Stay Far Away So Close; Begitu Jauh Terasa Dekat
~~~~~Cerpen Dmitri Tobias Lessy~~~~
Jubah malam telah disebar, bintang di atas langit tak tampak benar. Polusi cahaya telah membuat bintang di kota ini kehilangan gemerlap, tersaingi mercusuar gedung dan lampu jalanan berkekuatan ribuan watt.
Aku disana, memandang Jakarta yang menyenyap saat aku bertemu dengannya. Bajunya sudah agak lusuh, sepertinya ia baru saja menempuh perjalanan jauh. Mungkin ia hendak pulang dan tentunya ia belum sempat mandi. Bau keringatnya yang lekat sudah tercium saat ia mulai mendekat. Sebuah plastik berwarna hitam digenggamnya erat pada tangan kanan.
Sebenarnya banyak bangku kosong yang tersedia untuknya. Saat menjelang tengah malam, bus memang kurang sarat dengan penumpang. Terlebih bila minggu malam begini, kebanyakan orang pastinya lebih senang memilih tinggal di rumah bersama keluarganya, menikmati sisa akhir pekan dengan bersantai. Tapi entah kenapa pria itu lebih memilih menggangguku. Ia meminta posisi tempat dudukku. Dengan enggan aku bergeser, lantas membiarkan pria itu menatap jalan raya kelam di samping kiri jalan.
Setelah kantong kreseknya ia tempatkan di bawah bangku, lama ia terpaku. Jelas benar matanya menatap jalanan lenggang, entah apa yang ia pikirkan. Beberapa saat kemudian ia menoleh, sebentuk senyum ragu-ragu mencoreng wajahnya. Dalam hati aku memaki. What the f**k are you lookin' at, faggot!
"Makasih atas tempat duduknya ya Dek. Baru mau pulang?" Ia membuka cakap. Sial! Lagi-lagi dalam hati beruntun kata-kata, What the f**k? Tetapi yang keluar dari mulutku hanya, "Nggak apa-apa kok Mas. He’eh, baru mau pulang." Jawabku sambil lalu.
Lantas tak ada lagi percakapan, sepertinya ia mulai kembali sibuk memandang ke arah luar. Aku senang dengan jeda itu, setidaknya sekarang aku bisa tidur .
"Dek, tidak mengapa kalau saya buka jendelanya?� Tiba-tiba pria itu berkata lagi, namun belum sempat kujawab mulutnya telah kembali berucap, “Kalau sedang naik bus, saya senang memandang keluar jendela. Lagian, kaca jendela usang ini hanya merusak pemandangan saja. Gimana Dek, saya buka ya?" tanyanya.
"Silahkan saja, Mas" Jawabku pendek. Mau dibungkus jendelanya terus dibawa pulang ke rumah juga, sebodo amat! Dalam hati lagi-lagi aku memaki. Tapi tak lama aku tersenyum sendiri, sebagai orang yang punya otak aku sadar tidak mungkin hal tersebut dilakukan. Bayangkan, betapa rumitnya! Mencabut jendela kaca itu saja dari tempatnya sudah cukup merepotkan, belum lagi memikirkan cara agar tidak diteriaki maling dan diburu kernet serta supir. Ah dasar!
"Ih, si Adek senyum sendirian. Suka naik bus kota juga ya? Sama! Saya juga suka.� Pria itu kembali berkata.
Aku terdiam berusaha menahan diri agar tidak satupun kata-kata yang melintas di pikiranku saat itu keluar . Tapi meski tak terucap, dalam hati aku melontar komentar, kalau bisa milih sih, sebenarnya gue lebih suka naik Corolla Altis!
Dan seperti sebelumnya, tanpa menggubris keheningan responku, sang pria terus saja bercerita.
"Dahulu Dek, tahun '92. Ya... sepuluh tahun lalu waktu saya masih SMA, setiap hari saya naik bus ini kalau mau berangkat ke sekolah. Bus nomor ini, he’eh, persis bus nomor ini.� Kalimat itu menggantung begitu saja, pria itu sepertinya mencoba mengambil udara, bernafas dulu untuk sementara.
“Saya naik dari Cawang, melewati Kampung Melayu dan lantas berhenti… nah, nah! Dek, dek!� Pria itu menggoyang-goyangkan tangan kiriku, memaksaku membuka mata dan melihat ke arah yang dimaksudnya.
“Di sana Dek, lihat! Di sana itu saya berhenti. Itu tadi… yang ada haltenya!� Sempat kulihat sebuah bangunan berkelebat, tapi tak jelas benar itu bangunan apa. Yang jelas, dalam penglihatanku, sekejap tadi kepala pria itu tampak seperti terpelintir, ia menoleh ke arah tempat yang ditunjuknya sambil terus memutarkan kepalanya. Seperti yang tak mau kehilangan, sebelum jarak bus semakin jauh memisahkan, ia berusaha untuk tetap membuat dirinya bisa melihat bangunan yang diakuinya sebagai tempatnya dulu bersekolah.
“Di sana Dek! Di sana itu dulu saya sekolah. Lihat ‘kan tadi?� Pria itu kini menatapku. Aku diam saja. Dan seperti sebelumnya, ia meneruskan bicaranya tanpa memperdulikan respon heningku yang masih begitu-begitu saja.
“Siapa sangka ya, sekarang saya jadi penjual sabun eceran." Lanjutnya lagi sambil cengengesan.
"Apa Mas?" Kali ini aku menukas cepat. Aku ingin memastikan kalau aku tidak salah dengar . Aku yakin pria itu tadi mengatakan kalau dirinya kini adalah seorang salesman.
"Saya ini penjual sabun, Dek. Sabun untuk mencuci," jawabnya tak kalah cepat. Oh, jadi dia mau jualan nih? Sialan! Dalam hati aku menggerutu lagi. Haruskah malam-malam begini ketemu dengan salesman yang mempromosikan barang dagangan? ! Namun meski keki, kali ini aku mencoba bersabar hati.
"Sabun apa Mas?" Tanyaku.
"Ya sabun, Dek. Untuk mencuci apa saja. Ide awalnya, saya hanya ingin membuat sebuah produk sabun untuk membersihkan. Ya, membersihkan apa saja yang hendak dibersihkan: piring kotor, gelas berminyak atau pakaian yang kena noda. Bahkan idealnya sih, sabun ini bisa juga buat mandi dan keramas, Dek. Pokoknya motto dari produk yang saya bikin ini adalah, sabun; untuk mencuci." Terlihat benar pria itu berusaha menjelaskan. Aku hanya manggut-manggut.
"Ooo... Begitu ya? Mereknya apa mas?" Tanyaku. Harus kuakui, sebagian dari diriku kini mulai penasaran. Bukan untuk membeli, tapi untuk mengetahui lebih jauh tentang si pria lusuh.
"Ya sabun, Dek. Kan tadi saya sudah bilang: S.A.B.U. N! Untuk Mencuci." Jawabnya tandas.
Oh may God! Dia memang! Masa’ menamakan produk sabun, SABUN? Begitu saja kalimat itu melintas di pikiran begitu ku dengar ucapan lelaki tersebut, tetapi lagi-lagi yang keluar hanya kata: "Oooh"
Tak lama kemudian, pria itu merogoh sakunya, mengeluarkan rokok dan korek api dari sana.
"Dek, nggak keberatan ‘kan kalau saya merokok?" Dia bertanya lagi. Sepertinya lelaki di hadapanku ini termasuk jenis orang yang selalu menunggu persetujuan orang lain bila ingin bertindak, atau kalau tidak, ia mungkin bisa digolongkan pada jenis orang yang sangat peduli pada orang lain. Dalam beberapa menit percakapan saja, sudah berapa kali dia bertanya apakah aku keberatan dengan apa yang akan dia lakukan.
"Silahkan saja Mas,� jawabku pendek.
"Rokok?" Ia mengangsurkan rokok yang dipegangnya.
"Enggak Mas. Terima kasih." Aku berusaha tersenyum, tanganku membuat gerak yang menandakan aku menolaknya.
"Oh, tidak merokok toh. Bagus, bagus. Saya juga dek." Tuturnya sambil menjentikkan korek api di tangan kanannya.
What the f**k?!!! Pikiranku menjerit.
"Uhm, saya sebenarnya merokok sih Mas, tapi sedikit." Aku tak rela mendengarnya ikut-ikutan mengatakan bahwa ia tidak merokok, padahal jelas benar ia sedang bersiap mengisap benda itu kini.
"Lha, itu persis maksud saya tadi! Kok kita sama ya! Ha ha ha!" Tiba-tiba kalimatnya pecah menjadi tawa. Entah kenapa aku terpancing. Kali ini aku pun ikut tertawa atau tepatnya menertawai dirinya. Dan suasana kaku yang tadi melingkupiku sepertinya meruap entah kemana. Layaknya dua orang sahabat lama kami tertawa berdua. Sang pria kemudian menyulut rokoknya.
"Mau turun di mana Mas?� Kali ini aku mulai berusaha, paling tidak, sedikit memberi reaksi atas kalimat-kalimatnya yang ditujukan padaku, sekalian mencoba mengukur berapa lama lagi aku harus bersamanya, sebelum dia harus turun dari bus.
"Nggak Dek. Saya tidak hendak pergi ke mana-mana, hanya senang naik bus ini saja," ucapnya enteng sambil menghembuskan asap rokoknya.
My God, are you for real? Pikiranku kembali merangkai kata bahasa Inggris
mubazir. Tapi seperti biasa, yang keluar dari mulutku cuma kalimat pendek yang bunyinya, “Oh…�
Bus menggelinding menerobos lampu merah perempatan, saat pria di sampingku mulai bercerita tentang kisahnya waktu di SMA dulu. Katanya, ia masih ingat betul saat dirinya pertama kali jatuh cinta.
"Pertama kali jatuh cinta di sini, Dek. Di bus ini. Bus nomor ini, persis! Waktu itu pagi hari, saya sedang hendak pergi ke sekolah. Kebetulan saya duduk dekat jendela ketika di luar saya melihat seorang anak perempuan cantik. Begitu cantiknya sampai-sampai malaikat kalau melihatnya mungkin akan iri padanya, atau mungkin malu..."
"Atau mungkin juga jatuh cinta Mas, seperti si Mas." Jawabku cepat hendak memancing tawanya lagi. Dan kami pun memang tertawa lagi.
"Ya, ya. Saya harap begitu. Semoga semua malaikat jatuh cinta padanya. Hari itu ia membuat saya tersenyum. Saya jarang tersenyum Dek," ucap pria itu sambil menatap kosong sisi sebelah kiri jalan yang tengah dilewati bus.
"Keesokan harinya saya duduk di dekat jendela lagi, berharap dapat melihatnya kembali, tetapi dia tidak ada. Dan keesokan harinya lagi, ketika saya mencoba hal yang sama, dia juga tidak ada. Sampai kira-kira sekitar dua bulan lebih baru saya melihat dia lagi Dek. Bukan main senangnya saya, sampai-sampai bolos sekolah dan cuma menghabiskan waktu senyum-senyum sendirian. Hari itu akhirnya saya habiskan buat main game di Pasar Baru.� Sebuah senyum terukir di wajahnya.
�Ternyata, jam masuk sekolahnya itu siang Dek, lebih siang dari jam masuk sekolah saya, terang saja tidak pernah ketemu. Lalu sejak saat itu saya berangkat ke sekolah selalu agak siang agar bisa ketemu dia atau sekedar melihatnya berjalan menapak trotoar menuju sekolahnya. Tetapi akibatnya saya jadi selalu terlambat datang ke sekolah. Tapi tak mengapa Dek, saya senang.� Kali ini Pria itu memandang ke arahku. Aku cuma ikut tersenyum sambil menunggunya melanjutkan cerita.
“Sekolah, Dek, tidak membuat saya senang. Belajar tidak membuat saya tersenyum. Tetapi memandangnya dari balik kaca jendela bus kota yang berdebu saja sudah cukup untuk membuat saya tersenyum. Kadang saya bertanya pada diri saya sendiri, ada apa di balik wajahnya? Apa yang terjadi di balik senyumnya? Apa yang sedang dipikirkannya? Apakah hari itu dia sedang senang seperti saya, ataukah ada hal yang membuat dia sedih? Lalu saya mulai mereka-reka, siapa yah namanya? Mariakah? Atau Gabriel, seperti nama Sang Malaikat? Ataukah Angela? Sarah? Stephany? Ah, rasanya mustahil saya mampu menebak namanya.� Tatapan mata pria itu kini jauh menembus kaca jendela, sepertinya ia hendak bercerita juga pada sepanjang jalan yang dilalui bus kota, jalan yang diakuinya sebagai jalan tempatnya dulu selalu menghabiskan waktu dan untuk kali pertama ia jatuh cinta.
“Teman-teman saya bilang, Udah, turun saja, tanya namanya siapa. Dan saya ingin sekali turun dari bus kota, lebih ingin dari apapun yang pernah saya inginkan di dunia, tetapi sampai sekarang saya tidak pernah melakukannya. Saya ambil jalan pintas saja, saya karang namanya. M - a - r - i - a. Begitu saya merekayasa sebuah nama untuknya. Setiap hari di kelas saya menuliskan nama "Maria" di buku saya. Persetan dengan pelajaran sekolah, persetan dengan guru, persetan dengan pendidikan. Satu hal yang selalu mengganggu pikiran saya waktu itu: Bilamana semua itu berakhir? Saya tidak bisa terus-menerus naik bus menuju sekolah hanya untuk melihat dia pergi ke sekolah. Pada satu titik tertentu saya harus berhenti melakukan itu dan semuanya akan berubah. Atau paling tidak dia akan lulus dan pergi melanjutkan pendidikannya ke tempat yang saya tidak tahu di mana. Kita kan tidak bisa terus-menerus di SMA? Bisakah kita? Tidak.� Pria itu kembali menghembuskan asap rokoknya. Dalam hati, aku merasa ceritanya tentang saat dia jatuh cinta tidak buruk juga. Setidaknya tidak seburuk bau badannya yang mulai lagi terasa menyengat. Tapi aku tak berkomentar apa-apa. Kini aku hanya ingin mendengarnya melanjutkan ceritanya saja.
“Selama di sekolah sudah tidak ada lagi pelajaran yang masuk ke kepala, Dek. Buku cetak dan tulisan saya banyak ditulisi namanya. Saya tidak pernah belajar apa-apa lagi di sekolah, malas rasanya. Dan ketika raport nilai kenaikan dibagikan, sungguh tidak mengejutkan... Saya tidak naik kelas. Dengan senang hati saya tidak naik, tetapi berat rasanya karena saya terpaksa pindah sekolah. Lantas semuanyapun perlahan mulai berubah.�
“Sekolah baru saya terletak di luar kota. Terakhir kali saya melihat dia doa saya terkabul: lalu-lintas macet. Saya duduk menghadap jendela memandangnya dari jauh, tetapi begitu dekat. Seperti itu lho, kayak lagu Stay Far Away-nya U 2!� Lelaki itu menolehku.
“Suka musik juga kan?� Tanyanya. Aku mengangguk, dan tanpa memberiku kesempatan berkomentar lelaki itu langsung meneruskan lagi ceritanya.
“Ya begitulah Dek. Sepertinya saya mencintainya dan saya ingin mencintai anak perempuan itu dengan cara yang begitu. Ia tidak perlu tahu. Dan meskipun setelah itu sekolah saya semakin jauh, kadang saya masih suka naik bus ini. Membolos hanya untuk melihat dia menapak trotoar jalan.� Pria itu menghela napas panjang.
“Dan tahu sendirilah Dek, di sinilah saya sekarang. Setelah 10 tahun berlalu saya masih suka naik bus ini dan memandang ke luar jendela. Siapa tahu kalau-kalau saya melihat dia lagi.� Kini setengah takjub aku mendengar ceritanya. Tampaknya dia tidak main-main, setidaknya ekspresi-ekspresinya menunjukkan demikian.
“Kok Mas nggak memberanikan diri turun dari bus saja sih Mas? Seperti yang disarankan teman-temannya?� Di antara jeda yang dibikin lelaki itu, aku melontar komentar.
“Iya, kadang saya juga berpikir, apakah ada baiknya bila waktu itu saya turun,
barang sekali saja, memberitahunya bahwa seseorang dapat mencintai seseorang tanpa pernah bertemu dengannya. Tetapi waktu itu saya takut segelanya akan berakhir. Ironisnya, segalanya justru akhirnya memang berakhir. Apakah ada baiknya bila waktu itu ia tahu saya mencintainya? Menurut saya Dek, ya setidaknya menurut apa yang saya rasa, dia tahu atau tidak sama saja. Akhirnya akan tetap begini. Saya lebih senang begini, ternyata....� Sekali lagi lelaki itu menghela nafas panjang, seolah hendak menghembus keluar seluruh beban yang selama ini ia pendam.
“Begitu Dek, cerita saya. Oh iya hampir lupa, perkenalkan saya Harun, yang arti namanya adalah: Ia yang seharusnya turun, tetapi tidak". Lagi-lagi, kami kembali tertawa berdua, layaknya sahabat lama.
Dan tiba-tiba aku terbangun ketika pening merebak di kepala. baru saja aku terbentur kaca jendela bus kota. Ternyata aku ketiduran dan terbawa sampai Pasar Baru. Aku melihat ke depan dan ke belakang, ke samping kiri dan kanan, menatap refleksi kumuh diriku yang terpantul dari kaca lusuh bus kota yang berdebu.
Dengan siapa aku berbicara barusan? Tak seorangpun memberi jawaban. Tinggal deru bus kota yang memelan yang kini dapat aku dengar. Penumpang lain sudah pada keluar dan kernet yang biasanya berteriak-teriak kini sedang tidur di jok paling belakang. Wajahnya tampak kuyu dan lunglai.
Kusambar tas plastik kresek hitam yang isinya cuma sachet-sachet kecil sabun yang tak laku terjual. Tak apa, masih ada hari esok untuk kembali menjualnya. Malam ini aku cukup beruntung, karena tadi, aku bisa melewati sekolah lamaku, tempat semua kenang-kenangan masa lalu membatu.***
20 januari 2002