahasia tapi enggan membaginya dengan orang lain, sementara ia sangat butuh untuk bercerita?

Ia akan pergi ke hutan. Mencari batang pepohonan tertua dan lantas memilih salah satu di antaranya. Melubangi batang pohon itu dan membisikkan rahasia terdalamnya pada lubang di tubuh sang pohon. Dan ia akan menutup lubang di pohon tersebut dengan lumpur atau sebangsa tanah basah lainnya. Menunggu hingga tanah itu kering, menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembus nafasnya.

Rahasianya telah aman bersama sang pohon
...
[1]

Dan pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Massimo kecil saat mendengar hal tersebut dari kakeknya.

Akan dibutuhkan berapa banyak pohonkah untuk mampu menampung seluruh rahasia manusia bila mereka semuanya begitu ber-rahasia dan tak mau membaginya dengan orang lain? Apa yang akan terjadi bila suatu hari pohon itu mati, tumbang karena badai atau terpaksa ditebas karena pohonnya menghalangi jalan atau akan dijadikan papan untuk rumah, dibuat boneka kayu, dijadikan kursi atau perkakas rumah tangga lainnya? Akankah rahasia itu mati bersama sang pohon? Ataukah rahasia itu tetap menempel di pohon tersebut dan bersemayam di situ selamanya? Bersemayam dalam daging pohon itu selama ia masih memiliki wujud, tak perduli apapun bentuknya?

Pertanyaan itu tak pernah dilontarkan Massimo kepada kakeknya. Pertanyaan itu juga tak pernah dikeluarkan Massimo dari benaknya. Pertanyaan itu hanya disimpan Massino dalam kepalanya. Seperti ribuan bahkan jutaan pertanyaan lain yang terus bertambah dan menjadi iring-iringan yang semakin panjang di kepala Massimo. Pertanyaan-pertanyaan yang terus membuat barisan dan berpawai mengitari seluruh membran sel otak di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang ia coba cari sendiri jawabannya. Pertanyaan yang kelak ketika Massimo benar-benar tahu arti jatuh cinta, membuatnya bisa menulis pesan ini untuk Juliana.

Aku pergi, Mom.
Tapi aku tetap tinggal bersamamu.
Janganlah heran, bila suatu saat kau mendengar suara seumpama bisik yang datang dari rak bukumu atau dari lantai kayu di rumah kita. Siapa tahu itu adalah suara dari rahasia seseorang yang sama sekali tak kau kenal. Dan janganlah pula kau terkejut bila suatu hari kau mendengar isak seumpama tangisku atau gumam lirih seumpama gumamku, datang dari salah satu sudut meja atau kursi di rumah kita. Bukan pendengaranmu yang salah Mom, tapi mungkin saja itu sebuah kebetulan yang sempurna.

Aku tidak pernah menceritakan ini padamu, Mom. Juga tidak cerita-cerita yang lainnya. Sejak kanak kau menyebutku anak yang ber-rahasia. Dan sebutanmu itu menempel di kepalaku. Mengoperasikan kerja perilakuku, menjadikanku benar-benar diam dan yakin kalau aku adalah seorang anak yang ditakdirkan untuk selalu menyimpan segala cerita dan rahasia, seorang diri.

Aku memang memiliki banyak rahasia. Dan aku tak membaginya dengan mahluk yang bisa bicara. Mereka tak bisa dipercaya. Aku membaginya dengan tumbuhan. Karena mereka hanya berteman angina. Angin tak memiliki kota tempat menetap. Mereka hanya memiliki tempat lahir tapi tidak tempat tinggal. Semua cerita yang dikisahkan tumbuhan hanya akan didengar sekilas oleh mereka. Dan mereka, para angin itu, akan mendengar begitu banyak cerita, tapi semua hanya sekilas semata. Aku tak keberatan, bila rahasiaku terbagi sekilas dengan angin melalui perantaraan tumbuhan dan pohonan...

Maka Mom, inilah pengakuanku.

Pada suatu hari yang tak kau tahu. Suatu hari di masa kecilku, aku telah berbagi rahasia dengan cara yang diceritakan kakek. Cara yang telah dilupakan orang. Cara-cara lama seperti yang dilakukan orang-orang jaman dahulu. Membisikkan rahasia milikku pada lubang pohon di sebuah hutan yang kemudian kayunya, mungkin saja menjadi salah satu keping di lantai kayu rumah kita atau menjadi salah satu perkakas di sana. Maka setidaknya bila suatu hari kau mendengar sebuah suara yang semirip suaraku, pilihlah alasan yang kau suka. Katakanlah kau berhalusinasi. Sebutlah kau terhantui atau bahkan merasa mendengar bisik suara hantu yang menyerupai suaraku. Tapi aku hanya berharap, masukkanlah kisah yang tadi kuceritakan sebagai salah satu sebab kenapa suaraku bisa muncul di telingamu. Anggaplah kayu itu memantulkan suara rahasia-rahasiaku?

Aku tak bisa bercerita lebih banyak lagi Mom. Kau tahu aku akan selalu menjadi anakmu yang ber-rahasia. Bukan aku tak ingin membaginya dengan mu, tapi tak bisa. Tak bisa.

Aku telah menyimpan rahasia ini sejak berumur delapan tahun. Dan sepanjang sisa usiaku setelahnya, aku selalu ingin menceritakan rahasia ini padamu. Tapi tak mungkin. Tak bisa. Maka kuputuskan untuk pergi.

Ya, aku pergi Mom.
Tapi percayalah aku tetap tinggal bersamamu.

* * *

Rumah itu kini sepi. Tak ada lagi lelaki di sana. Robert memutuskan pergi saat perkawinannya dengan Juliana telah berjalan sebelas tahun. Massimo pergi dua bulan setelah ulang tahunnya yang ke dua puluh. Hanya dua perempuan itu yang kini menghuni rumah bertingkat tersebut. Juliana dan Euis. Juliana, perempuan campuran Palembang-Denmark berusia empat puluh dua tahun. Euis, Perempuan asal Cianjur yang menemani Juliana sejak Massimo pergi dua bulan yang lalu. Usianya baru enam belas.

Apakah kau memiliki rahasia? Seperti angin yang berhenti berhembus tanpa bilang kenapa atau seperti lebah yang merahasiakan pada putik bunga tentang makna dengungnya. Apakah yang kau rahasiakan? Sesuatu yang memalukankah? Atau sebuah tindakan yang bila orang lain mengetahuinya maka kau akan menjadi orang yang berbeda dalam pandangan mereka? Kenapa Massimo pergi? Apakah yang dirahasiakannya?

Perempuan berrambut coklat itu menatap photo di hadapannya. Massimo kecil memakai sweater tebal di tengah lapangan salju. Bersama sepupunya Peter dan Larissa, mereka tengah sibuk membuat boneka salju. Di belakangnya, Robert dan Juliana tengah berpelukan sambil tertawa. Liburan menjelang natal, Melbourne, tiga belas tahun silam.

?Massimo?,? Juliana menyebut nama anaknya, lirih. Jemari tangannya mengusap wajah lelaki kecil yang berada dalam bingkai photo.

Juliana bisa mengendus itu sebenarnya. Gadis-gadis yang tak pernah dibawa Massimo. Cara Massimo menatap teman-teman lelakinya. Cara berpakaian putranya. Kecenderungannya yang halus dalam berperilaku.

Ah, kenapa Massimo harus menutupi itu semua dariku? Kenapa Massimo menduga aku tak bisa menerima keberadannya? Dunia sudah terbuka Massimo, mengapa kau berpikir dunia ibumu begitu sempit?

* * *

Simpanlah rahasia tepat di bawah kulit arimu saja. Itu kalau kamu tak cukup kuat. Cara kerja rahasia yang tak mampu kadaluarsa, lebih dahsyat dari cara kerja hulu ledak rudal dalam menghentikan dan meledakkan hatimu. Maka jangan pernah sekalipun meletakkan atau menyimpan rahasia di dalam hati. Jangan! Hatimu akan koyak dan kau akan menjalani hidup seperti seorang yang hanya memiliki setengah hati saja.

Sore itu tak akan pernah bisa dilupakan Massimo. Ibunya sedang tidak di rumah. Kakek harus Check up. Kadar gula darahnya naik drastis. Massimo sedang memberi makan ikan molly di akurium kecil dalam kamarnya saat Ayahnya tiba-tiba muncul dan menariknya dari belakang. Massimo tertawa-tawa kesenangan. Robert memanggulnya di atas kepala dan melempar-lemparkan badan Massimo kecil di udara. Massimo berteriak girang. Kedua ayah beranak itu tertawa-tawa. Tapi saat jemari Ayahnya menggelitik tubuh kecil Massimo di atas kasur, ada tatapan aneh terlihat di mata Robert. Tatapan asing yang tak pernah Massimo kenal sebelumnya. Tatapan yang membuat Massimo yang waktu itu baru berusia delapan tahun dipaksa menyimpan ratusan rahasia di balik kulit arinya dan membuatnya membiasakan diri untuk memelihara jutaan pertanyaan di kepalanya. Pertanyaan yang tak pernah ia lontarkan keluar. Rahasia yang ia coba tahan supaya tak bisa menjebol hatinya. Rahasia yang sangat ingin ia ceritakan pada Juliana, Ibunya. Rahasia yang terus mengganggu tidur malamnya. Rahasia yang tak kunjung kadaluarsa tapi juga tidak bisa membusuk dalam ingatannya. Rahasia tentang Berpuluh-puluh adegan yang di dalamnya hanya ada ia dan ayahnya saja. Di atas kasur di kamar Massimo. Di dekat kamar mandi saat Massimo akan bersegera untuk pergi ke sekolah. Di rumah kakek saat Juliana sedang sibuk mengurus Ayahnya yang sakit. Tarikan tangan Robert yang keras dan kencang. Nafas ayahnya di leher belakang Massimo. Jeritan dan tangis kecilnya saat Sang Ayah menghentak keras di tubuh bagian belakangnya.

* * *

?Selama ini kamu menyimpannya sendiri?? Lelaki itu menatap Massimo. Dari kejauhan, laut di depan mereka terus membuat gumpalan air setinggi dua-tiga meter.

?Kini tidak lagi.? Massimo menatap ombak yang jauh di depan mereka. ?Aku tak berhasil menemukan pohon tempatku menitipkan rahasia dulu. Mungkin petir membuatnya tumbang. Tapi aku menemukanmu, dan rahasia itu telah kubagi sekarang,? tangan Massimo menyentuh ujung jari lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Lelaki bernama Agung itu tersenyum mendengar ucapan Massimo. Tangan Massimo yang putih lentik sudah berada dalam genggamannya kini.

?Aku memang ditakdirkan menjadi pohon rahasiamu,? lelaki itu mengedipkan mata kanannya dan tertawa. Tangannya yang sebelah kiri kini menyibak rambut depan Massimo yang acak-acakan dipermainkan angin.

?Ibuku sangat mencintai Robert. Aku tak mau menyakiti Juliana.? Massimo menyandarkan kepalanya di bahu Agung. ?Ia bahkan tak tahu Robert pergi karena aku mengancamnya,?

?Oh ya?? Agung menatap Massimo tercengang. Pacarnya yang masih muda itu memang banyak memiliki rahasia. Dan satu persatu Massimo telah membuka rahasia itu padanya.

?Robert pergi meninggalkanku dan Juliana waktu aku masih berumur sepuluh. Aku mengancam akan membunuh diriku kalau ia masih begitu padaku. Dan ia takut.? Massimo menarik nafas panjang. ?Tapi Ibuku terus-terusan menangis. Dan aku tak berniat mengganggu kesedihannya yang tak berguna.?

?Ia juga pasti sedang menangis sekarang,? Lelaki di samping Massimo itu membenarkan letak jaket parasutnya yang kocar-kacir dipermainkan angin.

?Setidaknya kali ini ia menangis untuk alasan yang benar. Menangisi anaknya yang tak mau membagi kebenaran yang menyakitkan tentang suaminya. Ayahku.? Dan begitu saja Massimo berdiri saat kalimatnya usai. Menepuk-nepuk pasir dari bagian belakang celananya dan mengulurkan tangannya pada Agung.

?Kemana?? Agung mendongakkan kepalanya.

?Berjalan-jalan.? Massimo menggerakan kedua telapaknya memberi isyarat ajakan untuk cepat pergi. Agung tertawa. Pacarnya memang seorang pendiam yang memiliki semangat spontan yang luar biasa. Lelaki itu kini turut bangkit. Tapi tiba-tiba ia mengambil posisi seolah hendak duduk kembali.

?Ada apa?? Massimo menatap pasangannya, heran.

?Biasa banget sih kamu? Dompet nih ketinggalan!? Lelaki itu mengangsurkan Dompet kulit berwarna Cream milik lelaki muda di hadapannya. Dan Massimo buru-buru mengambilnya sambil tersenyum.

Agung tak tahu, seorang anak ber-rahasia akan tetap memiliki rahasia tak perduli berapa banyak rahasia yang telah diungkapkannya.

Di antara lipatan dalam dompet Massimo yang baru saja diberikannya, sebuah photo tersimpan di sana.

Massimo kecil memakai sweeter tebal di tengah lapangan salju. Bersama sepupunya Peter dan Larissa, mereka tengah sibuk membuat boneka salju. Di belakangnya, Robert dan Juliana tengah berpelukan sambil tertawa. Liburan menjelang natal, Melbourne, tiga belas tahun silam.

Bila saja Agung melihat photo tersebut, ia pasti akan sangat terkesiap. Lelaki dalam photo yang tengah berpelukan dengan Juliana begitu mirip dengannya. Ya, wajah lelaki itu amat mirip dengan parasnya. Amat sangat mirip?***


__________________________

Catatan:

[1] Ucapan Tuan Chow (Tony Leung) kepada sesama pengunjung warung mie tempat dia biasa makan. Sebuah scene dalam Film In The Mood For Love arahan sutradara Wong Kar way. Film ini berhasil memenangkan penghargaan untuk aktor dan tehnik film terbaik dalam festival film Cannes tahun 2000.